menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Thursday, October 27, 2005

Marxisme dan Nasionalisme

Ilusi Paham Kebangsaan dan Nasionalisme: Kritik Lenin dan Stalin.

Bangsa. Kata ini barangkali adalah misterium et tremendum bagi abad modern. Atas namanya, orang rela bertempur dan saling membunuh. Lalu dengan cepat, kata ini memperoleh latar teoretis dan praktik yang faktual—seiring dengan merebaknya kolonialisme; dan hadirlah nasionalisme. Orang-orang yang berada di pegunungan Papua merasa ‘senasib’ dan ‘sepenanggungan’ dengan orang-orang yang tinggal di pesisir Madura. Atau orang-orang yang terbiasa berbahasa Sasak di Lombok tiba-tiba merasa menjadi satu identitas dengan orang-orang yang menggunakan kromo inggil di keraton Yogya. Di sinilah nasionalisme tiba-tiba menggantikan ayat suci. Ia juga kerap hadir dalam pidato atau buku-buku. Lihat saja kalau Soekarno sudah berdiri di atas panggung dan mengucapkan “saoedara-saoedara sebangsa dan setanahair” atau kalau mendaras Mein Kampf karya Hitler; berjuta-juta manusia takzim dalam kegetaran dan kegetiran yang taksa.

Kebangsaan dan nasionalisme turut mengundang pergunjingan yang ramai di kalangan intelektual. Ernest Renan misalnya, ia menggambarkan bangsa serupa monumen yang memoratif; kaya akan kenangan. Terutama kenangan akan pengorbanan dan kesediaan untuk hidup dan berbagi dalam satu “jiwa bersama”. Bangsa, karena itu, dalam definisi ini dipupuk melalui sekian propaganda-propaganda yang serempak. Definisi lain datang dari Benedict Anderson. Bagi Anderson, bangsa adalah ‘komunitas yang dibayangkan’. Meski antar masing-masing anggota bangsa saling tak mengenal, tetapi mereka diikat oleh satu identitas yang terbayang. Seperti Renan, kebangsaan dalam definisi Anderson adalah rasa kebersamaan atas pengorbanan. Selain itu, setidaknya kebangsaan juga dialasi oleh kemunculan kapitalisme cetak yang menggusur bahasa sakral (kitab suci) menjadi bahasa sekuler. Ikatan keagamaan dengan demikian tergantikan oleh solidaritas kebangsaan nasional. Kapitalisme cetak pada gilirannya juga mampu menyeragamkan bahasa sebagai alas dasar bagi tumbuhnya nasionalisme. Selain Anderson, ada juga Eric J. Hobsbawm. Bangsa, bagi Hobsbawm, adalah kreasi kultural. Orang-orang mengidentifikasi dirinya sebagai sebuah bangsa. Biasanya, menurut Hobsbwam, pembentukan bangsa melalui sebuah episode perjalanan dari terbentuknya kebangkitan kebudayaan hingga adanya proto nasionalisme-populer hingga konsolidasi dukungan massa.

Kritik Lenin dan Stalin
Pendekatan marxisme, utamanya dari Lenin dan Stalin, berguna untuk menunjukkan ilusi paham nasionalisme. Marxisme, seperti kita tahu, memang punya pendekatan yang khas: kelas dan formasi sosial kapitalisme. Karena itu bangsa, bagi Lenin dan Stalin, harus dilihat dalam masa perkembangan kapitalisme. Ia memang hadir dalam masa ekspansi dan kemenangan kapitalisme atas feodalisme. Akibatnya, berbagai kategori yang diungkapkan oleh Lenin dan Stalin seperti bahasa, wilayah, budaya dan ekonomi adalah akibat dari perkembangan dan formasi sosial kapitalisme. Karena itu, sebuah bangsa selalu memuat sekian kontradiksi akibat perkembangan kapitalisme itu; misalnya ada bangsa yang dominan dan ada bangsa tertindas. Bangsa yang dominan adalah elemen-elemen borjuasi yang memaksakan kategori-kategori seperti bahasa, wilayah, ekonomi dan budaya sesuai dengan kepentingannya. Dengan definisi seperti ini, jelas bangsa bukanlah sesuatu “kesatuan” yang berdiri tanpa kontradiksi kelas.

Bangsa harus dibedakan dari negara. Negara seperti diktum marxisme pada umumnya adalah ekspresi kelas berkuasa. Negara biasanya juga merupakan kesatuan dari multi bangsa. Karena itu, pertentangan kelas di sini menjadi jauh lebih kompleks. Ada borjuasi masing-masing bangsa, ada feodalisme dari masing-masing bangsa juga ada proletar dari masing-masing bangsa. Kategori yang cukup ketat dan rumit ini berujung pada diskursus tentang nasionalisme. Bagi Lenin dan Stalin nasionalisme pada dasarnya adalah gerakan nasional yang memperlihatkan ekspresi kepentingan borjuasi sebuah bangsa dalam menghadapi borjuasi bangsa asing. Meski demikian, menurut Lenin dan Stalin, gerakan nasionalisme asal ikut membawa serta kaum proletar mesti didukung. Pada titik ini, kita mungkin jadi maklum mengapa di negeri ini kaum kiri-lah yang berada di garda depan dalam perjuangan melawan kolonialisme. Tetapi juga dengan cermat Lenin dan Stalin mengingatkan supaya kaum buruh tidak terbuai dalam gerakan nasionalisme belaka. Selain penindasan yang diakibatkan oleh borjuasi bangsa asing, maka masih terdapat juga penindasan nesional yang dilakukan oleh borjuasi dalam sebuah bangsa itu sendiri. Dan penghancuran terhadap imperialisme—sebuah tahapan tertinggi dalam kapitalisme—bisa dilakukan jika kaum proletar dari seluruh bangsa bisa bersatu. Di titik inilah, Lenin dan Stalin mengajukan internasionalisme sebagai antitesa dari nasionalisme. Di titik ini juga perdebatan Lenin dan Stalin dengan kaum kiri lainnya semisal Rosa Luxemburg, Karl Kautsky dan Otto Bauer terjadi.

