menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Friday, December 22, 2006

Mereka Lahir Dari Rahim Pergerakan Rakyat

Awal
Ramalan Francis Fukuyama terbukti tak benar. Ketika Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989, Fukuyama, secara agak sembrono, meramalkan bahwa dunia akan memasuki segara memasuki fase “akhir sejarah” [the end of history]: kemenangan kapitalisme [neoliberal] dan demokrasi [liberal]. Apa yang dimaksud dengan “akhir sejarah” oleh Fukuyama bukan berarti dunia kehilangan peristiwa-peristiwa besar dan penting, melainkan bahwa sejarah berjalan secara tunggal, koheren, dan evolusioner. Bagi Fukuyama, masyarakat liberal demokratis yang didasarkan atas kapitalisme pasar-bebas, pada akhirnya akan mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam hal stabilitas ekonomi, penghargaan terhadap diri sendiri, dan kehormatan.

Beruntunglah, dunia tak berjalan seperti yang diramalkan oleh Fukuyama...

Gelombang Perlawanan terhadap Globalisasi Neoliberal
Serangan pertama yang mematahkan tesis Fukuyama datang dari hutan raya Lacandona, di Chiapas, negara bagian yang paling tenggara Meksiko. Bukan oleh kaum akademisi dan intelektual, melainkan oleh sekelompok masyarakat adat dan petani bersenjata, yang menutupi mukanya dengan balaklava, dan yang menamakan diri dan pergerakannya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Zapatista atau EZLN [Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional] pada 1 Januari 1994. Dipimpin oleh Subcomandante Marcos, gerakan yang ‘hanya’ berintikan 3.000 orang bertopeng hitam, dan kebanyakan berasal dari suku Indian Maya ini, menyerbu pusat kota San Cristobal de la Casas, dan mengumumkan Deklarasi Perangnya sebagai perlawanan terhadap diberlakukannya pakta pasar bebas, yaitu tergabungnya Meksiko di NAFTA. Bagi petani dan masyarakat adat ini, NAFTA adalah lonceng kematian. Meskipun tinggal di sebuah negeri yang kaya sumberdaya alamnya, masyarakat adat Indian dan petani, terus mengalami ketidakadilan dan ketimpangan yang tajam.

Setelah ‘meninggalkan’ fase perjuangan militer, EZLN lalu mengganti pola perjuangannya dengan senjata lain yang tak kalah mematikan: kata-kata. Jadi, kata menggantikan senjata. “Kata adalah senjata”. Sejak saat itulah, Subcomandante Marcos menggebrak dunia politik lewat kata-katanya yang tajam, dan prosa-prosa yang mengagumkan. Tulisan-tulisannya ‘membakar’ dan ‘menghasut’ pembacanya agar memahami cengkeraman dan jeratan neoliberalisme di Meksiko. Tak hanya bernada agitasi dan provokasi, tulisan Marcos juga menggabungkan antara kemahiran sastra tingkat tinggi dengan analisa ekonomi-politik yang tajam.

Salah satu hal yang paling subtansial, yang menantang langsung pendirian Fukuyama, adalah bahwa Zapatista mengangankan visi altermundialista, yaitu dunia lain di luar globalisasi neoliberal. Sebuah dunia yang dipandu atas penghargaan terhadap demokrasi, kebebasan dan keadilan rakyat yang sejati. Bukan demokrasi, kebebasan, dan keadilan rakyat yang berada dalam definisi dan cangkang kekuasaan kapitalisme. Bahkan, lebih lugas, Zapatista menyebut visinya berdasar pada nilai-nilai sosialisme yang telah lama hidup dan tumbuh di kalangan masyarakat Indian Maya.

Setelah gelombang pertama agak surut, ketidakpercayaan terhadap kapitalisme pasar bebas, lahir dari Brazil, negeri para pesepakbola. Disokong oleh Partido Trabahaldores (Partai Buruh Brazil), sejak Oktober 2002, Lula da Silva tampil menjadi Presiden Brazil menggantikan Fernando Cardoso, seorang pakar teori ketergantungan yang lalu ‘murtad’ dan beralih keyakinan pada prinsip-prinsip neoliberal. Lula mulanya adalah juga ketua PT tersebut. PT menjadi sebuah partai besar karena berhasil mengakomodasi gerakan buruh, petani, intelektual kota, dan bahkan kalangan rohaniawan. Tetapi, dukungan terhadap PT yang paling kuat dan radikal datang dari MST [Movimento dos Trabahaldores Rurais Sem Terra] atau Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah. Didirikan pada tahun 1984, MST merupakan organisasi kalangan pekerja dan buruh tani yang paling aktif berjuang untuk reforma agraria, redistribusi tanah dan pertanian rakyat. Gerakan ini, pada dasarnya muncul sebagai hasil dari distribusi tanah yang sangat timpang, yang merupakan warisan dari kolonialisme bangsa Portugis. MST tampil menjadi sebuah gerakan yang kuat dengan partisipasi rakyat yang sedemikian tinggi dan terus meningkat. Ketika partsipasi rakyat makin meninggi, dan tuntutan akan perubahan sosial-politik dalam skala yag luas diperlukan, maka MST mulai menjalin koalisi dengan PT yang kelak mengantarkan Lula da Silva ke kursi kekuasaan. Ringkasnya, kemenangan Lula dan menguatnya kepercayaan politik rakyat Brazil pada MST dan PT, secara bagus dilukiskan oleh Wendi Wolford, sebagai kemenangan gerakan sosial yang sedang “berjuang untuk mewujudkan komunitas yang didambakan” [imagined community].

Tampilnya Lula da Silva sebenarnya didahului oleh naiknya Hugo Chavez, pada pemilu Venezuela tahun 1998. Awalnya, Chavez mencoba melakukan sebuah kudeta yang gagal di tahun 1992. Namun kegagalan itu, meski ia lalu merasakan lantai dingin penjara, membuatnya meraih popularitas dari kalangan kaum miskin di seantero Venezuela. Kudeta itu merupakan kegeraman Chavez dan kawan-kawannya, atas kebijakan-kebijakan neoliberal Presiden Carlos Andres Peres yang menaikkan harga BBM, dan membuat rakyat di negeri yang kaya minyak itu tenggelam dalam kemiskinan absolut, bahkan kematian massal.

Dari balik jeruji penjara, Chavez mendirikan Gerakan Republik Kelima, yang juga merupakan persatuan front dari berbagai gerakan sosial di Venezuela. Setelah berhasil meraih kekuasaan lewat pemilu, Chavez menggeret politik Venezuela ke arah yang lebih kiri dan populistik. Gagasan pembaharuan dan perubahan sosialnya diberi nama Revolusi Bolivarian, dan diorganisir oleh Lingkaran Bolivarian, yang diancangkan sebagai alternatif untuk mengganti kapitalisme pasar bebas. Daripada bergabung dengan FTAA, misalnya, ia malah mendirikan ALBA [Alternatif Bolivarian untuk Rakyat America Latin] yang berdasar pada prinsip-prinsip keadilan rakyat. Tetapi, apa yang paling menentukan adalah upayanya untuk memperkuat posisi perusahaan minyak (PDVSA) milik negara dan meningkatkan daya tawarnya dengan meminta kenaikan royalti yang besar pada sejumlah perusahaan swasta. Tindakan ini, tak ayal, membuat Chavez memiliki kekayaan yang berlimpah dari hasil minyak yang dipakainya untuk membiayai berbagai kebijakan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis bagi penduduk yang paling miskin. Tak hanya itu, sebuah program reforma agraria yang meredistribusi tanah bagi kaum miskin juga dilakukan (sebagaimana Brazil, sebagian besar tanah di Venezuela juga dimiliki oleh segelintir oligarkh). Chavez kini menggembar-gemborkan gagasannya dengan sebutan sosialisme abad 21.

Nama lain yang muncul setelah Chavez adalah Evo Morales, nama lengkapnya Juan vo Morales Ayma, seorang suku Indian pertama yang menduduki kursi kepresidenan di Bolivia. Sebagaimana Chavez dan Lula, Evo Morales juga lahir dari rahim pergerakan rakyat. Partainya, MAS (Gerakan Menuju Sosialisme), merupakan sebuah partai front dan aliansi yang longgar dari berbagai gerakan sosial di Bolivia yang memiliki platform lebar dari penghapusan kebijakan neoliberal; partisipasi politik bangsa-bangsa pribumi yang lebih besar dalam politik nasional; nasionalisasi industri migas; legalisasi penanaman daun koka; serta pembagian yang adil terhadap sumber daya alam nasional. Menariknya, Evo Morales sendiri bukan aktivis kacangan, ia pernah menjadi anggota gerilyawan bersenjata Tupac Katari, yang kelak membuatnya mendekam di penjara selama lima tahun. Setelah pemenjaraan itu, Morales tampil sebagai pembela hak-hak kaum pribumi yang paling kukuh, juga menjadi ‘penyerang’ garis depan dalam menentang kebijakan neoliberal di Bolivia.

Seperi halnya Chavez, usai meraih kursi kekuasaan Evo Morales memotong gajinya dan pejabat publik lainnya, untuk diberikan kepada rakyat. Tak hanya itu, gebrakan besar Morales adalah menasionalisasi ladang gas alamnya. Ia juga menaikkan royalti gas alamnya menjadi lebih dari 50%, yang lantas digunakannya untuk pelbagai kebijakan-kebijakan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis. Selain itu, untuk mempertahankan kehidupan para petani Indian yang menanam koka, ia kembali melegalisasikan penanaman koka yang sebelumnya dilarang oleh AS. Ada dua alasan kenapa pemerintah AS melarang penanaman koka: pertama, sebagai tindakan proteksi bagi perusahaan transnasional AS, Coca Cola, yang juga menggunakan daun koka. Kedua, sebagai upaya penolakan terhadap program USAID yang berencana menggantikan tanaman koka milik petani Indian di pegunungan Andes dengan tanaman kacang macademia dan lada. Hal lain yang membuat Evo Morales juga termasuk dalam klan “Presiden Radikal” adalah usahanya untuk melakukan land reform yang radikal.

Segera setelahnya, beberapa kenaikan Presiden yang berideologi kiri menjadi fenomena umum di sejumlah negara Amerika Latin. Di Chili misalnya, Michel Bachelet seorang presiden dari aliansi partai sosialis dan kiri-tengah, kini berkuasa di negeri yang pernah dipimpin oleh diktator ‘murid’ Soeharto itu: Augusto Pinochet. Di Nikaragua, pemimpin gerilyawan Sandinista yang berhaluan kiri, Daniel Ortega juga tampil di kursi kekuasaan setelah sejak tahun 1990-an terus-menerus mengalami kekalahan oleh kandidat partai pro neoliberal. Nama yang lain adalah Ollanta Humala dari Peru, yang merupakan pemberontak yang melawan rezim neoliberal Peru, Alberto Fujimori. Humala juga merupakan karib dan bersahabat dekat dengan Hugo Chavez.

Jika kita tambahkan dua nama lagi: Fidel Castro dari Kuba dan Mahmoud Ahmadinejad dari Iran, maka tampaklah bahwa tesis akhir-sejarah Fukuyama telah gugur.

Fidel Castro bukan hanya lahir karena pergerakan rakyat, bersama Che Guevara, ia memimpin sebuah revolusi rakyat yang menggulingkan diktator militer Batista. El-Comandante Castro malah sejak dulu tetap mengukuhi sosialisme sebagai jalan hidup di negerinya. Meski mendapat embargo ekonomi dari AS, dan beberapa kali diancam pembunuhan, rakyat Kuba tetap mengagumi dan membelanya. Di tangan Castro, Kuba menjelma menjadi negara yang begitu memperhatikan hak-hak dasar rakyatnya. Di bidang pendidikan, misalnya, angka melek huruf merupakan yang terendah di dunia. Di negeri cerutu itu, segala level pendidikan, termasuk universitas, digratiskan. Tak sebagaimana di negeri ini, dimana pendidikan hanya menjadi sarana mobilisasi vertikal, di Kuba pendidikan bermakna horisontal yakni dengan bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian. Hal ini diatur oleh sebuah sistem yang membuat para guru-murid-orang tua murid untuk tidak saja senantiasa berkomunikasi secara personal, tetapi juga bertanggung jawab terhadap pendidikan, dan bahkan terhadap segala permasalahan yang muncul di lingkungan sekitarnya. Bahkan hingga hari ini, terdapat sebuah program pendidikan dengan slogan yang cukup menarik “A Nation Becomes University”—dimana negara beserta lembaga pendidikan tinggi beserta para profesor dan sejumlah guru besarnya mengadakan pengajaran pendidikan tinggi via televisi. Jadi jangan heran, kalau kelak orang Kuba berstatus sarjana semua!!. Jangan heran pula, kalau televisi di Kuba mengajarkan sejarah filsafat atau ilmu sosial dengan dipandu oleh seorang profesor!! Di bidang kesehatan, Kuba juga menorehkan prestasi yang cemerlang. Jumlah tenaga dokter di Kuba merupakan yang terbanyak dari negara manapun di dunia. Hingga kini, Kuba menawarkan beasiswa pendidikan kesehatan yang gratis kepada negara-negara miskin. Tak hanya berorientasi pemupukan kekayaan, program pendidikan kesehatan di Kuba juga menekankan pemahaman tentang ilmu-ilmu sosial-humaniora dan misi pelayanan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan Presiden Iran, Ahmadinejad juga lahir dari rahim pergerakan rakyat. Ia menjadi pengikut setia Ayatullah Khameini yang berusaha menggulingkan pemerintahan Syah yang kapitalistik dan feodalistik. Dengan berpola hidup yang sangat sederhana, Ahmadinejad tak hanya selalu merupakan oposisi terkemuka terhadap imperialisme Amerika Serikat, tetapi juga melakukan program-program sosial seperti pendidikan gratis dan perumahan untuk rakyat miskin. Dengan nilai-nilai Islam (syi’ah) yang berwatak populistik, Ahmadinejad tampil melawan ketidakadilan yang diciptakan oleh pasar bebas dan empire Amerika Serikat.

