Kaum Muda dan Gerakan Islam, Bangkitlah!!
Setelah tumbangnya Orde Baru, berbagai kelompok Islam tampil dengan corak perjuangan dan ideologi yang kaya dan beragam. Di wilayah isu-isu politik, misalnya, kehadiran Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah diantara sekian partai di negeri ini yang selain mengusung Islam sebagai ‘bara ideologi’ perjuangan, juga berupaya meletakkan ajaran Islam bersandingan dengan politik negara. Bagi beberapa kelompok ini, ajaran Islam pada dasarnya bukan semata-mata sebagai agama, tetapi juga seperangkat cita-cita politik etatis. Atau ringkasnya, dalam istilah Marshal Hodgson, kelompok ini adalah mereka yang mempercayai ajaran Islam sebagai Din wa Daulah (Agama sekaligus Negara). Cita-cita etatisme Islam ini tidak hanya dimiliki oleh partai-partai yang bersaing dalam mekanisme demokrasi liberal, tetapi juga beberapa kelompok gerakan Islam yang lain semisal Majelis Mujahidin (MM) atau Hizbu Tahrir Indonesia (HTI). Dua kelompok terakhir ini malah jauh lebih tegas mengartikulasikan perjuangan penegakan Syariah Islam di Indonesia. Selain beberapa kelompok ini, konfigurasi kelompok Islam pasca Orde Baru juga diwarnai oleh kehadiran KAMMI dan Gema Pembebasan yang juga mengangankan tampilnya Islam dalam ‘ruang publik’ di Indonesia.
Sementara di sisi yang lain, dengan didasarkan oleh gagasan pembaharuan Islam yang digulirkan oleh Nurcholish Madjid (alm) pada tahun 70-an, muncul juga Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani oleh sekelompok intelektual. Berlawanan dengan kecenderungan etatisme Islam di atas, Jaringan Islam Liberal ini berupaya mengedarkan nilai-nilai Islam yang liberal, pluralis, dan ‘menyapih’ peran agama dari negara.
Kemunculan berbagai gerakan baru Islam pasca Orde Baru ini sebenarnya merupakan ‘bahan mentah’ yang baik untuk merajut demokrasi di Indonesia. Bahkan, jika dihitung dengan berbagai organisasi Islam yang terlebih dahulu lahir—semisal NU, Muhammadiyah, Persis, dll—semestinya gerakan Islam tampil sebagai pilar utama dalam mengusung nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Sayangnya, alih-alih menjadi pilar utama, gerakan-gerakan Islam seringkali justru berada dalam kontestasi yang keras di antara sesamanya. Salah satu fenomena yang turut juga memicu perdebatan dan ketegangan antara gerakan Islam adalah 11 Fatwa MUI tentang Ahmadiyah, sekularisme, liberalisme dan lain-lain. Bahkan, tak jarang ketegangan dan perdebatan di antara kelompok Islam ini berujung pada perilaku kekerasan dan penghakiman yang berlebihan.
Berbagai problem ini tak urung bisa mengujungkan kita pada satu penilaian bahwa ada berbagai kelemahan mendasar dalam gerakan Islam. Apa itu? Pertama, gerakan Islam di Indonesia tampaknya masih belum mampu merespon berbagai persoalan dan problem riil rakyat Indonesia. Cengkeraman neoliberalisme yang mendera kehidupan rakyat semisal pendidikan yang semakin mahal, kesehatan yang berwajah kapitalisitik dan problem kemiskinan umat serta kebijakan publik yang kian menindas rakyat kecil tampaknya belum benar-benar menjadi perhatian gerakan Islam. Pendeknya, hingga saat ini belum ada gerakan Islam yang secara tegas melihat kebuasan globalisasi noliberal dan kuasa pasar sebagai ancaman bagi umat Islam di Indonesia..
Kedua, tumpulnya analisa sosial yang kritis serta lemahnya keberpihakan gerakan Islam pada kelompok mustadhafien (orang-orang tertindas). Hingga kini kita belum melihat adanya gerakan Islam yang dengan serius dan gagah berani mampu melakukan kerja-kerja advokasi dan pembelaan terhadap masyarakat yang mengalami penggusuran dan pemiskinan.
Karena itu, gerakan Islam terus menerus berada dalam ayunan dua pendulum klasik; antara mereka yang berpegang teguh pada tradisi dan mereka yang berkehendak pada pembaharuan. Dan celakanya, gagasan pembaharuan Islam yang selama ini digulirkan pun hanya bertumpu dan berpuas diri pada isu-isu liberalisasi pemikiran saja.
Ketiga, watak organisasi dan gerakan Islam yang semakin feodalistik dan oligarkis. Kecenderungan ini tampak pada tidak diakomodirnya desakan gerakan pembaharuan yang lebih progresif dan dihilangkannya peranan radikalisme kaum muda. Berbagai organisasi dan gerakan Islam tampak mengidap gerontokrasi dan berujung pada melambannya kemampuan organisasi untuk merespon problem-problem sosial secara progesif.
Seperti diungkapkan oleh Robert Hefner (antropolog dan pengarang buku Civil Islam) saat ini yang terpenting adalah transformasi gerakan Islam. Artinya, bagaimana gerakan Islam mampu bertransformasi menjadi gerakan sosial yang kritis terhadap cengkeraman modal dan kuasa pasar. Dan pilar utama yang diharapkan mampu menjadi bagian dari upaya transformasi ini adalah kaum muda yang mulai menyemai gagasan serta gerakan yang kritis dan radikal. Meski saat ini hanya minoritas dan berada di pinggiran, kaum muda inilah yang diharapkan akan tampil menggeser kecenderungan jumudnya gerakan Islam saat ini.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home