Andre Gorz dan Revolusi Sosialis

Jalan Menuju Revolusi Sosialis

Revolusi sebagai jalan menuju sosialisme tampaknya belum menjadi keyakinan bagi sebagian orang. Di kalangan para penganut sosialis sendiri, semenjak awal terjadi perselisihan antara mereka yang meyakini revolusi sebagai jalan untuk mencapai sosialisme-komunisme dengan mereka yang berteguh bahwa sosialisme dapat dicapai dengan memilih jalan yang reformis, moderat dan evolusioner. Perdebatan antara memilih jalan revolusi dan pendekatan reformasi mengemuka pada Internasional Kedua. Kubu sosialisme demokrat yang dimotori oleh Eduard Bernstein meyakini bahwa kemenangan sosialisme atas kapitalisme haruslah berjalan di atas tahap-tahap yang reformis, evolusioner dan ditempuh melalui perjuangan parlemen dan elektoral. Kecenderungan ini tentu saja mengingkari watak revolusioner sebagaimana dicetuskan oleh Marx dan Engels dalam Internasional Pertama. Meski demikian, dalam Internasional Kedua, pandangan kaum sosialisme demokrat ini tak ayal juga mendapat kritikan keras dari golongan yang lebih revolusioner semisal Lenin, Rosa Luxemburg dan Clara Zetkin.

Berada dalam dua kutub ‘ketegangan pendekatan’ di atas, Andre Gorz dalam buku Revolusi dan Sosialisme (Resist Book, 2005) mengurai berbagai hal tentang sosialisme dan revolusi. Tentang revolusi, Gorz menolak gagasan bahwa jalan menuju sosialisme bisa dicapai lewat memperbaiki sistem kapitalisme secara gradual dan evolusioner. Mengapa demikian? Sebab, diakuinya, kapitalisme adalah sebuah sistem yang memiliki kesanggupan untuk mengantisipasi ledakan revolusi sosialis. Tetapi, bagi Gorz, sosialisme juga tak mungkin terwujud melalui serangkaian pemberontakan yang spontan. Pemberontakan yang spontan akan cenderung membuat kesadaran sosialis kaum buruh cepat melemah dan bersedia melakukan kompromi. Bagi Gorz, sosialisme hanya bisa diwujudkan melalui sebuah uji pertarungan yang keras dan berjangka panjang. Dan dalam proses menuju sosialisme, bisa saja bentuk dari uji pertarungan tersebut hanya berupa aksi reformasi yang terukur untuk menempa kesadaran sosialis kaum revolusioner.

Meski demikian, tampak bahwa gagasan revolusi sosialis yang disodorkan oleh Andre Gorz jauh melampaui gagasan reformisme Bernstein. Beberapa inti dari gagasan Gorz, utamanya mengenai tahap-tahap menuju revolusi sosialis adalah: Pertama, perjuangan menjungkalkan kapitalisme dan mewujudkan sosialisme adalah perjuangan melalui serangkaian uji pertarungan yang keras. Ini artinya, kapitalisme tidak semata-mata bisa dikalahkan atau digarapkan mengalah begitu saja. Begitu juga, tidak semata-mata sosialisme bisa mensejahterakan peradaban manusia. Karena itu, dibutuhkan masa transisi yang menyiapkan berbagai program sosialis dan massa pekerja yang menempa diri dalam kesadaran sosialis secara terus-menerus. Kedua, dalam masa transisi menuju revolusi sosialis ini, tujuan dari segenap aksi-aksi kaum sosialis tidak boleh hanya berupa strategi elektoral dan penguasaan parlemen belaka. Sebagaimana disebutkan oleh Gorz, masa transisi ini bertujuan “meruntuhkan sistem dan menggunakan keruntuhan itu untuk membangun transisi menuju revolusi sosialis. Sebab revolusi bisa dicapai dengan menempa besi yang masih panas”. Karena itu, dalam fase ini kaum revolusioner harus menempa diri dengan menyerang dan memperdalam krisis kapitalisme sekaligus menyodorkan berbagai alternatif sosialisme sebagai jawabannya. Dan ketiga, menggerakkan demokrasi langsung yang dipandu oleh kaum buruh revolusioner untuk menggantikan demokrasi perwakilan yang telah mengalami krisis. Keempat, selain menguasai negara dan menyiapkan berbagai kebijakan sosialisme, hal lain yang perlu dipersiapkan oleh kaum revolusioner adalah mentransformasi para pemilik modal menjadi pelayanan bagi kebutuhan-kebutuhan pulik dan massa pekerja. Dengan demikian, kaum revolusioner telah menyerang jantung kapitalisme.

Beberapa argumen Andre Gorz, jika kita simak dalam buku yang cemerlang ini, tampaknya merupakan jalan tengah yang progresif antara kubu marxisme-leninisme dengan sosialisme demokrasi. Meski tetap meyakini ajaran-ajaran komunisme, Gorz dengan jeli juga melihat bahwa revolusi tidak bisa tercapai dengan maksimal jika tahap-tahap perkembangan dan transisi dalam kapitalisme belum berlangsung secara matang. Meski demikian, Gorz sama sekali tidak menampik revolusi sebagai jalan untuk menuju sosialisme. Sebab kapitalisme tak mungkin melepaskan tentakel kekuasannya tanpa perlawanan dan perjuangan dari massa yang revolusioner. Baginya, pendekatan dan program-program reformasi bisa saja dijalankan asalkan ia berwatak sosialis dan berlangsung untuk fase temporer saja. Dan fase reformasi ini digunakan untuk memperdalam antagonisme kelas serta menyiapkan kondisi subyektif dan obyektif yang menjadi jembatan untuk menuju pertarungan sejati: revolusi sosialis.