Tampaklah kini, tak semua orang di segenap penjuru dunia hidup nyaman di bawah kapitalisme neoliberal!
***

Selain menggugurkan tesis Fukuyama, berbagai fenomena di atas, setidaknya menunjukkan beberapa pelajaran: Pertama, para pemimpin ini lahir dari rahim pergerakan rakyat. Mereka tidak lahir dari proses demokrasi liberal yang alami, melainkan merintisnya dari jalur gerakan sosial. Mereka bukan presiden dan pemimpin yang memperoleh popularitasnya karena bantuan sms, polling atau pun karena pandai menyanyi atau sedikit ganteng. Mereka juga bukan presiden yang lahir dari partai penguasa, juga bukan lahir dari pengusaha penetek kekuasaan, bukan pula intelektual yang rajin mengobral teori atau agamawan yang selalu berbicara ihwal moral. Berbekal ideologi populis dan kerakyatan, dan pengetahuan yang baik tentang cengkeraman kapitalisme di negerinya, para Presiden Radikal ini terlebih dahulu adalah orang-orang yang menggeluti penderitaan rakyat di masa mudanya. Lula adalah mantan aktivis buruh pabrik, Morales mantan gerilyawan pejuang masyarakat adat, sedangkan Chavez adalah militer berpangkat rendah yang nasionalistik dan dekat dengan aktivis gerakan sosial. Jadi, proses menjadi pemimpin betul-betul ditempa karena pergerakan dan ‘pergaulannya’ dengan rakyat tertindas.

Kedua, kemenangan para presiden ini pada dasarnya adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal dan demokrasi liberal. Di Amerika Latin, menurut James Petras, neoliberalisme pada dasarnya telah mengalami krisis sistemik yang matang dan mendalam. Ia gagal dalam menjawab janji tentang kemakmuran rakyat, malahan kemiskinan dan ketidakadilan yang semakin terasa. Sementara di sisi lain, para politisi dan kaum oligarkh hidup terasing dari rakyat, dan menikmati privilise yang semakin membuat rakyat muak. Sementara di sisi lain, penggusuran terhadap rakyat miskin, dicabutnya subsidi sosial, dan berbagai kebijakan neoliberal semakin membuat kaum miskin hidup dalam kemelaratan absolut. Hal ini semakin parah karena segregasi sosial yang diciptakan oleh kapitalisme neoliberal berada di sepanjang garis ras. Kemuakan ini mendapatkan saluran politisnya setelah para presiden itu menawarkan suatu visi alternatif yang kongkret atas kapitalisme neoliberal. Dalam beberapa hal, perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal ini juga dibahasakan dengan perlawanan terhadap empire Amerika Serikat.

Ketiga, kemenangan para presiden radikal ini, merupakan sokongan dari aliansi dan konvergensi dari beberapa gerakan sosial yang cukup beragam. Mereka mencerminkan apa yang disebut sebagai Alan Touraine sebagai gerakan sosial baru, yaitu konvegensi dari gerakan masyarakat sipil seperti organisasi buruh, petani tak bertanah, gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, intelektual kota, gerakan keagamaan hingga partai politik dari beragam garis ideologi, dari kiri leninis, hingga kiri tengah dan sos-dem. Seperti disebut di atas, apa yang menyatukan gerakan-gerakan ini adalah perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal, dan perjuangan untuk “demokrasi politik yang radikal”. Gerakan sosial baru ini dicirikan oleh pluralitas subyek yang kian beragam, dimana perannya tak secara dominan dimainkan oleh gerakan buruh, tetapi juga oleh gerakan-gerakan lain yang berdiri secara otonom, tidak etrsubordinasi oleh gerakan buruh. Gerakan-gerakan ini terus-menerus belajar melakukan aliansi dan kerjasama, berupaya merajut apa yang disebut oleh Laclau dan Mouffe sebagai “chain of equivalence” .[]



Wednesday, October 04, 2006

Indonesia Tidak Merdeka!!

Mengenang Sritua Arief

Di penghujung akhir tahun 2002, saat matahari senja merayap pulang, Sritua Arief menghembuskan nafas yang terakhir. Tak semua orang mengenal kisah hidup atau gagasannya. Ia bukan ilmuwan atau ekonom yang duduk di kursi kekuasaan, lalu berlagak selebriti. Nama besarnya ditempa dan diukir di kerasnya lapangan gerakan sosial. Sritua Arief bukan intelektual yang menyukai duduk di menara gading dunia akademis. Ia hidup di jalan rakyat. Sebab di matanya, rakyat, sang pemilik sah negeri ini, kerapkali dicurangi, ditindas dan dikhianati. Karena itu, ilmu ekonomi yang dimilikinya tak hendak dipakainya untuk mengakali dan membanditi rakyat. Ketika sebagian besar ekonom menyokong kekuasaan Orde Baru, Sritua justru bergerak ke ‘pinggir’. Di Semarang, misalnya, ia lebih suka untuk bergelut dan membangun pemukiman kaum kumuh (nelayan, buruh dan pemungut sampah), sembari menata sistem ekonomi mereka.

Sritua hendak menempatkan kembali rakyat sebagai subyek aktifitas ekonomi di negeri ini. Karena itulah gagasan ekonominya dijuluki sebagai ekonomi kerakyatan. Ia percaya bukan korporasi atau negara yang seharusnya menjadi penguasa dari praktek ekonomi, melainkan rakyat. Sayangnya, hingga kini rakyat menempati stratum terbawah dari struktur ekonomi-politik di negeri ini. Rakyat menjadi budak di negerinya sendiri. Mereka hidup bergantung di sektor pertanian, perdagangan kecil dan sektor informal, yang celakanya justru tidak menjadi bagian terpenting dalam kebijakan ekonomi di negeri ini. Dengan lugas, ia berseru: “ekonomi rakyat dalam bahaya”, tersisih dan terpinggir. Sritua lantas menata teorinya agar berpihak pada daulat rakyat.

Ketika Orde Baru berkuasa dan menganut jalan ekonomi neoklasik (neoliberal) yang digawangi oleh sekelompok ekonom yang berjuluk Mafia Berkeley, Sritua justru mengajukan gagasan strukturalis dan dependensia yang diperoleh inspirasinya dari kajian Bung Hatta atau tulisan Tan Malaka. Meski suaranya dilindas oleh kekuasaan, tetapi sebagian besar gagasannya justru menyala di kalangan anak muda dan para aktivis yang kelak berhasil menjungkalkan kekuasaan tiran Orde Baru. Seturut frasa Bjorn Hettne, Sritua adalah sosok intelektual yang berupaya memutus mata rantai imperialisme intelektual di Dunia Ketiga.

Gagasannya mulai bergema pada pada tahun 1980-an, ketika berkah dari ledakan minyak (oil boom) menjelang berakhir, dan Orde Baru mulai membuka pintu liberalisasi. Dari sinilah membanjirnya hutang luar negeri, investasi asing, dan anjuran-anjuran liberalisasi pasar dari World Bank dan IMF mulai dituai oleh Orde Baru. Jika sebagian besar ekonom liberal di negeri ini mengamini kebijakan Soeharto, tidak demikian dengan sang ekonom rakyat: Sritua Arief. Ia mencela liberalisasi ekonomi dan campur tangan World Bank dan IMF dalam menentukan kebijakan ekonomi di negeri ini. Bagi Sritua, jika liberalisasi dijalankan maka negeri ini akan kembali terperangkap dalam jerat neokolonialisme.

Modus neokolonialisme ekonomi ini dapat dirujuk melalui defisit pembiayaan yang dialami oleh Indonesia. Defisit ini terjadi karena adanya repatriasi keuntungan yang terjadi akibat investasi asing dan hutang luar negeri. Dua aspek inilah yang menyebabkan Indonesia merupakan replika dari negeri yang masih terjajah. Hutang luar negeri dianggap penjajahan gaya baru karena ia selalu melahirkan ketergantungan, dan kemiskinan akibat bunga hutang yang mencekik dan berbagai akibat sampingannya seperti: program penyesuaian struktural dan penyelewengan rezim. Dan celakanya, di negeri ini hutang luar negeri justru dipakai untuk menyantuni kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh konglomerat besar, daripada untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Sementara investasi asing digolongkan sebagai imperialisme baru, karena dalam kata-katanya yang terkenal “Setiap US$1 investasi asing yang masuk diikuti dengan US$10,19 financial resources yang keluar. Sebab utama kenapa ini terjadi antara lain adalah tingginya komponen sumber-sumber keuangan di dalam negeri yang digunakan untuk membiayai investasi asing”.

Tak hanya karena jeratan hutang luar negeri dan investasi asing, Sritua juga menyebut bahwa bangsa ini sesungguhnya belum benar-benar merdeka. Ini terjadi karena struktur ekonomi-politik yang ada di negeri merupakan strukur ekonomi yang eksploitatif dan timpang. Struktur ini terbentuk dari strukturasi atas dua hal sekaligus: warisan kolonialisme Belanda dan watak kapitalisme di Indonesia. Menurut Sritua, watak kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme rampok, dimana kelas menengah pengusaha dan penguasanya mewarisi modus ekonomi kaum kolonial, yakni memburu rente ekonomi. Secara substansial Sritua Arief tidak melihat ada perubahan dalam struktur dan sifat interaksi ekonomi sejak jaman kolonial. Hanya aktornya saja yang berubah. Meski sudah merdeka secara politik sejak tahun 1945, model struktur dan sifat interaksi ekonomi tetap tak berubah, selalu meminggirkan kaum miskin dan rakyat kecil. Maka tak salah ketika ia menyebut bahwa keadaan negeri ini di saat ini adalah replika dari Indonesia yang masih terjajah pada jaman kolonial dulu.

Agar ekonomi rakyat bangkit, dan tak lagi dihisap oleh kapitalisme rampok, Sritua berulangkali mengulangi pesan Bung Karno dan Bung Hatta yang selalu meneriakkan perlunya mengoreksi kembali struktur ekonomi politik di dalam negeri yang timpang. Perjuangan Indonesia, seturut Soekarno dan Hatta, adalah perjuangan yang memiliki dua mata pisau sekaligus: keluar, untuk meruntuhkan imperialisme Belanda; ke dalam: untuk mengoreksi struktur sosial dan ekonomi yang timpang. Sayangnya, hanya misi pertama yang berhasil dilakukan. Sementara misi kedua gagal karena berulangkali diinterupsi oleh berbagai kejadian, seperti G30S dan tumbangnya Orde Lama. Hasrat untuk mengoreksi struktur sosial dan ekonomi yang timpang dan eksploitatif semakin suram ketika Orde Baru lahir. Orde Baru justru melanjutkan sistem ekonomi yang kapitalistik, yang menjiplak pola kolonialisme, dan dengan demikian semakin memperparah kesenjangan dan eksploitasi ekonomi rakyat. Gagasan ekonomi rakyat lalu tumbang dalam lipatan sejarah Orde Baru yang kapitalistik dan otoriter.

Untuk membebaskan ekonomi rakyat dari kuasa kapitalisme neoliberal, menurut Sritua, setidaknya dibutuhkan tiga macam pergerakan. Pertama, pergerakan untuk melakukan rekonstruksi struktur kekuasaan ekonomi-politik. Perjuangan semacam ini adalah perjuangan politik, dimana segenap rakyat dan kalangan kelas menengah progresif perlu untuk merebut kekuasaan politik dan mentransformasikan strukturnya menjadi struktur ekonomi-politik yang tak lagi menindas dan eksploitatif. Kedua, perjuangan untuk merubah sikap mental para pemegang kekuasaan yang baru tersebut untuk tetap berkomitmen pada perilaku anti imperialisme, anti feodalisme, anti KKN, dan menjunjung keadilan sosial. Ketiga, perjuangan untuk merubah sikap mental rakyat agar tidak mau lagi membebek pada kekuasaan. Merubah sikap mental rakyat, agar berani mendobrak struktur-struktur sosial yang menghalangi kemajuan ekonomi mereka. Dengan model perjuangan semacam ini, Sritua yakin jika ekonomi rakyat takkan lagi menjadi paria, dan yang terpenting lagi, juga akan menghindarkan bangsa ini untuk kembali menjadi bangsa kuli (natie van coolie), bangsa miskin yang selalu terjajah.

***

Sudah hampir empat tahun Sritua Arief meninggalkan kita. Analisisnya tentang masa depan ekonomi di negeri ini, sebagian besar menemukan relevansinya. Hutang luar negeri yang kian menumpuk dan membebani bangsa ini; investasi asing dan konglomerasi juga menimbulkan kensenjangan dan kerusakan ekologis yang susah dipulihkan; nasib ekonomi rakyat yang diperankan oleh para petani, buruh, dan pedagang kaki lima, kian terhimpit dan terlindas oleh ganasnya pembangunan mall-mall megah. Karena itu, karya-karyanya masih layak untuk dibaca. Tulisan-tulisannya yang bernas dan gemilang adalah senjata ideologis yang revolusioner bagi rakyat jelata serta aktivis pergerakan untuk menolak sistem ekonomi-politik yang telah berpuluh-puluh tahun menindasnya.[]

Friday, August 11, 2006

Awas Kapitalisme Bencana!!

We use to have vulgar colonialism,
now we have sophisticated colonialism,
and they call it ‘reconstruction’
(Naomi Klein)


Awal
Ungkapan di atas diteriakkan lirih oleh seorang aktivis antiglobalisasi, yang termasyhur dengan karyanya, No Logo, dalam sebuah artikel pendek yang diberinya tajuk The Rise of Disaster Capitalism. Klein mengajak kita untuk waspada dan mencurigai neologisme memikat yang tampaknya pada hari ini menjadi mantra ajaib bagi sejumlah negara yang menderita bencana, atau mengalami post-conflict dan post-war: rekonstruksi, rehabilitasi atau recovery. Bagi Klein, istilah-istilah di atas menyembunyikan suatu jenis imperialisme dan serbuan ‘bencana’ baru yang disebutnya dengan kapitalisme bencana (disaster capitalism). Lalu, makhluk apa lagi kapitalisme bencana itu? Bagaimana ia bermula? Bagaimana modus dan jejaknya?.

