menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Thursday, October 27, 2005

Ketika Ibrahim bertemu Musa

Ketika Ibrahim Bertemu Musa

Apa jadinya jika seorang pemuda yang binal--suka melacur--bertemu seorang penganut sufisme? Dan Ibrahim memang bertemu Musa (Mosses). Tentu saja, bukan kisah dalam kitab suci manapun. Tetapi, di Blue Road; di sebuah ruas jalan pada kota kecil di pinggiran Perancis yang jorok dan penuh pelacur. Di film Monsieur Ibrahim, Mosses Schmitt, pemuda Yahudi yang pendiam dan soliter, bersua dengan Ibrahim Dermidji, sufi pengagum Rumi. Ibrahim, diperankan oleh aktor kawakan Omar Shariff, kerap berceloteh dan memuji isi kitab sucinya: Koran (Al-Qur’an).

Setiap pagi Mosses Schmitt membuka nako jendela rumahnya. Ia masih berumur 16 tahun. Seumuran gadis tetangga yang kerap diusilinya. Setiap kali membuka jendelanya, Mosses menjadi lebih matang dan dewasa dari umurnya. Di seberang rumahnya, para pelacur berderet dan berjajar setiap pagi. Mosses hafal betul ceruk-ceruk kehidupan binal di Blue Road. Termasuk ‘etika’ bagi seorang laki-laki yang hendak ‘jajan’. Mosses, toh tak bisa begitu saja disalahkan. Ia hidup dalam lingkungan dan keluarga miskin dan kacau balau. Tidak ada keintiman dan kehangatan. Ayahnya seorang pekerja serius yang ketus, dingin dan jarang pulang. Sementara sang ibu malah sudah meninggalkannya semenjak kecil.

Suatu kali, Mosses ingin menjadi dewasa. Ia berhasrat menggauli seorang pelacur. Uang tabungan dalam celengannya dibongkar. Ia pun berlagak seperti layaknya lelaki dewasa di daerah itu. Melalui perjuangan yang tidak putus asa –- pelacur mana yang hendak berkencan dengan pemuda 16 tahun?---Mosses mendapatkan hasrat birahi yang pertama kali. Ia merasa puas dan bahagia. Selepas itu, toh ia tetap saja anak muda: bermain bola, membantu ayahnya, berkencan dengan belasan perempuan yang lain, serta punya rasa penasaran.

Lalu, Mosses bertemu Ibrahim pemilik kedai yang berusia 60-an. Awalnya hanyalah pertemuan yang janggal dan kaku. Lewat ayahnya, Mosses mengira bahwa Ibrahim adalah orang Arab. Karena itu, ia memanggilnya ‘Arab’. Sebuah identitas yang bisa jadi serupa dengan citra Islam: yang puritan dan fundamentalis. Sebuah panggilan biasanya memang bisa membangun benteng identitas: hasrat untuk mendedahkan selaksa definisi, kategori dan bahkan juga diferensiasi. “Memberikan definisi adalah melakukan imperialisasi,” demikian ujar penulis Orientalisme, Edward Said. Tetapi, kadangkala konsep ilmiah yang abstrak dan rumit bisa jadi tunduk oleh perkara remeh-temeh. Dan benteng kekakuan identitas antara keduanya pun meluruh: Ibrahim yang tua, penjaga kedai dan muslim penganut sufi, bisa saja bertemu dan bergaul dengan Mosses sang pemuda, yang suka melacur, dan seorang Yahudi yang pendiam.

Keduanya, barangkali, bisa bertemu lewat suatu fragmen yang aneh dan tak tersengaja. Sembari mengejek sebutan Arab, Ibrahim menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang Persia yang tinggal di Turki dan penganut sufisme. Ibrahim juga memanggilnya Momo: sebuah sintesa cerdik antara Mosses dan Mohammad. Rasa penasaran membuat Mosses mencari tahu makna Islam, sufisme atau Persia lewat buku-buku ensiklopedis milik ayahnya (kelak buku-buku habis ini dijual untuk memenuhi birahi mudanya).