Gagasan Gorz memang cenderung berbeda dengan arus pemikiran marxisme yang digagas oleh Karl Kautsky, Eduard Bernstein maupun Lenin. Perbedaan ini juga makin mencolok ketika dengan lihai Gorz melihat bawa pilar revolusi sosialis tidak hanya bertumpu pada massa pekerja atau petani saja. Bagi Gorz, bentuk dari kapitalisme saat ini berupa kapitalisme monopoli yang telah terlanjur diadopsi menjadi sistem sosial yang eksploitatif di berbagai bidang, termasuk dunia pendidikan. Cengkaraman kapitalisme monopoli dalam dunia pendidikan pada dasarnya telah membuat mahasiswa (utamanya mahasiswa yang berasal dari keluarga buruh industri) akan mengalami alienasi dari praksis sosial. Pendeknya, kapitalisme dalam industri pendidikan telah membuat mahasiswa semakin terspesialisasi. Atau dalam ungkapan Gorz, spesialisasi itu mengakibatkan “ilmu humaniora dipisahkan dari sains matematika, sehingga filsafat dan humaniora hanya menjadi ilmu penghibur di kala senggang”. Alienasi mahasiswa dari sistem pendidikan makin tampak kentara dari ketidakberdayaannya mempengaruhi sifat pengajaran, kurikulum, kondisi pendidikan serta pengelolaan universitas. Karena itu, maka menurut Gorz, mahasiswa juga perlu menjadi bagian dari pilar revolusi sosialis bersama kaum proletar lainnya.

*********

Seperti karyanya yang terdahulu, analisa Gorz yang tajam dan detail sangat membantu untuk memahami krisis kapitalisme serta berbagai strategi dan tahapan untuk memantik sumbu revolusi sosialis. Jika kita menengok pada gagasan Gorz dalam buku ini, maka kita akan diyakinkan bahwa krisis dalam kapitalisme saat ini tidak bisa dijawab dengan solusi-solusi reformasi. Krisis kapitalisme harus disambut dengan menggerakkan revolusi dan sosialisme sebagai jawaban.

Ketika Ibrahim bertemu Musa

Ketika Ibrahim Bertemu Musa

Apa jadinya jika seorang pemuda yang binal--suka melacur--bertemu seorang penganut sufisme? Dan Ibrahim memang bertemu Musa (Mosses). Tentu saja, bukan kisah dalam kitab suci manapun. Tetapi, di Blue Road; di sebuah ruas jalan pada kota kecil di pinggiran Perancis yang jorok dan penuh pelacur. Di film Monsieur Ibrahim, Mosses Schmitt, pemuda Yahudi yang pendiam dan soliter, bersua dengan Ibrahim Dermidji, sufi pengagum Rumi. Ibrahim, diperankan oleh aktor kawakan Omar Shariff, kerap berceloteh dan memuji isi kitab sucinya: Koran (Al-Qur’an).

Setiap pagi Mosses Schmitt membuka nako jendela rumahnya. Ia masih berumur 16 tahun. Seumuran gadis tetangga yang kerap diusilinya. Setiap kali membuka jendelanya, Mosses menjadi lebih matang dan dewasa dari umurnya. Di seberang rumahnya, para pelacur berderet dan berjajar setiap pagi. Mosses hafal betul ceruk-ceruk kehidupan binal di Blue Road. Termasuk ‘etika’ bagi seorang laki-laki yang hendak ‘jajan’. Mosses, toh tak bisa begitu saja disalahkan. Ia hidup dalam lingkungan dan keluarga miskin dan kacau balau. Tidak ada keintiman dan kehangatan. Ayahnya seorang pekerja serius yang ketus, dingin dan jarang pulang. Sementara sang ibu malah sudah meninggalkannya semenjak kecil.

Suatu kali, Mosses ingin menjadi dewasa. Ia berhasrat menggauli seorang pelacur. Uang tabungan dalam celengannya dibongkar. Ia pun berlagak seperti layaknya lelaki dewasa di daerah itu. Melalui perjuangan yang tidak putus asa –- pelacur mana yang hendak berkencan dengan pemuda 16 tahun?---Mosses mendapatkan hasrat birahi yang pertama kali. Ia merasa puas dan bahagia. Selepas itu, toh ia tetap saja anak muda: bermain bola, membantu ayahnya, berkencan dengan belasan perempuan yang lain, serta punya rasa penasaran.

Lalu, Mosses bertemu Ibrahim pemilik kedai yang berusia 60-an. Awalnya hanyalah pertemuan yang janggal dan kaku. Lewat ayahnya, Mosses mengira bahwa Ibrahim adalah orang Arab. Karena itu, ia memanggilnya ‘Arab’. Sebuah identitas yang bisa jadi serupa dengan citra Islam: yang puritan dan fundamentalis. Sebuah panggilan biasanya memang bisa membangun benteng identitas: hasrat untuk mendedahkan selaksa definisi, kategori dan bahkan juga diferensiasi. “Memberikan definisi adalah melakukan imperialisasi,” demikian ujar penulis Orientalisme, Edward Said. Tetapi, kadangkala konsep ilmiah yang abstrak dan rumit bisa jadi tunduk oleh perkara remeh-temeh. Dan benteng kekakuan identitas antara keduanya pun meluruh: Ibrahim yang tua, penjaga kedai dan muslim penganut sufi, bisa saja bertemu dan bergaul dengan Mosses sang pemuda, yang suka melacur, dan seorang Yahudi yang pendiam.

Keduanya, barangkali, bisa bertemu lewat suatu fragmen yang aneh dan tak tersengaja. Sembari mengejek sebutan Arab, Ibrahim menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang Persia yang tinggal di Turki dan penganut sufisme. Ibrahim juga memanggilnya Momo: sebuah sintesa cerdik antara Mosses dan Mohammad. Rasa penasaran membuat Mosses mencari tahu makna Islam, sufisme atau Persia lewat buku-buku ensiklopedis milik ayahnya (kelak buku-buku habis ini dijual untuk memenuhi birahi mudanya).

Ibrahim memang orang tua yang flamboyan, santun sekaligus memukau. Berhadapan dengan seorang pemuda macam Mosses, ia tidak pernah berlaku kaku. Ibrahim juga tidak berceramah tentang dogma dan doktrin yang seram-seram. Ia bahkan tak melarang Mosses pergi ke pelacuran atau mencuri sesuatu di tokonya. Bahkan, suatu kali Ibrahim juga mengajak Mosses duduk di kafe dan minum alkohol. Sebagai penganut sufisme, ia seperti hendak melewati dan mengabaikan dogma agama yang literalis; sebuah kecenderungan ajaran agama yang berjalan dan dibimbing di atas kekakuan legalisme dan tetek-bengek ‘administrasi’ agama lainnya.