Menari di atas Luka
Bagi Klein yang bertempat tinggal di jantung negeri imperialis, AS, bukanlah hal yang sulit untuk mendeteksi jejak bagaimana ‘sejarah’ kapitalisme bencana ini bermula. Awalnya, di tengah teduhnya musim panas di bulan Agustus dua tahun lalu, administrasi Bush tiba-tiba mengeluarkan sebuah kebijakan yang cukup mengejutkan. Tepat pada 5 Agustus 2004, Gedung Putih mendirikan suatu lembaga baru yang diberi nama Lembaga Koordinasi untuk Rekonstruksi dan Stabilisasi yang dikomandani oleh Carlos Pascual, mantan duta besar Amerika Serikat untuk Ukraina. Lembaga ini memiliki mandat untuk menggarap dan mengkoordinasikan sejumlah operasi rekonstruksi di pelbagai negara, selama setidaknya untuk kurun waktu 5 sampai 7 tahun mendatang. Sekilas, tindakan ini tampak bersifat dermawan dan shalih. Namun, tentu saja masih ada yang ganjil: bagaimana mungkin sebuah negara yang kerap mengobarkan perang dan kerusakan (deconstruction) beralih menjadi pihak yang mengupayakan perbaikan (reconstruction)? Apalagi, Lembaga tersebut juga bekerja di sejumlah negara yang diekspansi oleh Amerika Serikat sendiri, seperti Afghanistan dan Iraq.

Teka-teki itu sedikit terkuak, ketika Condoleezza Rice, secara selip lidah (slip-tongue)—ingat bagaimana fenomena slip-tongue ini dibahas secara menarik oleh pakar psikoanalisa Sigmund Frued, mengatakan bahwa tsunami dan berbagai bencana di muka bumi ini merupakan “wonderful opportunity that has paid great dividends for us”. Tampaknya, bencana di negeri lain, dipandang sebagai berkah bagi negeri imperialis itu. Lebih lanjut, mandat Lembaga itu bukan untuk mengupayakan rekonstruksi fisik saja di sejumlah negara post-war, melainkan untuk menciptakan ‘negara yang demokratis dan berorientasi-pasar’. Untuk mendukung langkah ini, Lembaga tersebut disokong oleh Bank Dunia berserta sejumlah besar perusahaan-perusahaan swasta, konsultan dalam berbagai bidang, dan NGO internasional. Berbagai ativis kemudian membuat slogan sindiran yang menandai kelahiran Lembaga itu: “dimana ada kerusakan disitu ada perbaikan”.

Bukan hanya sindiran malah, berbagai situs kerusakan di muka bumi ini, yang terbentang dari Indonesia hingga Iraq, Afghanistan, Timor Leste, Haiti, Guatemala dan Nikaragua, dikerjakan proyek rekonstruksinya di bawah panduan lembaga ini. Dan dimulailah pelbagai ‘bencana’ baru yang diakibatkan oleh ulah Lembaga itu, dari pengerjaan yang lamban dan mengabaikan pembangunan ekonomi untuk rakyat kecil (Aceh), hingga mahalnya jasa konsultan asing yang harus dibayar untuk proyek itu (Afghanistan), dan perilaku korupsi, boros, dan tidak akuntabel (Srilanka). Tak hanya itu, proyek rekonstruksi itu lebih menyerupai proyek menata-ulang segala sektor, dibanding membantu mereka yang ditimpa bencana. Karena itu, bagi Klein kapitalisme bencana ini diartikannya sebagai “suatu perubahan sosial-ekonomi yang radikal yang dipandu oleh rejim pasar dengan memanfaatkan emosi penderitaan bencana dan ketakutan”.

Di Srilanka, misalnya, rekonstruksi industri melalui investasi asing dan privatisasi semakin mengencang ketika rekonstruksi atas bencana tsunami dikerjakan. Sejumlah perusahaan asing yang bergerak di bidang konstruksi, turisme, dan privatisasi sejumlah perusahaan negara di bidang listrik, dan air berjalan dengan cepat atas nama rekonstruksi. Karena itu sejumlah aktivis di Srilanka menyebut hal ini sebagai krisis tsunami kedua, dimana kedaulatan nelayan atas kekayaan laut dan pantainya mulai diambilalih oleh peruasahan asing dan industri turisme. Bahkan, dibeberapa tempat pendirian itu juga dikawal oleh Angkatan Laut Srilanka. Sedangkan di Iraq dan Afghanistan, rekonstruksi mengambil cara yang lebih klasik, yaitu pengucuran hutang luar negeri melalui World Bank dengan fokus pembangunan sektor industri dan pengucuran bantuan untuk ‘proyek-proyek demokrasi’ serta menganjurkan negara untuk memprivatisasi sejumlah perusahaan negara. Sebuah kasus di Afghanistan barangkali bisa menjadi sebuah ilustrasi menarik tentang bagaimana kapitalisme bencana ini bekerja. Sembari menolak untuk memberikan bantuan kepada kementerian kesehatan Afghanistan untuk membangun rumah sakit, Bank Dunia malah memberikan bantuan kepada sejumlah NGO internasional untuk mendirikan sejumlah rumah sakit baru. Modus ini adalah bagaimana liberalisasi dunia kesehatan dijalankan oleh Bank Dunia. Bahkan, tanpa segan-segan, dalam laporannya bank Dunia menghendaki terjadinya sebuah ‘transformasi mendasar yang akan memprivatisasi sektor air, listrik dan telekomunikasi’ di negeri itu dan membuatnya menjadi milik investasi asing.

Kapitalisme bencana ini hadir pasca-bencana dan lantas menimbulkan gelombang bencana baru. Honduras adalah ironi lain dari kapitalisme bencana ini. Setelah dihantam badai Mitch yang menggulung desa-desa di pinggir pantai dan menewaskan 9.000 orang, kongres Honduras akhirnya menyerah pada kondisi kemiskinan dan terjebak hutang. Walhasil negeri yang sudah jatuh miskin ini bahkan harus menjual murah (sell-off) seluruh kekayaan negerinya dengan memprivatisasi dan meliberalisasi bandar udara dan laut, perusahaan telekomunikasi, listrik, dan air milik negara. Bahkan, beberapa bulan setelah kejadian itu, sebuah reforma agraria yang berorientasi pasar dijalankan demi mempermulus penguasaan asing atas tanah dan hutan di negeri itu.

Di atas semua itu, kapitalisme bencana ini dijalankan atas dasar hutang luar negeri. Bahkan, terhadap sejumlah negara yang mengalami bencana alam dahsyat, Bank Dunia tetap bergeming untuk memberikan pengurangan hutang. Berbagai pendanaan bencana yang dikucurkan oleh Bank Dunia, yang sering disebut sebagai emergency aid, bukan berbentuk grant, melainkan loan. Begitu juga dengan proyek-proyek yang didanai oleh hutang itu, dibanding untuk membangun prakarsa ekonomi rakyat dan nelayan, proyek-proyek rekonstruksi yang didanai Bank Dunia lebih mengutamakan pembangunan sektor industri besar, turisme dan industri perikanan yang pada akhirnya meminggirkan petani. Bahkan, dalam salah satu dokumennya, Bank Dunia menyebutkan bahwa pembangunan rekonstruksi pada infrastruktur semisal sekolah, atau jalan raya akan mengakibatkan sebuah negara mengalami pengetatan sektor keuangan publik. Karena itu, Bank Dunia lagi-lagi menganjurkan privatisasi untuk menambah keuangan negara. (Klein: 2005)

‘Bencana’ Setelah Bencana
Dibanding berkah atas bencana, jenis kapitalisme ini lebih banyak mendatangkan gelombang bencana baru. Sejumlah aktivis di Thailand dengan keras menyerukan bahwa bencana telah membuat para politisi-pebisnis menangguk keuntungan besar. Terjangan tsunami yang mengakibatkan ribuan rumah dan lahan hilang, serta ratusan ribu manusia yang tewas semakin mempermudah jalan para politisi bandit itu untuk membangun hotel-hotel, kasino, pariwisata turis dan penginapan. Tak hanya dinikmati oleh perusahaan asing dan Bank Dunia, kapitalisme bencana ini juga dinikmati oleh elit kekuasaan dan kalangan pebisnis yang menetek pada kekuasaan. Ketika mata dunia sedang tertuju tsunami di Aceh, PM Singapura Lee Hsien Loong menelpon sejumlah koleganya di Asia Tenggara, presiden AS dan China untuk mengadakan pertemuan khusus tentang tsunami. Setelah pertemuan digelar, yang menarik, ternyata seluruh proyek itu dikoordinasikan oleh Singapura. Dengan kata lain, Singapura menjadi bandar atas seluruh proyek tsunami. Semua tender proyek berlangsung di Singapura. Dan beberapa proyek hanya dikerjakan di Meulaboh; sebuah wilayah yang secara geoekonomi-geopolitik lebih dekat kepada Singapura. Konon, perusahaan dan pengusaha Singapura menangguk untung besar dari bencana ini. Indonesia sendiri mengajukan proposal untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Tak hanya pengusaha Singapura, Jusuf Kalla juga meraup untung besar melalui perusahaannya Bukaka (Banjarmasin Post, 7-1-2005) yang memenangkan tender di bidang konstruksi, transportasi dan distribusi. Bukaka bahkan disinyalir selalu menjadi bandar tunggal dalam proyek rekonstruksi di daerah konflik di Indonesia (Goerge Junus Aditjondro: 2006). Apalagi, Bukaka bersama sejumlah perusahaan milik Aburizal Bakrie, termasuk perusahaan konstruksi yang paling kuat di Indonesia (SIB, 20 Oktober 2005).

Ringkasnya, kapitalisme bencana ini pada dasarnya dibangun atas variabel penting: hutang luar negeri. Dengan variabel ini, bencana menjadi saluran ekspansi kapitalisme yang tidak hanya melibatkan rejim pasar (Bank Dunia, Lembaga Koordinasi untuk Rekonstruksi dan Stabilisasi AS, perusahaan transnasional), tetapi juga selalu melibatkan politikus-pebisnis yang menempel pada kursi kekuasaan. Karena itu, pemerintah selalu memohon bantuan hutang luar negeri untuk mengatasi bencana di negeri ini. Bukan hanya seperti yang dikatakan oleh Revrisond Baswir, bahwa pemerintah mengalami ‘kemiskinan’, (Republika, 24-7-2006) tetapi juga karena ada tangan-tangan kotor yang selalu beroperasi di balik bencana dan hutang. Apalagi, seperti pernah dikemukakan oleh Sritua Arief, di dalam setiap hutang luar negeri Indonesia selalu terdapat komponen yang disebutnya sebagai ‘komponen acak’. Komponen acak ini berkaitan dengan perilaku kekuasaan elit di negeri ini, yaitu perilaku korup dan menyelewengkan pengelolaan sumberdaya ekonomi, terutama sumberdaya keuangan yang diperoleh dari hutang luar negeri (Sritua Arief: 1999). Dari argumen Sritua Arief ini, kita jadi mafhum mengapa dulu ketika tsunami Aceh terjadi dan sejumlah gerakan sosial menyuarakan penghapusan hutang, bahkan Jerman menyetujuinya, pemerintah dengan santai mengatakan bahwa Indonesia belum membutuhkan pengurangan. Tetapi di balik sikapnya itu, pemerintah justru meminta penambahan hutang. (Down to Earth, Maret-2005). Sebab, tampaknya, tanpa hutang, tak ada kesempatan bagi mereka untuk menguasai tender proyek atau menyelewengkan dan me-mark-up proyek itu. Pendeknya, setiap hutang luar negeri yang dilakukan kelak akan menimbulkan ‘bencana’ baru.

Akhir
Kalangan aktivis gerakan sosial, baik yang bergerak di lokasi bencana, maupun yang berada di luar untuk menjadi supporting unitnya, setidaknya kini dihadapkan pada beberapa tantangan besar. Pertama, bagaimana untuk merebut-kembali (reclaim) proyek rekonstruksi yang dipandu oleh rejim pasar dan negara tersebut, dan menjadikannya berbasis dan berorientasi pada rakyat. Dan lalu kedua, bagaimana untuk menyusun suatu proses rekonstruksi atau recovery yang berdasar pada transformasi sosial. Artinya, tidak hanya bergerak secara karitatif, tetapi juga menata ulang struktur ekonomi, sosial dan politik, baik dalam kelembagaan maupun relasi-relasinya. Dan terakhir, ketiga, bagaimana untuk mengerjakan pendidikan kritis bagi rakyat untuk mencari ‘afinitas elektif’ antara problem-problem lokal dan yang bersifat global. Walahua’lam.

Sosialisme Abad 21: Utopia Keadilan dan Kemanusiaan

Pada sebuah pidato penutupan Forum Sosial Dunia yang diadakan di Venezuela pada 30 Januari 2006, presiden Venezuela Hugo Chavez mengungkapkan satu istilah yang lantas menjadi bahan kontroversi di negerinya: Sosialisme Abad 21. Menurut Chavez, program Revolusi Bolivarian yang dicanangkan di negerinya adalah untuk mendukung visi tersebut. Bagi Chavez, sosialisme abad 21 adalah varian baru sosialisme yang bersimpangan jalan dan bahkan belajar dari pengalaman sosialisme abad 20. Meski belum memiliki perspektif teoretis yang mapan, dalam kata-kata Chavez sendiri, sosialisme abad 21 adalah “sosialisme baru yang berbeda dari sosialisme negara yang diterapkan di Uni Soviet, Eropa Timur atau Kuba hari ini, ia akan menjadi sosialisme yang berwatak pluralistik dan tidak terlalu terpusat pada negara…sosialisme yang berdasar pada prinsip solidaritas, persaudaraan, kasih sayang, keadilan, kebebasan dan persamaan hak”.

