menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Sunday, January 22, 2006

Dari Belgia membangun Indonesia

Dari Belgia Membangun Indonesia?
Oleh: Dian Yanuardy

Selama masa kunjungannya di Belgia, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan beberapa hal yang menarik dan layak untuk dicermati. Di forum temu warga di Belgia, Wakil Presiden yang berasal suku Bugis ini melontarkan dua statemen dengan nada yang optimis. Pertama, Jusuf Kalla menegaskan keyakinannya bahwa dalam kurun waktu lima atau enam tahun, bangsa Indonesia bisa bangkit dan berjaya. Di depan warga negara Indonesia yang tinggal di Belgia, dia meminta agar semua pihak tak lagi menjelek-jelekkan bangsa. Kedua, Dengan nada optimis yang meluap-luap, ia menegaskan bahwa kebangkitan ‘peradaban Indonesia’ bisa dilalui melalui pendidikan. Ketiga, di samping itu, menurutnya, pemerintah Indonesia saat ini sedang melakukan beberapa hal: menstabilkan ekonomi makro, memberantas korupsi, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Bermaksud menunjukkan kinerja dan prestasi pemerintahannya, Jusuf Kalla juga menyebutkan bahwa sepanjang sejarah negeri ini, pemberantasan korupsi pada rejimnyalah—tentu saja bersama presiden SBY—adalah praktik pemberantasan korupsi yang paling massif dan bergairah.
Statemen ini mengingatkan sebagian dari kita atas statemen George Bush dalam siaran persnya pada awal tahun 2006 ini. Dengan nada optimis yang serupa, George Bush menyerukan bahwa “Kita punya alasan untuk optimis tentang masa depan ekonomi kita”. Sontak, seruan George Bush ini mendapat gempuran kritik dari berbagai pihak. Nicole Colson, seorang jurnalis Socialist Worker Online misalnya, menurunkan argumen bahwa optimisme Bush sangat tidak berdasar. Colson memaparkan bahwa ekonomi Amerika sedang dilanda badai yang dahsyat. Colson meyakini, bertentangan dengan argumen Bush, bahwa Amerika kini sedang memasuki ‘empat tahun masa recovery ekonomi terburuk sepanjang sejarah’. Hal ini ditandai utamanya oleh sejumlah PHK yang dilakukan oleh pelbagai perusahaan besar, semakin membesarnya angka pengangguran, dan juga daya beli yang kian menurun.
Keserupaan statemen antara Bush di Gedung Putih dan Kalla di Belgia tentu mengisyaratkan berbagai hal yang layak untuk dicermati. Dua pemimpin dari negeri yang berbeda nasib ini sama-sama meluncurkan ‘politik pengharapan’. Hanya saja, perlu dilihat lebih lanjut apakah ‘politik pengharapan’ ini berdasar pada kenyataan-kenyataan yang konkret dan riil, ataukah hanya semacam ‘politik penghiburan’ yang menyembunyikan berbagai kenyataan-kenyataan yang palsu dan menipu. Dalam kasus statemen George Bush, serangan dan kritik berbagai pihak dilancarkan karena pernyataan Labor Department yang melansir bahwa semasa tahun 2006 tersedia 215.000 lowongan pekerjaaan. Tetapi, sejumlah kalangan menyebutkan bahwa angka itu hanya ilusi semata. Sebab, pada dasarnya sejumlah perusahaan besar semisal General Motor, Ford atau Marck Pharmaceutical justru berencana mengurangi pekerjanya secara besar-besaran.
Fenomena ini, bagi kalangan awam, cenderung akan menimbulkan kesan bahwa statemen sebuah rejim tidak lebih hanyalah semacam ‘politik penghiburan’ yang tidak berbasis pada hal-hal yang konkret, melainkan hanya bertumpu dan berkutat pada angka-angka dan statistik. Jika hal semacam ini menjadi praktik sosial yang berulang-ulang, maka lama-kelamaan wajah politik hanya berakhir pada sebentuk simulakra politik. Sebuah politik citra tanpa kenyataan konkret.