Ibrahim membuka pintu persahabatan lewat ajaran dan perilaku yang sederhana namun memikat. Ia mengajari Mosses bahwa senyum, keramahan dan kedermawanan harus dimiliki oleh setiap orang. Meski kemiskinan dan kesusahan mendera, seseorang harus tetap bahagia dan membahagiakan. Mosses lantas menganggap Ibrahim sebagai ayah sekaligus sahabatnya. Keduanya menjadi akrab dan intim. Mosses bahkan tak terlampau bersedih ketika ayahnya minggat. Ia juga tak bergeming ketika ibunya tiba-tiba datang. Bahkan, kini, Mosses juga tak resah kehilangan perempuan-perempuan pelacurnya.

Suatu kali, keduanya bertekad meninggalkan kesuntukan di Blue Road. Ibrahim mengajak Mosses bertualang dan pulang kampung ke Turki. Di negeri ini Ibrahim mengajaknya bertemu para darwis yang menari tarian Rumi. Ia juga membiarkan Mosses mengenal tarian pemuda Turki. Dan di ujung alur cerita, Ibrahim ingin mengajak Mosses ke persinggahan terakhir, mengunjungi dusun kelahirannya sekaligus menikmati lautnya. Di tengah jalan, di sebuah dusun yang tandus dan tak dikenal, tiba-tiba, Ibrahim pergi meninggalkan Mosses. Semula, ia hendak mengunjungi kampung di seberang gunung. Tetapi mobil yang dikendarainya terbalik dan terjungkal. Ibrahim wafat dan meninggalkan Mosses tanpa sempat menyaksikan dusun dan laut. Kematian Ibrahim seperti tanda bahwa Mosses harus melanjutkan kehidupannya sendiri. Ibrahim akhirnya mewariskan Mosses banyak perkara: Al-Qur’an, kedai kecil, sekaligus petualangan dan ajaran-ajaran yang berharga.



*****
Monsieur Ibrahim, film ini memang cenderung beralur lambat dan senyap. Ia seperti ingin berujar bahwa sebuah film memang tak harus hingar bingar oleh kepastian atau soundtrack yang memekakkan. Justru dalam suara lirihnya—seperti sebuah solilokui—film ini punya pesan yang tajam dan dalam. Tentang bagaimana seharusnya seorang pemuda diperlakukan dan sebuah agama diajarkan. Seorang pemuda, laiknya memang seperti gambaran penyair Chairil Anwar: tanda bagi belantara keberanian dan petualangan. Karena itu, ia kerapkali berani berpetualang menerobos kesalahan dan kekhilafan. Dan Ibrahim Dermidji menggambarkan bagaimana selayaknya kearifan perenial diajarkan. Ibrahim, seperti tak hendak menunjukkan jalan kebenaran buat Mosses. Ia hanya mengetukkannya. Sebab, kadangkala buat para pemuda, pintu kebenaran dan kearifan hanya butuh untuk diketukkan. Bukan dipertontonkan, apalagi dipaksakan.

Semoga, anda—para orang tua dan anak muda — sempat menonton film ini.

Kaum Muda dan Gerakan Islam, Bangkitlah!!

Setelah tumbangnya Orde Baru, berbagai kelompok Islam tampil dengan corak perjuangan dan ideologi yang kaya dan beragam. Di wilayah isu-isu politik, misalnya, kehadiran Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah diantara sekian partai di negeri ini yang selain mengusung Islam sebagai ‘bara ideologi’ perjuangan, juga berupaya meletakkan ajaran Islam bersandingan dengan politik negara. Bagi beberapa kelompok ini, ajaran Islam pada dasarnya bukan semata-mata sebagai agama, tetapi juga seperangkat cita-cita politik etatis. Atau ringkasnya, dalam istilah Marshal Hodgson, kelompok ini adalah mereka yang mempercayai ajaran Islam sebagai Din wa Daulah (Agama sekaligus Negara). Cita-cita etatisme Islam ini tidak hanya dimiliki oleh partai-partai yang bersaing dalam mekanisme demokrasi liberal, tetapi juga beberapa kelompok gerakan Islam yang lain semisal Majelis Mujahidin (MM) atau Hizbu Tahrir Indonesia (HTI). Dua kelompok terakhir ini malah jauh lebih tegas mengartikulasikan perjuangan penegakan Syariah Islam di Indonesia. Selain beberapa kelompok ini, konfigurasi kelompok Islam pasca Orde Baru juga diwarnai oleh kehadiran KAMMI dan Gema Pembebasan yang juga mengangankan tampilnya Islam dalam ‘ruang publik’ di Indonesia.

Sementara di sisi yang lain, dengan didasarkan oleh gagasan pembaharuan Islam yang digulirkan oleh Nurcholish Madjid (alm) pada tahun 70-an, muncul juga Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani oleh sekelompok intelektual. Berlawanan dengan kecenderungan etatisme Islam di atas, Jaringan Islam Liberal ini berupaya mengedarkan nilai-nilai Islam yang liberal, pluralis, dan ‘menyapih’ peran agama dari negara.

Kemunculan berbagai gerakan baru Islam pasca Orde Baru ini sebenarnya merupakan ‘bahan mentah’ yang baik untuk merajut demokrasi di Indonesia. Bahkan, jika dihitung dengan berbagai organisasi Islam yang terlebih dahulu lahir—semisal NU, Muhammadiyah, Persis, dll—semestinya gerakan Islam tampil sebagai pilar utama dalam mengusung nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Sayangnya, alih-alih menjadi pilar utama, gerakan-gerakan Islam seringkali justru berada dalam kontestasi yang keras di antara sesamanya. Salah satu fenomena yang turut juga memicu perdebatan dan ketegangan antara gerakan Islam adalah 11 Fatwa MUI tentang Ahmadiyah, sekularisme, liberalisme dan lain-lain. Bahkan, tak jarang ketegangan dan perdebatan di antara kelompok Islam ini berujung pada perilaku kekerasan dan penghakiman yang berlebihan.