Tak hanya pandai berpidato seperti presiden di negeri ini, pemerintahan Chavez secara nyata berusaha mewujudkan sosialisme dengan program Revolusi Bolivarian yang berpihak dan berpijak pada kaum miskin. Di antara berbagai program tersebut di antaranya adalah program land reform—program ini konon juga merupakan janji SBY semasa dia berkampanye dulu—yang memberikan kesempatan bagi kaum miskin untuk menguasai sekian hektar lahan dan merevitalisasi pertanian Venezuela. Selain itu, Chavez juga menasionalisasi beberapa perusahaan strategis. Tak tanggung-tanggung, pemerintahan Chavez juga memiliki serangkaian program kesejahteraan bagi kaum miskin, seperti perumahan, layanan kesehatan dan pendidikan murah, serta KTP murah yang juga berfungsi sebagai kartu untuk jasa layanan sosial lainnya.

Buku karangan Michael Newman, Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif atas Neoliberalisme, (Resist Book: 2006) memang tak ada kaitan langsung dengan gelombang kebangkitan sosialisme di Amerika Latin ataupun Revolusi Bolivarian yang digagas oleh Hugo Chavez. Tetapi, karya Newman menilik lebih dalam dan lebih teoretis ihwal sosialisme: tradisi-tradisinya pemikiranya, aktivisme politiknya, dan termasuk masa depannya di abad 21. Tak pelak, sejak kehancuran sosialisme-komunisme di Uni Soviet dan berkobarnya kapitalisme dalam bentuk mutakhirnya yang paling biadab, kapitalisme neoliberal, sebagai ideologi pemenang tunggal peradaban, membuat seakan sosialisme adalah ideologi reaksioner yang paling ketinggalan jaman. Fenomena ini ditegaskan oleh Fukuyama melalui frasanya yang terkenal: sejarah telah berakhir, kapitalisme dan demokrasi liberal adalah sang pemenang. Bagi para pengritiknya, sosialisme selalu diidentikkan dengan sistem politik yang totaliter, serta sistem ekonomi yang melulu di bawah kontrol dan perencanaan ketat negara. Karena itu, menurut mereka, sosialisme dianggap sebagai ideologi yang sudah menempati liang kubur peradaban. Tak patut untuk bangkit dan dibangkitkan.

Gambaran buram sosialisme yang semacam itu, yang tampaknya menjadi kegelisahan seorang Newman. Dalam buku kecil yang padat dan ketat ini, Newman mencoba membongkar lebih dalam tentang apa itu sosialisme; adakah praktik sosialisme yang lain daripada yang telah dikembangkan oleh Uni Soviet atau China di masa lalu; dan akhirnya apakah sosialisme masih mempunyai masa depan di abad 21; dan apa prasyaratnya.

Ketimbang terjebak pada kubangan pertentangan ideologis di tubuh kaum sosialis sendiri, Newman, yang merupakan profesor politik, lebih menilik secara ilmiah tentang varian-varian sosialisme, baik dalam tradisi pemikirannya maupun praktik politiknya. Dalam semangat semacam ini, maka Newman lebih asyik menyusuri kekayaan dan pluralitas tradisi sosialisme—yang terbentang dari sosialisme utopis, anarkisme, marxisme, hingga sosial demokrasi dan komunisme—daripada membela satu varian sosialisme yang lebih dominan. Dengan melakukan studi lintas tradisi seperti itu, maka Newman berupaya untuk menganalisis secara ilmiah tentang kelemahan dan kemajuan praktik sosialisme, untuk kemudian mengajukan formula sosialisme yang relevan, yang sanggup menantang arus deras kapitalisme neoliberal.

Salah satu medan analisis tentang praktik sosialisme yang diambil dalam studi Newman adalah sosial demokrasi Swedia dan komunisme Kuba. Keduanya dipilih karena, dalam tahap-tahap tertentu, dianggap paling kenyal dalam menghadapi serbuan kapitalisme. Sosial demokrasi Swedia adalah hasil dari pertentangan yang tak terdamaikan antara kubu revisionisme yang dimotori oleh Eduard Bernstein dengan kubu komunisme yang dimotori oleh kubu Bolshevisme Rusia. Berbeda dengan kaum komunis yang lebih memilih jalan revolsui sosial sebagai tonggak untuk mendirikan sosialisme, kubu sosial demokrasi lebih menyukai strategi parlementarianisme dalam alam demokrasi liberal. Sosial demokrasi di Swedia dimotori oleh SAP (Partai Sosial Demokratik Swedia)—sebuah partai yang pada awalnya tunduk pada garis Marxisme sampai kemudian ia lebih memilih ada seruan-seruan revisonisme. Setelah mulai berkuasa pada tahun 1932, di bawah kepemimpinan Par Albin Hansson, SAP mencoba menggagas konsep kunci yang mendasari penerapan sosialisme Swedia. Beberapa konsep kunci tersebut adalah folkhemmet atau ‘negara sebagai rumah masyarakat’. Konsep kunci ini kemudian memiliki lima tema sentral turunan, yaitu demokrasi integratif, sejenis demokrasi yang berupaya untuk memasukkan elemen buruh dan pekerja dalam sistem politik dan ekonomi Swedia. Konsep kedua adalah rumah masyarakat, artinya negara bertindak pada asas kesetaraan perlakuan dan solidaritas sosial. Sedangkan konsep ketiga adalah kesetaraan sosio-ekonomi dan efesiensi ekonomi, yang berkaitan dengan konsep keempat yaitu mengontrol ekonomi pasar secara sosial, dan terakhir adalah ekspansi sektor publik yang didasarkan atas kebebasan pilihan. Meski tidak memiliki akat teori yang ketat, tetapi lima asas tadi setidaknya menjadi panduan bagi bangunan negara kesejahteraan (welfare state) yang diberlakukan oleh Swedia. Walhasil, ada beberapa hasil capaian positif yang dituai. Diantaranya adalah meningkatnya mutu pendidikan sebagai hasil dari diintensifkannya belanja publik, keterlibatan masyarakatnya yang tinggi dalam organisasi sosial, dan kesenjangan upah yang mencapai tingkat minimum.

Sedangkan komunisme Kuba, dalam studi Newman dianggap memiliki kekhasan dibandingkan komunisme yang dijalankan Uni Soviet atau China. Semenjak Fidel Castro merebut kekuasaan Kuba dari tangan rejim Batista yang korup, maka elemen-elemen komunisme di Kuba, dengan bantuan Uni Soviet saat itu, mulai ditegakkan. Serangkaian kebijakan revolusioner mulai diterapkan, diantaranya adalah reforma agraria radikal, pajak progresif untuk menyokong ekonomi nasional dibanding bersandar pada investasi asing, menyokong ekonomi rakyat dan pembangunan di provinsi-provinsi kecil, serta kontrol atas ekspor dan perdagangan luar negeri. Ketika terjadi konflik dengan AS—sebagai akibat dari pertentangan AS pada revolusi Kuba—pada tahun 1961, Castro semakin mengubah haluan revolusinya menjadi revolusi yang berwatak sosialis. Mulai saat itu, berbagai kebijakan yang lebih berorientasi pada orang miskin—sebelum revolusi, Kuba adalah negara yang kaya, tetapi dengan tingkat kesenjangan sosial dan kemiskinan yang tinggi—dijalankan oleh rejim ini. Program pendidikan dan kesehatan adalah dua hal yang paling mengesankan yang dicapai oleh komunisme Kuba. Di bawah pemerintahan Castro, Kuba adalah negara yang memiliki fasilitas kesehatan dan jumlah dokter yang terbaik di Amerika Latin. Prestasi ini ditambah dengan adanya pemerataan program kesehatan tersebut, baik di kota maupun di pelosok desa, secara gratis. Karena itu, Kuba juga mencapai tingkat harapan hidup yang semakin meningkat. Sedangkan di bidang pendidikan, prestasi cemerlang juga ditorehkan oleh pemerintahan Castro, dimana semua level pendidikan, dari pendidikan dasar hingga tinggi, gratis dan ditanggung oleh negara. Beberapa prestasi ini semakin mengkilap dengan menurunnya tingkat kesenjangan ras, dan meningkatnya partisipasi gender.

Meski demikian, seiring dengan serbuan kapitalisme pasar bebas yang mengguncangkan sendi-sendi perekonomian nasional di kedua negara tersebut, pencapaian sosial itu mulai menuai ancaman. Bahkan dalam beberapa hal, Kuba mulai mengakomodasi prinsip-prinsip terbatas kapitalisme. Sementara itu, tradisi pemikiran sosialis juga semakin diperkaya dengan kehadiran pemikiran Kiri Baru, feminisme sosialis, dan sosialisme hijau. Berbagai varian sosialisme ini hadir sebagai jawaban atas totalitarianisme komunis dan monopoli kapitalisme yang semakin meminggirkan peran perempuan, mengancam kelangsungan ekologis.

Setelah melakukan evaluasi atas pelbagai praktik dan pemikiran sosialisme, buku Newman ini diakhiri dengan mencoba mengajukan beberapa elemen-elemen dasar bagi terbangunnya sosialisme abad 21. Menurutnya, dari beberapa praktik sosialisme tersebut terdapat beberapa pelajaran yang bisa diambil oleh kaum sosialis. Pertama, sosialisme abad 21, adalah sosialisme yang berwatak demokratis, baik dalam organisasi maupun intitusinya. Dalam makna yang lebih luas, gerakan kaum sosialis yang seringkali terfragmentasi, harus belajar untuk mendirikan sebuah front demokratis dan partisipatoris. Kedua, kaum sosialis harus berupaya mengambangkan sebuah model ekonomi alternatif yang berkesinambungan. Pengalaman di Swedia dan Kuba mengajarkan bahwa pencapaian kemajuan sosial akan mudah goyah jika prestasi ekonomi juga menurun. Karena itu, solidaritas antar negara sosialis untuk melakukan perdagangan internasional atas dasar saling melengkapi (daripada kompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerjasama (daripada eksploitasi), dan penghormatan kedaulatan rakyat (daripada kekuasaan korporasi), menjadi dasar-dasar yang penting bagi pembangunan sosialisme di abad ini. Ketiga, sosialisme abad 21 harus berupaya untuk memberikan jawaban kongkrit atas berbagai masalah yang ditimbulkan oleh monopoli kapitalisme yang merangsek ke dalam semua bidang kehidupan. Karena itu, dibanding harus berawatak ideologis-totalistik, sosialisme abad ini harus berani untuk memecah doktrin-doktrin Marxisme dan mengkombinasikannya dengan elemen-elemen lain yang progresif. Dan terakhir, keempat, sosialisme di abad ini harus secara serius mengembangkan proyek utopia kemanusiaan bahwa ada jalan lain di luar kapitalisme neoliberal. Proyek utopia ini menjadi semakin penting, sebab janji-janji profetis kapitalisme atas dunia mulai menguap, sementara krisis kapitalisme mulai menjelang di ufuk peradaban.

Saturday, August 05, 2006

Demokrasi Bumi---wawancara Vandana Shiva

Demokrasi Bumi – wawancara dengan Vandana Shiva oleh Sarah Ruth van Gelder

Vandana Shiva adalah seorang ahli ilmu fisika dan pertanian organik, seorang penganjur gerakan “pemeluk pohon” yang terkenal di India, dan seorang penulis yang termasyhur. Dia banyak berbicara tentang bahaya globalisasi, sembari turut memobilisasi sejumlah warga masyarakat untuk menuntut hak-hak kehidupan bagi mereka.