Ironi di balik Harapan
Sebagai seorang Wakil Presiden, tentu sah-sah saja jika Jusuf Kalla mengeluarkan sebuah pernyataan yang bernada optimis. Tetapi, pertanyaannya adalah: apakah pernyataan itu sebuah ‘politik pengharapan’ ataukah hanya sebuah simulakra politik? Dan, pertanyaan utamanya adalah apakah pertanyaan tersebut bersesuaian dengan kondisi riil di Indonesia? Jika tidak, lalu apa makna dari statemen seperti itu? Ada beberapa argumen yang bisa diajukan untuk membongkar ‘ideologi’ di balik pernyataan tersebut.
Pertama, argumen bahwa dalam waktu lima atau enam tahun Indonesia akan berjaya tampak tidak terlalu meyakinkan. Argumen semacam ini mengabaikan fakta-fakta riil bahwa fenomena ketidakadilan sosial dan kemelaratan masih merupakan problem terbesar bangsa ini. Jika ukuran kemajuan ekonomi bangsa hanya didasarkan pada angka pertumbuhan dan investasi, maka pertanyaan selanjutnya adalah: kemajuan untuk siapa? Merebaknya demonstrasi di kalangan buruh di berbagai kota, bencana kelaparan di Yahukimo, dan berbagai pemberitaan tentang mahalnya harga beras yang memaksa sejumlah keluarga miskin menurunkan kualitas pangannya adalah sejumlah fakta riil bahwa di kalangan akar rumput, kemiskinan dan kemelaratan itu telah terasa dalam menghisap tulang sumsum mereka. Diakui atau tidak, kemiskinan di negeri ini semakin bertambah parah semenjak pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan BBM, yang segara akan disusul dengan naiknya TDL dan kebijakan impor beras. Jika kebijakan yang berpola neoliberal ini terus-menerus menjadi pola utama dari kebijakan rejim SBY-JK ini, maka mimpi membangun kemajuan di Indonesia dalam kurun waktu lima atau enam tahun adalah mimpi di siang bolong. Dan jika kemajuan itu hanya bertumpu pada angka pertumbuhan dan investasi, maka bagian terbesar dari masyarakat Indonesia, yaitu kaum buruh, petani miskin, pedagang kaki lima, masyarakat adat, nelayan miskin adalah kelompok utama dari masyarakat yag selalu ditinggakan dan diabaikan dalam ilusi kemajuan itu.
Kedua, dengan meminta supaya masyarakat tidak lagi menjelek-jelekkan negerinya, ungkapan semacam itu tampak seperti ingin memercikkan benih-benih otoritarianisme baru. Beberapa preseden membuktikan bahwa meskipun sepintas bergaya demokrat, respon terhadap berbagai kritik yang dialamatkan pada pemerintahan ini tidak selalu dijawab dengan argumen demokratis. Bahkan, puisi para guru yang mengingatkan kondisi pendidikan di negeri ini pun dijawab dengan dengan logika serupa: masyarakat dilarang menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Argumen semacam ini mengabaikan fakta penting bahwa sesungguhnya masyarakat tidak sedang menjelek-jelekkan bangsanya sendiri, tetapi bisa jadi ini adalah sebentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah. Jika logika ini yang berlaku, maka ungkapan untuk tidak menjelek-jelekkan bangsa bisa bermakna lain: jangan menjelek-jelekkan pemerintahan saya.
Ketiga, mengandaikan kemajuan negeri ini dicapai melalui jalur pendidikan juga menyisakan beberapa pertanyaan lain. Di tengah-tengah mahalnya biaya pendidikan (utamanya pendidikan tingi), maka peluang bagi sejumlah keluarga miskin untuk melakukan mobilisasi kelas menjadi terhambat. Pendidikan adalah salah satu jalan efektif bagi kaum miskin untuk melakukan mobilisasi kelas. Namun jika biaya pendidikan semakin mahal dan tak terjangkau oleh kaum miskin, maka dimana lagi peluang bagi mereka untuk merubah nasibnya? Karena itu, tanpa memandang bahwa terdapat modus kapitalisasi yang akut dalam dunia pendidikan hari ini, maka argumen membangun kemajuan bangsa melalui pendidikan adalah argumen yang absurd dan tidak berpijak pada fakta riil.
Karena itu, dibanding harus sibuk mengobral ‘politik pengharapan’ dan ‘citra demokratis’, pemerintahan SBY-JK setidaknya harus mulai bekerja dengan berpijak dan berpihak pada mayoritas pemilihnya: kaum miskin yang mendambakan perubahan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home