Ibrahim memang orang tua yang flamboyan, santun sekaligus memukau. Berhadapan dengan seorang pemuda macam Mosses, ia tidak pernah berlaku kaku. Ibrahim juga tidak berceramah tentang dogma dan doktrin yang seram-seram. Ia bahkan tak melarang Mosses pergi ke pelacuran atau mencuri sesuatu di tokonya. Bahkan, suatu kali Ibrahim juga mengajak Mosses duduk di kafe dan minum alkohol. Sebagai penganut sufisme, ia seperti hendak melewati dan mengabaikan dogma agama yang literalis; sebuah kecenderungan ajaran agama yang berjalan dan dibimbing di atas kekakuan legalisme dan tetek-bengek ‘administrasi’ agama lainnya.

Ibrahim membuka pintu persahabatan lewat ajaran dan perilaku yang sederhana namun memikat. Ia mengajari Mosses bahwa senyum, keramahan dan kedermawanan harus dimiliki oleh setiap orang. Meski kemiskinan dan kesusahan mendera, seseorang harus tetap bahagia dan membahagiakan. Mosses lantas menganggap Ibrahim sebagai ayah sekaligus sahabatnya. Keduanya menjadi akrab dan intim. Mosses bahkan tak terlampau bersedih ketika ayahnya minggat. Ia juga tak bergeming ketika ibunya tiba-tiba datang. Bahkan, kini, Mosses juga tak resah kehilangan perempuan-perempuan pelacurnya.

Suatu kali, keduanya bertekad meninggalkan kesuntukan di Blue Road. Ibrahim mengajak Mosses bertualang dan pulang kampung ke Turki. Di negeri ini Ibrahim mengajaknya bertemu para darwis yang menari tarian Rumi. Ia juga membiarkan Mosses mengenal tarian pemuda Turki. Dan di ujung alur cerita, Ibrahim ingin mengajak Mosses ke persinggahan terakhir, mengunjungi dusun kelahirannya sekaligus menikmati lautnya. Di tengah jalan, di sebuah dusun yang tandus dan tak dikenal, tiba-tiba, Ibrahim pergi meninggalkan Mosses. Semula, ia hendak mengunjungi kampung di seberang gunung. Tetapi mobil yang dikendarainya terbalik dan terjungkal. Ibrahim wafat dan meninggalkan Mosses tanpa sempat menyaksikan dusun dan laut. Kematian Ibrahim seperti tanda bahwa Mosses harus melanjutkan kehidupannya sendiri. Ibrahim akhirnya mewariskan Mosses banyak perkara: Al-Qur’an, kedai kecil, sekaligus petualangan dan ajaran-ajaran yang berharga.



*****
Monsieur Ibrahim, film ini memang cenderung beralur lambat dan senyap. Ia seperti ingin berujar bahwa sebuah film memang tak harus hingar bingar oleh kepastian atau soundtrack yang memekakkan. Justru dalam suara lirihnya—seperti sebuah solilokui—film ini punya pesan yang tajam dan dalam. Tentang bagaimana seharusnya seorang pemuda diperlakukan dan sebuah agama diajarkan. Seorang pemuda, laiknya memang seperti gambaran penyair Chairil Anwar: tanda bagi belantara keberanian dan petualangan. Karena itu, ia kerapkali berani berpetualang menerobos kesalahan dan kekhilafan. Dan Ibrahim Dermidji menggambarkan bagaimana selayaknya kearifan perenial diajarkan. Ibrahim, seperti tak hendak menunjukkan jalan kebenaran buat Mosses. Ia hanya mengetukkannya. Sebab, kadangkala buat para pemuda, pintu kebenaran dan kearifan hanya butuh untuk diketukkan. Bukan dipertontonkan, apalagi dipaksakan.

Semoga, anda—para orang tua dan anak muda — sempat menonton film ini.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home