Sarah Ruth van Gelder: Ceritakan pada kami tentang Gerakan Demokasi Bumi. Darimana gagasan itu bermula, dan apa bentuk yang diambil oleh gerakan itu?
Vandana Shiva: Gagasan demokrasi bumi berasal dari salah satu pemikiran India kuno. Gagasan ini mirip seperti yang dikatakan oleh Ketua Seattle tentang jaringan di bumi, di India kita menyebutnya vasudhaiva kutumbkam, yang berarti keluarga bumi. Kosmologi orang India tak pernah memisahkan manusia dari non-manusia—Kami merupakan rangkaian kesatuan. Ketika isu tentang pematenan kehidupan muncul, misalnya, ada dua bentuk respon dari mereka yang menolak praktek pematenan tersebut di India. Level pertama berupa perlawanan: “Pematenan ini adalah tindakan amoral. Hidup bukanlah sebuah ciptaan. Kehidupan tidak boleh dimonopoli. Kalian tak bisa menjual kepada kami bahan-bahan yang juga kalian curi dari sisi kami, dan kalian tak dapat memberi kepada kami sejumlah royalti untuk produk-produk kearifan alam kami.” Level kedua adalah merebut-kembali demokrasi: rakyat merebut hak-hak untuk menjaga biodiversitas dan menggunakannya secara berkelanjutan. Ini merupakan hasil dari diskusi di kalangan gerakan yang sedang kita bangun di level akar-rumput. Saya teringat kepada sebuah pertemuan 200 penduduk desa yang terlibat dalam menyimpan dan membagi benih dengan Navdanya, sebuah perserikatan yang saya dirikan untuk menyimpan benih dan mempromosikan pertanian organik. 200 penduduk desa ini berkumpul pada Hari Lingkungan Hidup pada tahun 1998 dan mendeklarasikan kedaulatan terhadap biodiversitas mereka—bukan kedaulatan untuk memperkosa dan merusak, tetapi kedaulatan untuk mengkonservasi alam. 200 penduduk desa ini, bertemu di sebuah pedesaan di pegunungan tinggi dekat anak sungai Gangga, mereka berseru, “Kami telah memperoleh tumbuh-tumbuhan obat, benih-benih, hutan-hutan dari alam melalui nenek moyang kami; kami berhutang kepada alam untuk memeliharanya demi masa depan. Kami berjanji kami tidak akan pernah membiarkan erosi pencurian terhadap alam. Kami berjanji kami tidak akan pernah menerima pematenan, modifikasi genetis, atau membiarkan biodiversitas kami dicemari dalam segala bentuknya, dan kami berjanji bahwa kami akan berlaku sebagai manusia-manusia dalam biodiversitas tersebut.” Diskusi di desa-desa seluruh India ini, dengan beragam bahasa, berujung pada aksi yang memukau. Beberapa kelompok menulis surat kepada Mike Moore, direktur jenderal WTO dengan mengatakan, “Kami perhatikan anda telah meloloskan sebuah hukum yang bernama ‘Trade-Related Intellectual Property Rights.’ Kami juga perhatikan bahwa di bawah undang-undang ini anda ingin memonopoli seluruh kehidupan. Sayangnya, sumber-sumber daya ini berada di luar wilayah hukum anda, dan anda telah bertindak melampaui batas.” Surat serupa disampaikan kepada Perdana Menteri India: “Anda adalah Perdana menteri di negeri ini, tetapi kamilah penjaga biodiversitas. Ini bukan wilayah hukum ada. Anda tak bisa menjual kekayaan alam ini. Kekayaan alam ini bukan milik anda. Kami tak pernah memberikan mandat kepada anda.” Tetapi salah satu surat yang terindah ditulis-tangan di bawah pohon-pohon pedesaan dan dikirimkan kepada Ricetec, Inc., yang mematenkan beras Basmati, dan kepada Grace Corporation, yang mematenkan namanya. Surat itu berbunyi, “Kami telah menggunakan Basmati selama berabad-abad. ... Sekarang kami dengar kalian telah mematenkannya, dan kalian mengklaim telah menciptakannya. Ini adalah pembajakan dan pencurian di depan mata kami. Ada orang yang mencuri di desa kami, dan kami memperlakukan mereka dengan penuh pengertian. Kami memanggil mereka dan bertanya pada mereka untuk menjelaskan masalah apa yang membuat mereka mencuri. Jadi kami juga ingin mengundang kalian ke desa kami dan menjelaskan kepada kami masalah apa yang membuat kalian mencuri.” Komunitas-komunitas ini dalam beberapa tahun yang lalu telah mulai dengan menyimpan benih-benih tanaman lokal dan memelihara biodiversitas. Sekarang mereka mencoba untuk melakukan swa-kelola terhadap sistem pangan, sistem air, dan sistem biodiversitas. Jika anda melihat fakta bahwa korporasi globalisasi adalah berkaitan dengan privatisasi agresif terhadap air, biodiversitas, dan sistem pangan di Bumi, maka ketika komunitas-komunitas ini mendeklarasikan kedaulatan dan bertindak atas kedaulatan itu, berarti mereka telah membangun sebuah respon yang tangguh terhadap globalisasi. Demokrasi hidup adalah demokrasi yang memelihara kekayaan kehidupan dimana manusia bergantung terhadapnya.

Sarah: Apakah terdapat bahasa yang sama yang digunakan dimana-mana untuk melawan globalisasi korporasi itu?
Vandana: Ada, saya kira, kebangkitan kembali sebuah pemikiran yang berporos pada perlindungan terhadap kehidupan, merayakan kehidupan, menikmati kehidupan baik sebagai kewajiban tertinggi kita, maupun sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan dan kebrutalan sistem yang mengglobal yang tidak hanya berupa perdagangan, tetapi juga berupa fasisme, yang mengingkari kemerdekaan sipil dan kebebasan. Tidak ada satu bahasa yang terkoordinasi dalam gerakan ini, dan justru itulah indahnya gerakan ini. Peristiwa WTO di Seattle memberikan pengalaman pertama bagi politik pelangi ini—sebuah politik pluralistik yang sukses, tanpa adanya penggagas utama (master mind), tetapi berasal dari kebebasan berfikir. Dalam era politik baru, orang memiliki beragam cara untuk berbicara, tapi saya kira intinya adalah demokrasi kehidupan dan ekonomi kehidupan, dan hal itu mencakup baik tanggung jawab personal untuk melakukan perubahan maupun menjadi bagian dari gerakan perubahan dalam skala nasional dan internasional.

Sarah: Anda telah menulis empat tipe ketidakamanan— ekologi, ekonomi, budaya, dan politik—dan bagaimana masing-masing ketidakamanan itu menghasilkan kekerasan. Bisakah anda menyampaikan sesuatu tentang mengapa anda menganggap empat tipe itu sebagai bentuk dari ketidakamanan?
Vandana: Krisis ekologi merupakan bentuk yang paling keras dari ketidakamanan, utamanya dalam kondisi kemiskinan ketika sungai-sungai tercemari dan kau tak dapat meminum air bersih, ketika sumber mataair telah tandus dan kau terpaksa bermigrasi. Tidak pernah ada ketidakamanan yang lebih dahsyat kecuali krisis ekologi. Berbagai konflik yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga sangat berhubungan dengan praktik mengeksploitasi sumberdaya yang lebih cepat daripada yang bisa diperbaharui oleh alam atau praktik menyingkirkan sumberdaya alam dari masyarakat yang membutuhkannya. Di berbagai masyarakat, bendungan air telah menjadi sumber konflik yang utama. Ketika kelangkaan air menjelang, tetangga atau keluarga berbalik saling menyerang satu sama lain.

Sarah: Banyak orang mengira bahwa kelangkaan sudah menjadi bagian dari hidup manusia dan kelangkaan tersebut berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Vandana: Selama 25 tahun saya bekerja untuk isu-isu sumberdaya alam dan lingkungan, satu hal yang telah saya pelajari adalah bahwa bagian tertentu dalam planet ini saling menganugerahi satu sama lain dengan berbagai cara. Mungkin hanya terdapat sedikit curah hujan di padang pasir Rajasthan, tetapi budaya Rajasthan berkembang untuk mengatur sejumlah curah hujan itu, dan mereka telah mengembangkan teknologi yang menakjubkan untuk memanen dan menyimpan. Budaya Rajasthan memiliki sistem penyimpanan bawah tanah yang canggih dan sistem penyimpanan air yang membuat air hujan yang jatuh tidak terbuang sia-sia. Teknologi ini mampu menopang kota-kota semacam Jodhpur dan Jaipur. Mereka memiliki air minum yang cukup karena mereka telah mengembangkan budaya konservasi, dan mereka menanami tanaman yang tidak membutuhkan banyak air. Ketika anda berfikir bahwa padang pasir Rajasthan harus ditanami padi atau kapas, maka anda akan menciptakan kelangkaan. Kelangkaan bukan merupakan hasil dari anugerah yang tak merata—itulah diversitas. Kelangkaan merupakan hasil salah-urus antara kebudayaan dan pemberian alam. Kebudayaan telah mengembangkan diversitas kultural untuk meniru diversitas biologis dari iklim dan ekosistem. Maka ketika hubungan itu disalahi maka anda akan mendapati pertumbuhan populasi yang tak berkelanjutan. Tidak ada masyarakat di mana seperti yang anda sebut ledakan penduduk sejauh masyarakat tersebut telah hidup dalam konteks hak-hak mereka pada sumberdaya alam dan kemampuan untuk mengkonservasi sumberdaya alam bagi masa depan. Lihatlah pada dua situasi. Di Inggris, ledakan populasi bermula dengan penyingkiran terhadap masyarakat umum—ketika para petani disingkirkan dari tanahnya dan harus bergantung pada menjual tenaga kerja mereka. Di India, tahun 1800 batas air merupakan sarana konsolidasi bagi rejim kolonial. Selama berabad-abad sebelum 1800 penduduk kita stabil. Ketika anda bergantung pada tanah, anda tahu terdapat lima orang yang bisa disokong. Anda bekerja untuk masyarakatmu sehingga bisa mendapatkan lima. Ketika anda menjual tenaga kerjamu dengan dasar yang tidak menentu, dengan gaji pasar yang tidak stabil, anda tahu bahwa mendapatkan 10 adalah lebih baik daripada hanya memperoleh lima. Jadi tercerabutnya hak milik dalam kekayaan alam Bumi merupakan akar dari dari instabilitas dan pertumbuhan penduduk.

Sarah: Jadi ketidakamanan ekonomi pada dasarnya diciptakan (bukan alami)?
Vandana: Alih-alih benih-benih itu berada di tangan petani yang membantu perkembangan mereka dalam hubungannya dengan alam, benih-benih malah menjadi monopoli di tangan lima atau enam koorporasi global. Alih-alih dimiliki oleh jutaan komunitas lokal, air malah dikuasai oleh lima atau enam raksasa air global. Inilah resep yang digunakan oleh sistem ekonomi global untuk mencuri dasar-dasar kebutuhan hidup pada mayoritas rakyat. 80 persen mereka yang tercerabut dari kekayaan alam jatuh dalam ketidakamanan ekonomi, karena kehidupan mereka sebagai petani, sebagai nelayan, sebagai petani, sebagai suku, sebagai penghuni hutan, semuanya bergantung pada kepemilikan terhadap perikanan, tanah, hutan, untuk tetap bertahan hidup. Ketika hak-hak tersebut dirampas, mereka menjadi orang-orang yang terlantar—mereka menjadi orang yang terbuang. Model ekonomi globalisasi ini berpijak pada asumsi bahwa kemurahan hati 20 persen oranglah yang akan menjamin keamanan sebagai hasil dari kebijakan ini. Tetapi beberapa peristiwa terbaru di Wall Street menunjukkan pada kita bahwa model ekonomi ini justru menciptakan ketidakamanan ekonomi baik bagi 80 persen manusia yang bersandar pada kekayaan alam maupun bagi 20 persen manusia yang bersandar pada kekayaan vitual, sebab uang virtual adalah hasil konstruksi, dan hasil konstruksi itu bisa hilang dengan mudah sebagaimana ia muncul dengan mudah pula. Ketidakamanan ekonomi merupakan warisan dari model ekonomi yang dikendalikan oleh finansial, ekonomi-yang-dikendalikan-modal, dan ekonomi-yang-dikendalikan-korporasi yang menghancurkan modal kekayaan alam kita dan menghancurkan daya kenyal ekonomi lokal kita.

Sarah: Tipe ketiga ketidakamanan berupa ketidakamanan kultural. Anda pernah menyangkut-pautkan hubungan antara globalisasi dan munculnya kekerasan nasionalis dan represi sayap kanan. Bukti-bukti semacam apa yang telah anda lihat bahwa di antara hal-hal tersebut memang terdapat sebuah hubungan?
Vandana: Baiklah, saya seorang ahli fisika, bukan ilmuwan sosial. Tetapi sebagai warga negara India, saya telah mengalami kekerasan dan kebrutalan yang diakibatkan oleh munculnya fundamentalisme, dan saya bertanya kepada diri saya sendiri bagaimana mungkin sebuah masyarakat yang merupakan tempat lahirnya kedamaian, tanah kelahiran Gandhi dan Buddha, bisa merosot menjadi salah satu masyarakat yang paling rapuh di dunia. Salah satu insiden yang memberi kontribusi kepada pemahaman saya tentang hubungan-hubungan tersebut adalah kekerasan yang meledak di Punjab pada tahun 1980an. Ketika keajaiban Revolusi Hijau mulai melenyap, ketika subsidi mulai dicabut dan sistem kemakmuran artifisial mulai runtuh, Punjab menjadi tempat lahirnya kemarahan dan ketidakpuasan. Ketika anda menyaksikan mengapa orang-orang berkelahi, anda akan mendapati bahwa mereka berkelahi untuk sungai-sungai, untuk harga yang adil, untuk berteriak ketika dam air mulai diruntuhkan. Tidak satu pun dari segala hal ini yang diputuskan secara regional atau lokal—semuanya diputuskan dari ibukota, Delhi. Jadi ketidakpuasan ini berbentuk perlawanan terhadap rejim sentralistik dimana rakyat tidak mendapatkan bagian untuk menentukan masa depannya. Akhir-akhir ini terdapat indikator-indikator yang jelas tentang bagaimana fundamentalisme tumbuh berkecambah dalam ketidakamanan ekonomi yang ditimbulkan oleh globalisasi. Mari saya beri dua contoh. Pada akhir tahun 1990an, dikarenakan tekanan globalisasi, harga bawang naik dari 2 rupee menjadi 100 rupee. Partai berkuasa kalah oleh apa yang kemudian terkenal dengan sebutan “pemilihan umum bawang” pada tahun 1998 karena mereka mengijinkan kenaikan harga bawang. Partai-partai oposisi menggunakan bawang sebagai simbol perjuangan mereka terhadap globalisasi, dan mereka menang di berbagai negara bagian. Sontak setelah itu kita menyaksikan serangkaian kekerasan kaum fundamentalis. Di Gujarat, kami memiliki seperangkat pemilihan umum regional, dan WTO, pertanian, serta kelangsungan hidup para petani menjadi isu-isu utamanya. Para petani mengatakan bahwa mereka dihancurkan oleh sejumlah kebijakan globalisasi, dan mereka memilih agar kelas berkuasa keluar dari kekuasaan. Dan segera saja setelah itu kaum fundamentalis bangkit, pembantaian dan hasutan untuk perang dimulai, dan ketika perhatian publik terfokus pada kekerasan, agenda globalisasi meluncur dengan mulus. Ketika pembuatan keputusan tersentralisasi dari komunitas lokal kepada pemerintahan nasional—dan utamanya pada ruang dewan-dewan korporasi, pasar saham, institusi seperti World Bank, IMF, and WTO—demokrasi perwakilan akan kehilangan basis demokrasi ekonomi. Ketika pemerintahan lokal dan nasional kehilangan kontrol atas sumberdaya ekonomi dan prioritasnya, para pemimpin yang terpilih tak lagi bisa membangun sebuah basis politik dengan memenangkan program-program yang responsif terhadap kebutuhan keluarga dan komunitas. Para demagog politik Kanan Jauh bangkit untuk mengisi kekosongan dengan saluran kemarahan dan ketidakamanan yang diciptakan oleh program-program kekuasaan seperti kelangkaan, ketidakadilan, dan penggusuran ke dalam bentuk politik kita-melawan-mereka yang mempersalahkan sebagian bangsa, ras, budaya, atau kelompok agama. Kemunculan LePens in di Perancis, Fortuyns di Belanda, Haiders di Austria, dan Narendra Modis di India adalah hasilnya. Jadi afinitas yang kuat antara kekuatan kekuasaan dan politik kebencian yang menjustifikasi kebijakan-kebijakan dominasi dan penggusuran. Jadi sepanjang perhatian rakyat terfokus pada ketakutan dan kebencian terhadap orang asing atau anggota kelompok keagamaan tertentu, Muslim misalnya, mereka mengalihkan dari mengorganisir kepada persetujuan terhadap sistem dominasi dan eksploitasi yang institusional yang merupakan sumber utama dari ketidakamanan ini.