Berbagai problem ini tak urung bisa mengujungkan kita pada satu penilaian bahwa ada berbagai kelemahan mendasar dalam gerakan Islam. Apa itu? Pertama, gerakan Islam di Indonesia tampaknya masih belum mampu merespon berbagai persoalan dan problem riil rakyat Indonesia. Cengkeraman neoliberalisme yang mendera kehidupan rakyat semisal pendidikan yang semakin mahal, kesehatan yang berwajah kapitalisitik dan problem kemiskinan umat serta kebijakan publik yang kian menindas rakyat kecil tampaknya belum benar-benar menjadi perhatian gerakan Islam. Pendeknya, hingga saat ini belum ada gerakan Islam yang secara tegas melihat kebuasan globalisasi noliberal dan kuasa pasar sebagai ancaman bagi umat Islam di Indonesia..

Kedua, tumpulnya analisa sosial yang kritis serta lemahnya keberpihakan gerakan Islam pada kelompok mustadhafien (orang-orang tertindas). Hingga kini kita belum melihat adanya gerakan Islam yang dengan serius dan gagah berani mampu melakukan kerja-kerja advokasi dan pembelaan terhadap masyarakat yang mengalami penggusuran dan pemiskinan.

Karena itu, gerakan Islam terus menerus berada dalam ayunan dua pendulum klasik; antara mereka yang berpegang teguh pada tradisi dan mereka yang berkehendak pada pembaharuan. Dan celakanya, gagasan pembaharuan Islam yang selama ini digulirkan pun hanya bertumpu dan berpuas diri pada isu-isu liberalisasi pemikiran saja.

Ketiga, watak organisasi dan gerakan Islam yang semakin feodalistik dan oligarkis. Kecenderungan ini tampak pada tidak diakomodirnya desakan gerakan pembaharuan yang lebih progresif dan dihilangkannya peranan radikalisme kaum muda. Berbagai organisasi dan gerakan Islam tampak mengidap gerontokrasi dan berujung pada melambannya kemampuan organisasi untuk merespon problem-problem sosial secara progesif.

Seperti diungkapkan oleh Robert Hefner (antropolog dan pengarang buku Civil Islam) saat ini yang terpenting adalah transformasi gerakan Islam. Artinya, bagaimana gerakan Islam mampu bertransformasi menjadi gerakan sosial yang kritis terhadap cengkeraman modal dan kuasa pasar. Dan pilar utama yang diharapkan mampu menjadi bagian dari upaya transformasi ini adalah kaum muda yang mulai menyemai gagasan serta gerakan yang kritis dan radikal. Meski saat ini hanya minoritas dan berada di pinggiran, kaum muda inilah yang diharapkan akan tampil menggeser kecenderungan jumudnya gerakan Islam saat ini.

Demokrasi Liberal dan Neoliberalisme

Jalan Sesat Demokrasi Liberal dan Neoliberalisme


“Sejarah telah usai,” teriak Francis Fukuyama. Seruan itu tepat didengungkan setelah komunisme di Uni Sovyet runtuh lewat program glasnost dan perestroika dan hampir bersamaan dengannya China juga mulai membuka ekonomi nasionalnya. Komunisme dan model ekonomi-terpimpin yang awalnya begitu gagah dan tangguh melawan kapitalisme dan demokrasi liberal, tiba-tiba jatuh tersungkur tak bangkit lagi. Perang Dingin usai sudah. Lewat seruan Fukuyama itu genderang kemenangan sudah ditabuh. Hingga kini, Demokrasi Liberal dan Kapitalisme menjadi pemenang tunggal peradaban. Lantas, seperti Fukuyama ungkapkan, tugas manusia modern menjadi semakin ironis; hanya merawat dunia yang laksana museum tambo. Tidak ada lagi gairah, perlawanan dan antidot. Cerita tentang sosok Che sang petualang revolusi sudah harus dikubur dalam-dalam. Kisah heroik Lenin hanya tinggal sejarah di buku-buku, keberanian Usamah bin Laden cukup hanya tersemat di kaos-kaos anak muda saja. Narasi besar tentang revolusi dan perlawanan massa hendak diakhiri, tetapi narasi besar yang lain, yang berwujud demokrasi liberal dan kapitalisme harus tetap dibiarkan melenggang. Lantas seorang sastrawan Indonesia, Gunawan Mohamad, mengamininya dengan menuliskan sebuah buku; Setelah Revolusi Tak Ada Lagi.
Benarkah Demokrasi Liberal dan kapitalisme adalah satu-satunya kebenaran? Benarkah tidak akan ada perlawanan terhadap dominasi “Two Towers” (baca: demokrasi liberal dan kapitalisme) ini? Benarkah ini sistem yang terbaik? Benarkah kapitalisme dan demokrasi liberal tidak akan mengalami krisis dan kontradiksi internalnya?