Sarah: Itu kedengarannya seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat juga.
Vandana: Tepat sekali. Itu adalah siklus yang keji, dan kita sesungguhnya perlu menciptakan siklus luhur yang memungkinkan demokrasi ekonomi untuk menopang demokrasi politik, identitas kultural, dan diversitas kultural. Karena itu, kita harus kembali memperkuat demokrasi. Apa yang kita punya saat ini adalah demokrasi yang direduksi menjadi aturan kebohongan—kebohongan dimana kehendak rakyat disalahi, sebagaimana kita lihat di Florida pada tahun 2000, dan kebohongan dimana uang milik rakyat dicuri, sebagaimana kita lihat pada skandal-skandal keuangan hari ini. Uang najis itu akan menguntungkan siapa saja yang berkuasa—sekarang semuanya telah rusak! Sistem keamanan pangan kita dihancurkan atas nama petumbuhan ekonomi dan liberalisasi ekonomi, dan rakyat tak memiliki cadangan pangan yang cukup untuk dimakan. Para petani kita diperkosa oleh pabrik-pabrik pembuat benih, dijerat ke dalam hutang-hutang, dan dipaksa bunuh diri. Sistem ini akan meminta korban jiwa bahkan di AS sekalipun, dimana rakyat tidak tahu bagaimana mereka akan membayar untuk kesehatan atau pemecatan. Jalan keluar dari siklus kekerasan ini adalah dengan menguatkan demokrasi—untuk membawa kebijakan yang berhubungan langsung dengan kehidupan rakyat sedekat mungkin ke tempat dimana rakyat berada dan dimana rakyat turut bertanggungjawab atasnya. Jika sebuah sungai mengaliri beberapa komunitas, komunitas-komunitas tersebut harus memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk memutuskan bagaimana air itu digunakan dan bagaimana air dicegah dari polusi. Negara tak punya hak untuk memberikan pada Coca-Cola sumber mata air di sebuah lembah di Kerala, yang membuat tanah pertanian yang mulanya subur menjadi benar-benar kering. Berbagai komunitas ingin meneguhkan kembali kedaulatan dan menyerahkan perwakilan kepada negara hanya sebagai kelayakan.Apa yang kita miliki sekarang adalah sebuah rejim yang memiliki hak absolut di tangan sebagian korporasi dengan tanpa tanggungjawab bagi penghancuran alam dan sosial dan instabilitas politik yang telah mereka ciptakan. Jika kita ingin menghidupkan dan memudakan kembali demokrasi, kita harus membawa kembali persoalan-persoalan ekonomi.

Sarah: Saya akan tutup dengan pertayaan pribadi. Setiap kali saya mendengar anda berbicara atau bertemu dengan anda, anda memiliki begitu banyak energi, bukan hanya energi intelektual, tetapi juga energi personal dan spiritual. Saya begitu kagum, apa yang membuat anda tetap bergairah?
Vandana: Baiklah, hal itu selalu menjadi misteri, karena anda tak tahu mengapa anda bisa terkuras habis atau terisi lagi. Tetapi, ini yang saya ketahui. Saya tak akan membiarkan diri saya sendiri dikuasai oleh keputusasaan, sekeras apa pun situasinya. Saya yakin bahwa jika anda mengerjakan sesuatu yang kecil tanpa memikirkan besarnya sesuatu yang anda lawan, jika anda bersandar pada kekuatan kapasitas anda sendiri, hanya dengan demikian akan menciptakan potensi baru dengan diri anda. Dan saya telah belajar dari Bhagavad Gita dan berbagai ajaran budaya kami untuk menjaga jarak dari hasil yang saya kerjakan, karena hasil-hasil itu belum ada di tangan saya. Konteksnya belum ada di tangan anda, tetapi komitmen ada di tangan anda, dan anda dapat membuat komitmen yang lebih dalam dengan menjaga jarak secara total dari hasil apapun. Anda menginginkan komitmen anda untuk menuju dunia yang lebih baik, dan anda menentukan semua tindakanmu dan mengambil tanggung jawab secara penuh untuk komitmen itu, tetapi kemudian anda harus mengambil jarak. Kombinasi antara hasrat yang mendalam dan mengambil jarak secara mendalam membuat saya selalu mengambil tantangan berikutnya karena saya tidak menentukan diri saya sendiri, saya tidak mengikat diri saya sendiri dalam satu bentuk. Saya berfungsi sebagai makhluk yang bebas. Saya pikir memperoleh kebebasan itu merupakan suatu tugas sosial karena saya kira kita saling berhutang satu sama lain, bukan untuk saling menyusahkan dengan tuntutan-tuntutan. Saya kira apa yang satu sama lain kita perhutangkan adalah sebuah perayaan kehidupan dan menggantikan ketakutan serta keputusasaan dengan keberanian dan kegembiraan.[]

dialihbahasakan oleh Dian Yanuardy

Tuesday, June 06, 2006

PKI dan Sejarah yang (di) Gelap (kan)

Apa bayangan anda jika seseorang mendengar kata “Partai Komunis Indonesia (PKI)”? Sebagian orang mungkin akan memalingkan muka, mendengus kesal, memaki atau bahkan meludah di atas tanah. Bagi sebagian orang ini, PKI dianggap sebagai ‘sampah masyarakat’, musuh agama, anti tuhan, pemberontak yang berdarah dingin, dan atau pengkhianat bangsa dan negara. Pandangan semacam ini bisa jadi merupakan pandangan dan pengetahuan yang lazim dianut oleh sebagian bangsa Indonesia. Pertanyaannya adalah: ‘Benarkah PKI adalah sebuah keburukan yang niscaya (necessary evil)? Dan jika jawabannya masih meragukan, maka ‘Bagaimana stereotipe tentang keburukan tersebut bisa menyebar sedemikian luas?’ lalu ‘Kekuasaan macam apa yang bekerja hingga membuat bangsa ini menelan mentah-mentah—baik secara sadar ataupun tanpa sadar—sebuah doktrin bahwa PKI adalah niscaya sebuah keburukan?.

Tentu bukan tanpa sebab jika kita perlu melayangkan kembali kembali pertanyaan-pertanyaan ini. Ada beberapa alasan yang setidaknya bisa diajukan kenapa persoalan ini perlu dipertanyakan kembali. Pertama, PKI mengalami sebuah anihilasi fisik dalam peristiwa pembantaian besar-besaran selama tahun ‘65-66’ terhadap anggota dan simpatisannya. Sekurangnya 500.000 orang terbunuh dan ribuan yang lain mengalami pengasingan dan penahanan tanpa pengadilan. Apa yang terpenting dalam peristiwa pembantaian ini adalah kelihaian penguasa untuk menggeser pelaku pembantaian yaitu dari militer pada masyarakat sipil. Kedua, PKI dan orang-orang yang dianggap berhaluan Kiri, sepanjang masa Orde Baru juga mengalami diskriminasi politik yang luarbiasa. Dengan menggunakan stigma Komunis dan PKI, rejim Orde Baru bisa dengan semena-mena melakukan diskriminasi politik. Jika seseorang sudah distigmakan sebagai Komunis, maka dapat dipastikan ia tidak akan bisa melakukan mobilisasi sosial. Ketiga, PKI dan orang-orang yang dianggap berhaluan Kiri mengalami anihilasi metafisik, yaitu dilarangnya segala jenis ideologi berhaluan Kiri dan dihilangkannya peran-peran Kaum Kiri dalam sejarah pergerakan di Indonesia. Ketiga hal ini tentu berujung pada apa yang disebut dalam definisi Foucaultian sebagai kekuasaan dalam rejim pengetahuan. Wacana tentang antikomunisme disebarkan sedemikian rupa melalui buku-buku sejarah, film, pidato kenegaraan, khotbah agama, pemberitaan pers, sehingga menjadi ‘kebenaran yang lazim’. Ketika wacana tentang antikomunisme ini menjadi lazim dan diterima sebagai ‘kebenaran’, maka ketika anihilasi fisik dan metafisik terhadap PKI terjadi sebagian orang tak menganggapnya sebagai masalah besar. Pendeknya, ketika pembantaian terhadap ratusan ribu PKI terjadi, maka sebagian orang akan menganggapnya sebagai hal yang biasa bahkan niscaya.

Buku Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI ini merupakan sebuah karya yang mencoba mendobrak (transgression) tembok tebal ‘rejim kebenaran’ yang lazim diterima oleh masyarakat tentang PKI. Jika sebagian orang masih menyebut bahwa PKI tak lebih sebagai pengkhianat bangsa dan musuh agama, maka buku ini punya opini yang berbeda. Ditulis oleh Imam Soedjono, seorang pelarian politik yang kini tetap tinggal di negeri Belanda, buku ini menantang historiografi Orde Baru yang melulu menempatkan PKI sebagai sang paria dan pecundang. Dan, dengan pemaparan yang elok dan memukau, maka buku ini berupaya untuk menempatkan kembali PKI dalam konteks sejarah gerakan politik di Indonesia. Dengan perspektif semacam ini, maka kita akan melihat bahwa kelahiran PKI pada dasarnya tak beda dengan kemunculan berbagai gerakan perlawanan yang menentang penjajahan di awal abad 20. Akar-akar perlawanan terhadap kolonialisme di Jawa mulai muncul semenjak Perang Jawa, yang dipimpin oleh Diponegoro. Tak hanya itu, akar-akar budaya perlawanan itu juga terus tumbuh ketika lahirnya organisasi-organisasi modern seperti SI, Indische Partij dan Budi Utomo mulai merebak. Akar-akar budaya perlawanan ini—yang kelak terus direproduksi dan diradikalisasi oleh kehadiran PKI—sesungguhnya telah lama bersarang dalam kesadaran rakyat Indonesi, dan terus mengalami replikasi dan reproduksi. Karena itu, perkembangan dan pengaruh PKI yang kelak menjadi sedemikian pesat harus dipahami dari tiga arah sekaligus: habitasi perlawanan rakyat, kondisi obyektif (ekonomi-politik) yang kian menindas, serta hadirnya PKI sebagai instrumen dan saluran gerakan.

Dengan perspektif semacam itu, maka penulis buku ini dengan gamblang begitu konsisten memaparkan tiga simpul sejarah PKI yang sering disalahpahami: Pemberontakan PKI 1926, Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa G30S. Karena itu, bagi penulis buku ini Pemberontakan PKI 1926 harus dimaknai dalam kerangka perlawanan rakyat melawan kolonialisme. Sementara di sisi lain, dibanding menyebut Peristiwa Madiun 1948 sebagai pemberontakan, penulis buku ini memaparkan bahwa perlawanan kaum komunis pada Peristiwa Madiun 1948 adalah upaya pertahanan diri dari serangan yang dilancarkan melalui Red Drive Proposals yang disponsori AS dan disepakati oleh Perdana Menteri Hatta. Sekaligus juga, sebagai respon terhadap rancangan program restrukturisasi-rasionalisasi yang dilancarkan untuk memreteli kekuatan bersenjata kalangan pergerakan dan mengkonsentrasikan kekuatan militer di bawah kontrol penguasa. Meski tak persis serupa, analisis Imam Soedjono tentang Peristiwa Madiun ini dalam beberapa hal menjadi sealur dengan penjelasan memikat Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Sedangkan mengenai Peristiwa G30S, senada dengan argumen Ben Anderson, Ruth Mcvey dan Wertheim, penulis buku ini menyebut bahwa peristiwa yang kelak menghabisi jutaan simpatisan PKI itu pada dasarnya merupakan preseden dimana kekuatan militer mencoba melikuidasi kekuatan kaum komunis dan Soekarno. Dengan penjelasan semacam ini, kita diyakinkan bahwa apa yang dilakukan oleh militer pada dasanya adalah ‘kudeta merangkak’.

******

Selain menghadirkan tiga simpul sejarah yang sering disalahpahami dalam historiografi Indonesia dalam sejarah PKI, buku ini juga menjadi penting karena usaha keras sang penulis untuk meyakinkan bahwa PKI, sebagaimana gerakan-gerakan politik pra-kemerdekaan yang lain, juga punya sumbangan besar dalam memahat bangunan ke-Indonesia-an. Terlepas dari kontroversi yang selalu menyelimutinya, apa yang dilakukan oleh PKI pada masa lalu juga memberi pelajaran yang berharga: setiap perjuangan membela rakyat selalu berhadapan dengan kekuasan. Wallahua’lam.

Ketika Pengetahuan dan Kekuasaan Bersetubuh…

26 Februari 2005. Rakyat yang sedang terancam oleh rencana pemerintah yang akan menaikkan BBM tiba-tiba tersentak oleh sebuah iklan yang diluncurkan oleh Freedom Institute bersama para intelektual yang tersohor di negeri ini. Nama-nama masyhur seperti Goenawan Mohammad, Hamid Basyaib, Franz Magnis-Suseno, M. Chatib Bisri, Todung Mulya Lubis dan Ulil Abshar-Abdalla adalah sebagian dari 36 intelektual yang menopang iklan bertajuk “Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM”. Kontroversi iklan layanan masyarakat ini semakin memanas ketika AA Gym turut pula memberikan legitimasi relijius atas kenaikan BBM sembari meminta rakyat agar bersabar atas krisis ekonomi yang sedang terjadi. Beberapa kalangan intelektual dan aktivis gerakan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh sejumlah intelektual plus agamawan tersebut tak lain menunjukkan sikap yang tidak memiliki kepedulian terhadap penderitaan rakyat.

Jika ditarik dalam pembicaraan yang lebih luas, maka iklan layanan dan keterlibatan intelektual (apalagi didukung oleh riset ekonomi dari FE UI) tersebut menunjukkan bahwa ilmu (dan ilmuwan) pada dasarnya bukanlah entitas yang selalu netral, melulu obyektif, dan tak punya kepentingan. Di balik klaim ilmiah, maupun legitimasi religius, pada dasarnya terdapat selubung kepentingan. Dalam kasus iklan tersebut, para intelektual dan agamawan itu tentu saja bukannya tak menyadari bahwa kenaikan BBM pada dasarnya adalah sebuah politik ekonomi yang culas. Dilandasi oleh keinginan negara untuk memperoleh rente dan surplus ekonomi yang besar di satu sisi, serta keinginan rejim pasar untuk melakukan invansi melalui pemaksaan liberalisasi perdagangan migas di sisi lain, maka korban terbesar dari kebijakan tolol ini adalah rakyat miskin. Tetapi ironisnya, kelas menengah di Indonesia, ditempa oleh pengalaman yang selalu menetek pada rejim kekuasan, alih-alih membela rakyat miskin justru memurukkan rakyat miskin dalam jurang yang kian dalam.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Mazhab Frankfurt, utamanya oleh Habermas, salah satu fenomena dalam kapitalisme monopolis adalah semakin teguhnya kekuasaan ilmu pengetahuan yang menjadi alat legitimasi bagi kepentingan kapitalisme. Sejumlah intelektual kritis semisal Juergen Habermas, Michel Foucault, dan Edward Said menunjukkan bahwa kuasa pengetahuan di balik panji-panji positivisme yang mengagungkan paham obyektifitas, bebas nilai, dan bebas kepentingan, ilmu pengetahuan menjadi rejim kebenaran dengan berjalan di atas dua fungsi. Pertama, melanggengkan status quo dengan memberikannya postulat-postulat ilmiah yang palsu dan tak bertanggungjawab. Kedua, pengetahuan kemudian berkembang menjadi rejim kebenaran yang berfungsi untuk membangun definisi, kategori, dan pada akhirnya imperialisasi. Dalam konteks ini, maka pengetahuan, dalam segala manfestasinya, harus dicurigai sebagai memiliki kepentingan terselubung.

Berawal dari kegusaran itu, buku Matinya Ilmu Komunikasi (Resist Book: 2006) yang ditulis oleh Guntur St. Narwaya, seorang aktivis yang juga menekuni dunia akademis ini, memaparkan bagaimana ilmu pengetahuan diam-diam memberi legitimasi atas suatu kekuasaan tertentu, sekaligus bagaimana pertelingkahan ilmu komunikasi dalam jeratan paradigma positivisme. Guntur menjelaskan bahwa ilmu komunikasi yang berkembang di Indonesia sangat diwarnai oleh paradigma positivisme yang mengikuti alur ilmu komunikasi yang berkembang di Amerika Serikat. Karena itu, ilmu komunikasi ini cenderung membutakan diri pada selubung kepentingan. Dengan jatuh hanya pada persoalan teknis, maka ilmu komunikasi yang berparadigma positivisme ini hanya melayani kepentingan negara dan pasar. Ilmu pengetahuan dengan jenis ini, tidak pernah merobek selongsong kepentingan yang mengendap dalam negara dan pasar.

***
Selain berusaha membongkar relasi kuasa pengetahuan dalam ilmu komunikasi, buku Guntur ini berusaha mengajukan solusi alternatif, yaitu tradisi ilmu sosial kritis yang banyak diilhami oleh gagasan Mazhab Frankfurt. Dengan tradisi ilmu sosial kritis ini, maka diharapkan ilmu komunikasi tidak lagi menjadi batu alas bagi kepentingan kapitalisme, tetapi justru merobek selongsong kepentingan yang menghinggapi kapitalisme, dan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pada akhirnya, karya ini menjadi menarik karena memantik suatu kesimpulan bahwa rejim kekuasaan pada dasarnya bukan hanya dalam manifestasi kekuasaan negara atau pasar. Tetapi, terdapat gugus kekuasaan yang justru berjalan diam-diam dan disebarkan melalui surat kabar, bangku kuliah, ceramah agama, maupun kutbah-kutbah kenegaraan. Kekuasaan ini berbentuk ilmu pengetahuan (Mazhab Frankfurt) dan rejim wacana (Michel Foucault). Dengan buku ini, kita disadarkan pada kenyataan bahwa kekuasaan kini tidak lagi berwajah tunggal. Kekuasaan ilmu pengetahuan dan rejim wacana, sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku para intelektual-artis di atas, justru menjadi kekuasan yang tak kalah membahayakannya.

Monday, June 05, 2006

Kisah Negeri yang Lumpuh dan Terjajah

“Dengan 100 juta penduduknya dan 300 mil busur pulau-pulau yang berisi persediaan sumber daya alam terkaya di daerah tersebut, Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia Tenggara” (Richard Nixon).

Ungkapan di atas diteriakkan dengan girang oleh seorang Richard Nixon, presiden Amerika Serikat. Mengapa Indonesia disebutnya sebagai ‘hadiah terbesar di Asia Tenggara’? Dan apa yang melatari ungkapannya itu?. Tentu saja, bukan tanpa sebab jika seorang Nixon, penguasa di negeri adidaya AS, tiba-tiba menyatakan bahwa Indonesia adalah hadiah terbesar bagi negerinya dan bagi hasrat imperialismenya. Pernyataan itu diucapkan ketika Orde Lama yang dibangun dengan pondasi politik anti-imperialisme Soekarno perlahan mulai runtuh. Dan Orde Baru menjelang. Kemunculan Orde Baru ditandai oleh praktik ‘kudeta merangkak’ yang memaksa Soekarno meletakkan jabatan kepresidenannya. Orde Baru juga ditandai oleh terbantainya sekitar dua juta pengikut PKI dan Soekarno, dan memaksa ratusan ribu orang lainnya menghuni penjara politik tanpa pengadilan dan keadilan. Orde Baru juga diawali dengan diserahkannya dan dikapling-kaplingnya potensi ekonomi di negeri ini oleh rezim imperialis internasional.

Awal babak itu dibuka ketika sejumlah utusan Orde Baru, seperti Adam Malik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta para ekonom ‘Mafia Berkeley’ diutus oleh Soeharto untuk meminta bantuan hutang luar negeri dan investasi kepada sejumlah perusahaan internasional. Dalam pertemuan yang disebut sebagai Konferensi untuk Membantu Pembangunan Ulang Bangsa, para utusan tersebut ‘mengemis’ kepada sejumlah lembaga keuangan internasional dan kapitalis internasional seperti General Motors, US Steel, Goodyear, British American Tobacco, Freeport dan Alcoa, dsb untuk menanamkan modalnya di negeri kaya-raya ini dengan iming-iming bebas pajak, seperti tercantum dalam UU PMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) yang dikeluarkan saat itu. Sejak saat itu pula, sejumlah sumberdaya alam seperti pertambangan dan hutan-hutan di seantero mulai dikuasai dan dimiliki oleh rejim-rejim kapitalis internasional. Karena itu, bukan kebetulan kalau seorang Nixon kemudian menyambut fenomena ini dengan ungkapan lugas bahwa “Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia Tenggara”.

Dan begitulah Orde Baru dibangun. Orde yang oleh sejumlah pengamat kritis dijuluki dengan rejim neo-fasis atau rejim otoriter-birokratik ini dengan sempurna memadukan sokongan kekuatan modal internasional dan bedil kaum militer, serta politik licik Golkar sebagai pondasi kekuasaannya. Serangkaian praktik politik otoriter seperti kemenangan absolut partai Golkar, membungkam oposisi, hingga penggunaan kekerasan militer adalah cara-cara bagaimana rejim Orde Baru mengukuhkan kekuasannya. Sedangkan sistem sosialnya dijalankan atas kehendak untuk memaksa agar seluruh rakyat patuh dan tunduk dalam keseragaman yang dipandu oleh tafsir atas Pancasila dan UUD 1945 yang sesuai dengan selera rezim. Konsep negara integralistik, dimana warga negaranya harus hidup dalam kerukunan, keselarasan dan keseragamn menjadi, dianut demi meneguhkan watak korporatis rejim Orde Baru. Tetapi, di sisi lain, praktik ekonomi rente, korupsi akut di tubuh birokrasi, dan pengusuran yang mengatasnamakan pembangunan, penindasan atas nama asas tunggal, serta pengkaplingan sumberdaya ekonomi-politik terus saja dijalankan. Orde Baru menjadi sistem politik dan sosial yang kian rakus dan hegemonik. Perilaku dan pola sistem politik dan sosial ini, meski kelak Orde Baru runtuh, diam-diam diwarisi dan diikuti oleh sejumlah kalangan, termasuk kalangan kelas menengah dan elit politik di negeri ini.

Walhasil, ketika Orde Baru runtuh dan setelah itu konflik sosial meledak, korupsi kian menggila, pengkaplingan sumberdaya ekonomi-politik kian marak, maka seluruh fenomena tersebut seharusnya meletakkan alat analisis sistem sosial dan politik Orde Baru sebagai akar masalahnya. Tanpa kajian mendalam tentang sistem sosial dan politik Orde Baru, maka kita akan gagal untuk melihat mengapa demokrasi di Indonesia berjalan pincang, mengapa rajutan sosial bangsa ini cepat memudar, dan mengapa fenomena pengkaplingan sumberdaya ekonomi kian marak.

Buku Republik Kapling (Resist Book: 2006) karya Tamrin Amal Tomagola, adalah tantangan bagi mereka yang selalu punya nada toleran dan permissif terhadap perilaku sosial dan politik Orde Baru. Ditulis oleh seorang sosiolog yang aktif terlibat pada masalah konflik sosial, demokrasi, dan hubungan antar-golongan, buku ini boleh jadi adalah sebuah kesaksian tentang betapa bobroknya sistem yang ditinggalkan Orde Baru. Dan betapa tololnya orang-orang yang hingga kini masih menggunakan pola yang sama untuk mengelola bangsa ini. Dengan rentang kajian yang luas dan tajam, penulis buku ini mengingatkan bahwa jika pengkaplingan ekonomi-politik berlanjut, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang lumpuh karena konflik sosial yang kejam, dan semakin terjajah dan terhisap oleh kapitalisme neoliberal yang biadab.

Tamrin Amal Tomagola, penulis buku ini, memulai analisisnya dari konflik sosial pasca Orde Baru untuk menjelaskan mengapa buku tersebut diberinya judul Republik Kapling. Menurutnya, akar dari segala konflik sosial pasca Orde Baru di negeri terjadi karena beberapa hal. Pertama, konflik sosial pasca Orde Baru pada dasarnya merupakan warisan yang berakar-urat dari sistem sosial yang hegemonik pada masa Orde Baru. Kedua, konflik sosial pasca Orde Baru selalu ditandai oleh terkaplingnya sumberdaya alam, dimana proses pengkaplingan tersebut juga melibatkan rajutan suku, ras dan agama. Akibatnya, konflik sosial di Indonesia mempunyai dimensi yang khas: yaitu konflik ekonomi-politik yang dibalut oleh konflik dan sentimen kebencian ras, agama dan suku. Ketiga, akar dari konflik sosial semacam itu sebenarnya adalah masalah ketidakadilan dalam mengontrol dan menguasai sumberdaya strategis yang dilakukan oleh peemrintah dengan sokongan modal internasional.

Tak hanya soal konflik sosial, karya Tamrin Amal Tomagola tersebut juga mengupas tentang problem demokrasi, dan warisan sistem sosial Orde Baru, serta oligarki ekonomi-politik. Dengan tema yang beragam, buku ini layak menjadi panduan bagi para aktivis gerakan sosial yang menggeluti isu-isu demokrasi, pluralisme, rekonsiliasi konflik. Ringkasnya, buku ini adalah suara pengingat yang tajam bahwa jika keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat disalahi dan dikorupsi, maka ancaman konflik sosial akan terus membayangi.

Saturday, February 11, 2006

James Petras tentang Demokrasi Sosial

Demokrasi Sosial
James Petras
Rebelión
Ketika saya masih muda, seorang guru ilmu sosial di SMU saya, seorang lelaki yang bijak dan berani (waktu itu sekitar awal 1950an) secara menggebu-gebu mempertahankan gagasan "Third Way". Dia merupakan pembela gagasan demokrasi sosial yang kukuh sekaligus membenci tirani komunisme dan kapitalisme yang biadab. Bagi seseorang yang tumbuh dan hidup dalam kota industri yang jorok, sebelah utara sedikit dari kota Boston, demokrasi sosial merupakan seperangkat kepercayaan yang memiliki daya tarik, meskipun sebagian orang dibingungkan oleh kenyataan-kenyataan (tentang demokrasi sosial) yang tak memadai. Tak seorang pun, benar-benar mempertanyakan gagasan demokrasi sosial, tetapi kadang-kadang sebagian dari kita akan mempertanyakan pertanyaan yang nyeleneh.

”Kenapa?, tanya seseorang yang paling pintar dan cerdas di kelas kami, “Inggris, yang katanya memiliki pemerintahan buruh demokrasi sosial, mendukung AS dalam melawan Rusia, meskipun ia mengikuti Third Way?”
Guru tercinta kami melepaskan kacamatanya, berdiri dan melangkah ke depan lalu mulai berbicara. “Itu pertanyaan yang baik jika kita hidup dalam dunia yang sangat ideal. Tetapi dalam dunia nyata, kita harus menentukan pilihan-pilihan praktis, dan jelas bahwa demokrasi sosial lebih memiliki kesamaan dengan demokrasi kapitalis ketimbang totalitarianisme komunis," ujarnya sambil berdehem. "Kadangkala, demokrasi sosial harus melakukan sekian kompromi. Sesuatu yang taktis, tentu saja, tetapi itu semua demi memperoleh tujuan utama yaitu kebebasan dan kesamaan untuk semua."