Petaka Demokrasi Liberal
Krisis dan kritik terhadap model demokrasi liberal sebenarnya sudah jauh hari diingatkan oleh beberapa kalangan. Kritik terhadap demokrasi datang dari tradisi Marxisme - utamanya Lenin – yang menyebut bahwa demokrasi sebenarnya adalah siasat kaum borjuis. Lenin mengolok demokrasi liberal sebagai kediktatoran kaum borjuis (the dictatorship of borguise), dimana instrumen dan sumberdaya kekuasaan yang berupa hukum, ekonomi dan politik terkonsentrasi pada segelintir kelompok borjuis saja. Karena itu, alih-alih berpihak kepada kesejahteraan proletar, model demokrasi ini hanya akan menghasilkan model politik massa mengambang serta lahirnya oligarkh dan teknokrat politik yang enggan berbaur dan menjawab tuntutan serta penderitaan rakyat.
Tidak hanya pada tradisi marxisme, kritik terhadap demokrasi liberal juga datang dari kalangan pendukungnya sendiri. Ironi ini bermula dari teoretisi demokrasi Joseph Schumpeter yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif dan adil. Senada dengan itu, Samuel P. Huntington, sama naifnya dengan Schumpeter, juga menyanyikan nada yang seirama. Bagi Huntington, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi selama pemilu. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat ditendang dan dikhianati; kebijakan publik tidak lagi memihak rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-mana, BBM dinaikkan, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan pengangguran tetap saja berkembang biak. Demokrasi, dalam cita-cita yang sesungguhnya, perlahan-lahan mati.
Dalam konteks ini kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks demokrasi sangat tepat dan jitu. Ada tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan finansial?
Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya.
Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat.
Tidak hanya itu, sesat pikir kaum demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan fakta tentang negara dan kekuasaan. Negara, seperti kita semua maklum, adalah tempat akses dan relasi ekonomi, politik, hukum berlangsung. Karena itu, sistem demokrasi juga berhadapan dengan masalah ekonomi. Negara dan sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah bagaimana menciptakan kesejahteraan, bagaimana menjalankan dan mengatur finansial sebuah negara. Karena itu negara membutuhkan sebuah persekutuan yang taktis dan cepat. Karena hanya model ekonomi kapitalisme yang tersedia - yang bertumpu pada kekuatan modal besar -, maka demokrasi membutuhkan kapitalisme, begitu juga sebaliknya. Dari sini, persekutuan najis itu mulai tercipta.
Di ujung jalan, tampaknya kapitalismelah yang berkuasa. Atas nama kemajuan dan perdagangan bebas, ia mulai mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia mulai menyiasati demokrasi. Lalu muncullah makhluk lama dengan baju yang baru: neoliberalisme. Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik “silent takeover”. Istilah terakhir ini dipinjam dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih sebuah penjajahan yang terselubung.

Teror Neoliberalisme
Pada awalnya hanyalah gagasan. Neoliberalisme digulirkan sekelompok intelektual di sebuah dataran tinggi Mont Pelerin di Swiss. Beberapa pemikir, pengusaha dan media ini memperbincangkan dan mengangankan sebuah tata dunia baru yang tanpa tapal batas; sebuah tata dunia baru yang dikendalikan sepenuhnya oleh pasar dan kekuatan modal; sebuah tata dunia yang berjalan tanpa aturan negara; sebuah tata dunia yang meninggalkan negara kesejahteraan a la Keynessian menuju pasar bebas. Neoliberalisme kemudian dikenal sebagai sebuah kendaraan yang mengusung satu proyek besar dunia; globalisasi. Gagasan ini kemudian dengan cepat menjadi sebuah ‘horor global’ ketika ia diadopsi menjadi sebuah tata dunia baru. Ini terjadi setelah administrasi Reagen dan Tatcher mengadopsi gagasan Mont Pelerin Society ini. Setelah itu, hampir semua kebijakan dan lembaga internasional seperti World Bank, IMF dan WTO praktis mengalami perubahan untuk mendukung paham globalisasi.
Paling tidak, ada dua faktor yang mendorong kenapa gagasan tentang neoliberalisme ini dipakai dan diadopsi oleh rejim anglo-america tersebut. Pertama, ada krisis besar dan resesi ekonomi dunia yang utamanya mengenai Amerika Serikat. Krisis ini semacam krisis overproduksi yang menimpa sejumlah perusahaan multinasional dan perbankan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme negara yang dianut oleh kebanyakan negara-negara dunia ketiga dan negara-negara miskin. Kedua, model negara kesejahteraan (welfare state) mengalami kebangkrutan akibat besarnya pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk jaminan sosialnya rakyatnya.
Dengan demikian, kemenangan gagasan neoliberalisme adalah kemenangan bagi perusahaan multinasional dan sejumlah korporasi yang merasa menderita pada jaman kapitalisme negara. Termasuk juga kemenangan bagi negara maju dan sejumlah korporasinya untuk memberi ‘tekanan’ pada negara miskin agar mematuhi doktrin khas neoliberal: liberalisasi-privatisai-deregulasi. Pendeknya setelah jaman globalisasi neoliberal menjelang, maka tapak-tapak imperialisme ini mulai berjalan. Ini bisa ditandai oleh semakin mengguritanya korporasi internasional yang bersiap mencengkeram seluruh kehidupan rakyat.
Noreena Hertz punya gambaran yang menarik, bagaimana suasana yang terjadi setelah dunia berada dalam jaman globalisasi neoliberal ini. Menurutnya, selama berlangsungnya era globalisasi yang ditandai oleh kebijakan privatisasi, deregulasi dan liberalisasi perdagangan, dan kemajuan teknologi komunikasi, terjadi pergeseran kekuasaan. Kekuasaan pasar dan korporasi global tiba-tiba tumbuh mejadi monster yang bisa mengancam keberadaan negara dan demokrasi rakyat.
Dalam data yang dimiliki oleh Noreena tercatat ada 100 perusahaan multinasional terbesar mengontrol 20% aset asing global, 51 dari 100 negara terbesar dunia adalah perusahaan, hanya 49 yang merupakan negara bangsa. Penjualan General Motor dan Ford lebih besar daripada GDP seluruh negara-negara sub-sahara Afrika. Aset IBM, BP dan General Electric lebih besar daripada kebanyakan negara-negara kecil; dan Wal-Mart, pengecer supermarket Amerika Serikat, memiliki penghasilan yang lebih besar daripada negara-negara Eropa Timur dan Tengah termasuk Polandia, Republik Ceko, Ukraina, Hungaria, Rumania dan Slovakia. Karena itu barang-barang yang dikonsumsi manusia hampir berada dalam genggaman korporasi ini. Di tangan mereka-lah kehidupan dunia kini dipertaruhkan.
Kekuasaan korporasi yang sangat hegemoik dan monopolis ini tentu mengakibatkan sebuah tata dunia yang timpang. Tata dunia yang ditandai oleh ketidakadilan sosial dan makin merebaknya kemiskinan. Sebuah tata dunia yang menghasilkan jurang dan celah yang begitu lebar antara yang kaya dan yang miskin. Menurut Noreena, globalisasi neoliberal ini jelas lebih banyak menghasilkan ‘mereka yang kalah’ dibandingkan dengan mereka yang menang. Kesaksian Noreena atas kemiskinan dan ketimpangan yang juga terjadi di Amerika dan Inggris menjadi bukti bahwa neoliberalisme memang ancaman besar bagi dunia.
Korporasi multinasional ini tiba-tiba berkembang menjadi finance oligarchy yang bersiap-siap untuk melucuti demokrasi dan keadilan sosial. Bahkan, tak segan-segan, untuk menegakkan prinsip-prinsip neoliberalisme, kekerasan juga dihalalkan dan rezim otoriter pun juga didukung asalkan menegakkan prinsip-prinip demokrasi pasar dan neoliberalisme, maka tentu juga akan tetap didukung. Yang penting, akumulasi modal dan penumpukan laba jalan terus.
Begitulah ceritanya. Di negara-negara yang dulunya dipimpin oleh rejim otoriter (seperti Indonesia, Argentina, Rusia, Korea Selatan atau Brazilia) neoliberalisme masuk ketika negara-negara itu mengalami krisis politik dan krisis ekonomi. Pada masa itulah melalui sejumlah agen-agen utamanya semisal IMF dan World Bank, agenda neoliberalisme mulai masuk dan membuat sejumlah penyesuaian struktural. Dan disambutlah sebuah jaman yang seringkali disebut-sebut dengan nada optimis yang meluap: transisi menuju demokrasi.
Tetapi, kita sebaiknya tidak menelan mentah-mentah sebuah doktrin bahwa setelah rejim otoriter runtuh, maka demokrasi akan menjelang, kesejahteraan dan keadilan pasti akan datang. Faktanya, ada kekuasaan lain yang jauh lebih imperalistik dan menindas. Sebuah kekuasaan korporasi yang senantiasa mengincar jalan yang sedang ditempuh oleh negara-negara yang mengalami masa transisi. Jadi, di negara-negara manapun perjalanan transisi bukan berjalan secara alami, netral dan bukan tidak ada kepentingan-kepentingan modal yang mengincar setiap ruas jalannya.

Transisi (tidak) Menuju Demokrasi
Salah satu buku babon yang seringkali dirujuk untuk mendalami transisi adalah karya Guillermo O’Donnel, Transisi Menuju Demokrasi, yang mengungkapkan beberapa kasus transisi demokrasi di Amerika Latin dan Eropa Selatan. Buku yang terdiri dari empat volume tersebut menjelaskan bahwa transisi demokrasi paling tidak dicirikan oleh suatu peralihan dari rejim otoritarian, baik yang berbentuk rejim otoriter birokratik, otoriter populis, maupun otoriter tradisionalis, menuju rejim yang lebih demokratis. Dalam karya itu, transisi yang ideal, menurut karya Guillermo O’Donnel, terletak pada pertama, model transisi politik yang berujung pada konsolidasi demokrasi, partisipasi politik, peranan partai politik yang kian meluas, adanya demiliterisasi dan liberalisasi ekonomi. Kedua, model transisi yang tidak diwarnai oleh sebuah kecenderungan revolusioner, yang berpotensi mengembalikan suatu negara ke rejim otoritarian. Ketiga, peranan faktor-faktor internasional yang seringkali mempromosikan demokrasi. Bagi O’Donnel, faktor-faktor internasional ini cenderung bernilai positif dalam pembangunan demokratisasi di sebuah negara.
Dalam konteks yang sama, maka definisi demokratisasi yang ideal bagi masa transisi ini digambarkan oleh Adam Przeworski sebagai sebuah mekanisme institusionalisasi (pelembagaan) dari konflik yang berkelanjutan dan pelembagaan demokrasi yang mencakup cita-cita partisipasi dari seluruh kelompok yang berbeda cita-cita, kepentingan dan bahkan ideologi sekalipun dan memastikan agar semua kelompok itu bertanding dan berkontestasi dalam ‘ring’ dan mekanisme demokrasi itu.

Dalam buku Malapetaka Demokrasi Pasar (Resistbook, 2005), Coen Husain Pontoh, dengan perspektif yang berbeda, mengatakan bagaimana kekuatan modal dan faktor internasional justru merupakan faktor dominan yang menyebabkan masa transisi berbelok arah. Tidak lagi transisi menuju demokrasi, melainkan transisi menuju neoliberalisme—atau yang disebutnya sebagai transition via internationalization. Sebuah model transisi yang dipandu oleh negara-negara maju melalui hutang luar negeri, sebuah gaya transisi yang juga disokong oleh lembaga keuangan internasional semacam IMF dan World Bank. Intinya adalah sebuah transisi yang mengajak sebuah bangsa untuk menuju neoliberalisme. Melalui pembedahan atas kasus Rusia dan Argentina, Coen hendak mengingatkan bahwa model transisi yang mengarah pada neoliberalisme pada dasarnya adalah sebuah perangkap yang justru akan memenjarakan demokrasi rakyat, mengabaikan hak-haknya dan lantas meluncurkannya pada jurang krisis yang tak kunjung usai.

Kutu Dukuh, 26 Mei 2005

Menggugat sekolah mahal

Menggugat Sekolah Mahal
Oleh: Dian Yanuardy

Memperbincangkan pendidikan di negeri ini seperti tidak ada habisnya. Ada beragam karya yang menghujat pendidikan: mulai dari yang menggugat komersialisasi pendidikan, menggugat sistem pendidikannya, mempertanyakan kurikulumnya, menuntut anggarannya, hingga memaki-maki soal ketimpangan yang terus direproduksi oleh sebuah lembaga yang bernama sekolah. Meskipun demikian, tampaknya masih banyak anak-anak yang enggan meninggalkan bangku sekolah (kecuali karena nggak mampu bayar SPP), masih banyak orang tua yang berlomba-lomba mendaftarkan anaknya ke sekolah favorit, masih banyak anak lulusan SMU yang pingin mengeyam bangku kuliah. Semuanya barangkali bisa diringkas dalam satu ungkapan; ”demi masa depan yang lebih baik”.
Tampaknya, hingga kini, sekolah masih dipercaya sebagai sebuah pabrik yang niscaya mengeluarkan komoditas yang bermutu dan bernilai tinggi. Bersekolah, juga seringkali diidentikkan dengan harapan adanya masa depan yang cerah, mempunyai pekerjaan yang bagus, penghasilan yang cukup, akhlak yang mulia dan sebagainya. Karena itu, mendatangi lembaga sekolah menjadi seperti kewajiban yang melebihi segalanya. Jika, tidak bersekolah maka anda tidak dianggap berhak untuk melakukan dan mendapatkan apa-apa. Intinya, kamu bersekolah maka kamu ada..!!
Apa akibat dari sesat pikir ini? Ya betul, sekolah kemudian dianggap sebagai lembaga yang sakral. Ia melebihi tempat ibadah, karena hampir semua orang pernah memasuki dan duduk di bangku-bangkunya. Sekolah seringkali dianggap sebagai magic box. Dengan sedikit sim salabim atau aba kadabra, maka anak yang bersekolah pasti akan menjadi lebih baik, bermoral, pintar dan punya masa depan yang cerah. Karena dianggap sebagai lembaga sakral dan tidak pernah salah, maka lembaga pendidikan dan sekolah juga cenderung immune dari kritik terhadap paradoks yang justru terdapat dalam lembaga itu.
Nah, buku-komik yang berjudul “Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah” berdiri dan melawan kecenderungan itu. Buku komik ini mengajukan serangan yang tajam terhadap sekolah sebagai lembaga yang sakral. Tentu buku ini punya detail dan style yang berbeda dari buku tentang sekolah yang juga pernah diterbitkan resist book, seperti “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Jika buku yang terdahulu itu berhasil menggambarkan dengan detail dan kaya data tentang bagaimana dunia pendidikan yang berada dalam genggaman modal dan mereproduksi kesenjangan sosial, maka komik ini justru punya gaya yang berbeda meski dengan pesan yang serupa. Buku ini menjelajah dan menyusuri lebih jauh, sebuah lembaga yang bernama sekolah. Ia dengan detail gambar-gambar yang memukau, sindiran-sindiran yang tajam dan kritik yang mengena berhasil mendedahkan bagaimana sesungguhnya ‘isi perut’ dari sebuah sekolah. Buku yang sarat komik dan gambar ini siap membuat anda merasa tersindir.
Ada beberapa pesan yang hendak disampaikan oleh komik ini. Pertama, sekolah tampaknya masih terkungkung oleh sistem yang otoritarian. Ini bisa kita lihat dengan begitu banyaknya aturan, pelajaran yang penuh dengan doktrin-doktrin dan pengajar-pengajar yang miskin improvisasi. Sekolah juga acapkali membuat anak didik dikurung dan menjauhi realitas sosial di sekelilingnya.
Kedua, komersialisasi pendidikan masih menjadi problem terbesar dari dunia pendidikan. Hari ini, kaum borjuis tampaknya mengincar pendidikan sebagai sarana akumulasi modal. Bahkan, menteri pendidikan sangat mengharapkan agar berbagai perguruan tinggi menerapkan korporatisasi. Di Yogyakarta saja, misalnya, kalangan politisi, pengusaha dan anggota dewan dan birokrat, sedang gencar untuk mendirikan berbagai lembaga pendidikan. Apa akibat dari komersialisasi ini? Tentu pendidikan makin mahal dan tak terjangkau. Efeknya, tentu saja pendidikan mengalami segregasi; ada pendidikan yang mahal dengan fasilitas dan program yang berlimpah (buat orang kaya) dan ada pendidikan yang murah dengan fasilitas dan program yang apa adanya (buat orang kere). Ini seperti logika industri; jika anda mempunyai uang sedikit, maka anda akan mendapat barang yang jelek. Bahkan tak jarang, sekolah mahal pun tak ada jaminan kualitas yang baik.
Ketiga, dengan model pendidikan yang otoritarian dan watak kapitalistik yang massif, akhirnya sekolah cenderung menjadi tempat bagi membiaknya kultur a-sosial dan hedonis. Di negeri ini, kita sulit untuk menemukan sebuah lembaga pendidikan yang berhasil menelurkan anak didik dengan kesadaran kritis; seorang anak didik yang mampu melihat realitas di sekelilingnya dalam kacamata penindasan dan berjuang untuk pembebasannya. Karean itu, mentalitas mall (santai, kongkow, belanja dan hedonisme) serta mentalitas hape (citra diri, individualisme, dll) menjadi tanda bagi merebaknya kultur pendidikan yang semakin menjauh dari realitas sosial yang kian memiskinkan dan menghimpit.
Berbekal kejenakaan, kenyinyiran sekaligus visualisasi yang hidup, pemaparan tentang sistem yang otoriter, watak kapitalistik dan kultur hedonis dalam dunia pendidikan memperoleh gambaran yang nyata dan berserak di sepanjang karya ini. Di tengah-tengah komersialisasi pendidikan yang kian menggila dan optimisme kalangan pengamat pendidikan yang selalu bersuara “sekolah bagus memang harus mahal”, buku ini menghadirkan paradoks yang tajam dan kejujuran yang menghunjam. Karya ini, seakan-akan mengajak kita untuk bermonolog lirih: Inilah dunia pendidikan kita!!
Lalu, untuk siapa buku ini hadir?
Buat orang tua, ini adalah komik yang tepat untuk dibacakan dan diceritakan kepada anak menjelang tidur. Bagi kepala sekolah, ini adalah karya yang pantas untuk mengisi ruang perpustakaan sekolah atau menjadi pelajaran selingan pada jam-jam kosong. Dan buat para mahasiswa, inilah komik yang merekam keseluruhan riwayat panjang anda dalam dunia pendidikan; sebuah riwayat panjang yang telah menguras kantong dan memelintir keringat orang tua. Sebuah riwayat panjang yang belum tentu akan berujung pada kesuksesan.