Di lain kesempatan, ketika berbicara tentang peran vital yang dimainkan oleh demokrasi sosial dalam menciptakan perdamaian dunia, guru tersayang kami ditanya apakah demokrasi sosial Eropa menyokong Perang Korea.
"Ya tentu saja, AS-lah yang berkuasa…dan Dewan Keamanan juga. Demokrasi sosial tidak melawan perang yang adil; ia hanya menentang perang yang tak adil–seperti invasi Korea oleh orang-orang Korea. Orang-orang Korea Utara menyerang Korea Selatan."

Dia kemudian dengan penuh semangat dan sejelas-jelasnya mendefinisikan perbedaan antara perang yang adil dan tak adil, meskipun beberapa murid kelas pekerja-utamanya mereka yang terkena wajib militer setelah lulus, tidak terlampau memperhatikan, tidak seperti murid yang terpandai dan tercerdas, yang memakai dasi dan hendak melanjutkan ke univeritas; mereka tampak menyimak dan terkesan dengan pengetahuannya.

Kemudian aku menghadapi hidup dengan latarbelakang kemampuan praktis, yaitu sebuah pendidikan klasik yang sekarang diberi nama "humaniora." Setelah lulus dari universitas, saya beranjak ke dunia bisnis, dan kerapkali menjalankan bisnis di luar negeri dan domestik. Saya hanya punya waktu sedikit untuk mengikuti aajaran-ajaran Third Way dari guru favorit SMU saya, meskipun saya sepenuhnya tidak dapat melupakan ajaran moralnya tentang "masyarakat yang baik". Namun dalam kehidupanku kelak, khususnya pada awal 1990'an, bisnis mengantarkan saya ke Eropa Timur dan Rusia.

Suatu kali, saya makan siang dengan pejabat senior Czech, yang kelihatannya sangat terdidik (Saya percaya bahwa dia adalah peraih gelar pertama dalam MBA yang dibiayai oleh Soros Foundation) dan berwawasan luas sebagaimana "Tuan Presiden"nya (Saya tak yakin bahwa yang dia maksudkan dengan istilah tersebut sebagai rasa kasih atau justru sebuah sisnisme) yaitu Vaclav "Grovel" Havel (sebagaimana para penasehat presiden sering menjulukinya, karena dia selalu bicara muluk-muluk tetapi sepenuhnya menjilat pihak Washington.) saat itu adalah minuman kita yang ketiga kalinya, saya memberanikan diri bertanya padanya tentang apa yang dia maksud sebagai "Third Way".

"Kau tahu, itu ide yang cemerlang," ujarnya sembari tersenyum. "Kita bahkan punya versi tersendiri. Kami mengombinasikan antara pengambilalihan ekonomi ala Jerman dengan pengambilalihan instalasi militer ala Amerika- kami menciptakan Third Way versi Czech dengan mengkombinasikan dua hal ekstrem itu, menjadi klien bagi AS dan pengikut setia Berlin: Kami adalah budak keduanya." Dia menyunggingkan senyum yang penuh arti dan sinar matanya berbinar, "Third Way itu baik untuk bisnis."

Pada pertengahan sore itu, aku mengingat kembali guru lama saya yang berbicara tentang tenaga kerja penuh, pusat kesehatan masyarakat umum dan berbagai tawaran-tawaran kesejehteraan lainnya. Aku bertanya pada kolega Czech-ku, apakah Negara Kesejahteraan adalah bagian dari Third Way versi Czech.

Dia mengambil nafas dalam, "Itu bukan Third Way. Itu adalah Old Way (Jalan Lama). Jalannya kaum komunis. Selama lebih dari setengah abad, mereka mencoba memperlakukan kita untuk hidup laiknya seekor semut, kerja lalu tidur. Mereka menghalangi inisiatif individual dan keahlian-keahlian Barat. Mereka itu bukan "Third Ways", kamu mau ikut dengan Komunis atau dengan Barat." Dia menahan kantuknya. Saya pikir saat itu memang waktunya untuk istirahat. "Sebelumnya, kau tahu, di bawah negara kesejahteraan para buruh berpura-pura untuk bekerja dan kami berpura-pura untuk membayar mereka." Dia tergelak. Lalu aku tidak meneruskan penyelidikanku terhadap gagasan Third Way yang telah memperoleh makna baru, atau dirubah dalam sintesis 'Grovel' tentang klientilisme ganda tersebut.

Namun saya sekarang tergelitik oleh gagasan 'Third Way'. Saya terkenang kembali pada masa-masa remaja saya ketika belajar, dan pada nilai-nilai tertinggi saya. Dalam perjalanan kembali US, saya mampir di London, untuk bertemu dengan seorang bankir senior dari Barcleys untuk mendiskusikan pelbagai persoalan keuangan.

Selepas jam-jam sibuk, dia mengundang saya untuk minum di kafe pribadinya. Yang membuat saya begitu terkejut adalah bankir tersebut telah berubah menjadi pengikut Demokrasi sosial, anggota “New Labor”, dan sebagai kepala keuangan lokal di kota London.

"Sungguh James, kamu sudah tidak tertarik lagi dengan politik Inggris sejak dekade yang lalu, bukan?" Dia memiliki cara untuk menyindir dengan cara halus seakan-akan saya merupakan seorang pebisnis AS yang tak berpengetahuan.

"Ya saya kira, sebuah partai buruh, itu terdiri dari para buruh bukan para bankir." Saya berusaha untuk menutupi kekalahan saya.

"Oh ya? Kami para penasehat keuangan investor juga adalah 'pekerja'; bahkan kami bekerja beberapa jam lebih lama daripada kalian semua, atau, sebutlah pekerja manual. Saya harap kau mengerti pada fakta bahwa Partai sekarang diberi nama 'New Labor', kami telah melampaui segala omong kosong tentang status kelas, kami adalah partai inklusif sekarang. Partai orang-orang ahli." Dia menirukan gaya sorang guru ilmu sosial di SMU.

"Kamu masih ikut 'Third Way?" Saya bertanya dengan agak putus asa.

"Tentu saja. Penulis pidato Tony menguraikan buku tentang 'Third Way' yang menyediakan keterangan ideologis untuk kebijakan-kebijakan kami."

"Jadi kau masih berharap pada pelayanan kesehatan publik, ekonomi campur, tanpa pengangguran?" saya pikir pada saat itu akhirnya saya telah menyentuh pokok pembicaraannnya.

"Ya Tuhan, enggaklah! Kami telah melempar potongan ideologis itu ke dalam tong sampah. New Labor bertindak untuk manajemen publik-privat dalam sistem kesehatan dan membuat negara keluar dari urusan ekonomi sehingga kemampuan wirausaha dapat tampil dengan bebas. Tenaga kerja penuh tanpa pengangguran itu sesuatu yang tak mungkin. Itu bagian dari dogma utopis masa lalu. Kami lebih tertarik untuk meningkatkan produktivitas dan pengangguran besar akan berkurang. Ini akan membuat mereka bekerja lebih keras, tak lagi banyak mengoceh serta akan membuat mereka melupakan waktu santai mereka (tea breaks)." Dia meraih gelasnya, "bersulang!"

"Bersulang," jawabku. "Ini membuat Demokrasi Sosial tak lebih seperti kapitalisme AS, daripada sebagai 'Third Way'."

"Dengarkan James." dia melotot sembari mengambil nafas dalam, "Dengan globalisasi hanya ada 'One Way', 'there-is-no-alternative'. Kita hidup dalam dunia yang terglobalisasikan. Hanya ada satu jalan, yaitu jalan yang kita tempuh bersama dengan Partai Buruh Baru-nya Tony Blair. Ini akan lebih berguna untuk para pekerja penasehat keuangan."

"Baiklah, bagaimana kau membedakan antara Partai buruh Lama dengan Partai Buruh Baru?" saya bertanya, seperti seorang murid kepada guru Inggrisnya.

"Ide yang baru untuk saat yang baru: revolusi teknologi-dan ilmu pengetahuan, modernisasi, komputerisasi, dan pelayanan ekonomi baru. Kita membutuhkan suatu partai inklusif baru untuk mengakomodasi perubahan-perubahan dalam pasar kerja." Dia terdengar seperti seorang penulis the Financial Times yang terlalu banyak mengutip tetapi tetap dapat mengulas dengan enak. "Kami bahkan mendapatkan terlalu sedikit, benar-benar sedikit, sepotong kupon dalam papan. Kau tahu mereka benar-benar bekerja mengawasi lembar-lembar saham satu kali dalam seminggu, yang mana yang benar-benar buruh." Dia tergelak oleh lawakannya sendiri.

Saya menyunggingkan senyum, supaya dia ikut senang.

Setelah kembali ke hotel, saya merasa gusar dan frustasi. Guru favorit SMU saya mengatakan pada kami bahwa ada 'Third Way', sebuah alternatif demokrasi sosial. Dan saya tak akan membiarkannya salah. Misi saya, obsesi saya adalah untuk menyokong dia. Saya bepergian ke Paris dan mengontak teman bisnis saya.

"Saya ingin mendiskusikan Demokrasi Sosial yang bonafid,dengan seseorang yang berpengetahuan luas yang dapat mencerahkan saya tentang hal tersebut," ujarku.

"Ya Baiklah. Kita akan bertemu besok."

"Terima kasih, aku ingin menyaksikan benua lain, Eropa Selatan, dalam versinya tentang demokrasi sosial."

"Baiklah James. Saya adalah anggota Partai Sosialis, kami punya banyak kecenderungan, dan saya memilih 'grup utama."

"Baiklah, mari kita melompat pada pokok perdebatannya. Apa menurutmu 'Third Way' itu?" Saya bertanya penuh harap.

"Kami di Perancis adalah pemimpin. Kami percaya bahwa kami adalah alternatif terhadap kapitalisme Anglo-Saxon yang biadab dan kolektifisme negara. Kami, Orang Perancis, menampilkan kebebasan Uni Eropa melawan ambisi global AS."

"Ya itu semua bagus," saya memotongnya, "tetapi bagaimana dengan negara kesejahteraan, pekerjaan penuh, pelayanan publik, ekonomi campuran?"

"Ahhh," dia mengangkat alisnya. "Itu adalah 'Gelombang Kedua' dari demokrasi Sosial."

"Jadi, apa 'Gelombang Pertamanya?" Saya bertanya.

"ekonomi negara, utopia kolektifis, mimpi revolusioner dari para pendiri Demokrasi Sosial pada abad ke 19. Gelombang kedua adalah sosialisme 'Fordisme': modal membayar untuk kesejahteraan sosial. Itu adalah abad ke 20. Sekarang, kita berada dalam Gelombang Ketiga: tekhnologi pos-'Fordist': tahapan revoluioner pos-industri. Kami kaum sosialis menguasai jalan menuju modernisasi, kami lwbih banyak memprivatisasi berbagai pelayanan publik daripada pelbagai rejim di Perancis sebelumnya sepanjang sejarah ." matanya membelalak dengan penuh kegairahan. "hanya kami yang dapat melakukan itu. Karena para pekerja, atau setidaknya pimpinan serikat buruh mempercayai kami dan bagaimanapun beberapa dari mereka mendapatkan banyak bantuan dana dari pemerintah untuk program 'job-retraining'."

"Dimana gagasan guruku tentang negara kesejahteraan?”?" saya berkata kepada iri sendiri setengah berbisik.

"negara kesejahteraan menimbulkan ketergantungan, passifitas, dan kekurangan inisiatif. Jadi kami menurunkan subsidi bagi pengangguran dan menyediakan insentif untuk pelatihan pekerjaan dan mengambil apapaun tawaran dalam pasar kerja. Liberalisme sosial adalah gagasan yang revolusioner pada abad ke 21 ini."

"Bagiku ini kedengaran seperti doktrin sayap kanan AS tentang “keserbakerjaan yang akan menggantikan kesejahteraan”, ujarku sambil menginterupsi gaya Gallicnya.

"Tidak, tidak. Kami percaya pada gagasan tentang melemahkan kapitalisme, tetapi tidak melalui negara, tetapi melalui tindakan dalam masyarakat sipil, yaitu 'Third Force'… NGO's, IT, Uni Eropa, kami menciptakan ekonomi baru, imperium baru yang berbasis pada kecakapan dan partisipasi, sebuah imperium yang memecah hambatan-hambatan nasional dan menyatukan seluruh manusia."

"Lalu apa yang bisa dilakukan dengan gagasan 'Third Way' ini?'saya bertanya, kali ini agak bosan dengan penjelasan teoretisnya yang berkelok-kelok.

"Semuanya! Kami menolak imperialisme lama dan nasionalism. Di antara dua hal itu adalah 'Third Way', yaitu civil society, yang akan membimbing fungsi Bursa Efek kesejahteraan sosial dan kemanusiaan…"

"Ah, ini lagi ," aku pikir. "Terima kasih. Kau baik sekali berasedia membagi waktumu untuk menjelaskan pada ku tentang makna 'Third Way'."

"Terima kasih, James."

Saya beranjak ke pintu dengan bimbang. Tak ada lagi yang bisa dilakukan dengan gagasan guru saya tentang Demokrasi Sosial. Semuanya berlalu. Semuanya hanya pasar, pengangguran, rumah sakit privat. Kemana Demokrasi Sosial pergi?" saya berteriak ketika menuruuni gedung Champs D'Elysses.

Para pejalan kaki menoleh padaku seolah-olah saya baru saja kehilangan taruhan di bursa efek.

Seorang teman di New York, seorang pebisnis keturunan Rusia-Israel menasehati saya agar mencoba ke Israel.

Aaya terbang ke Israel dan menemui pejabat senior dalam Partai Buruh, salah seorang dermawan yang bersedia membagi waktunya demi saya. Dia berbicara tentang Early Labor, penduduk asli pada abad ke 19, atau Labor Zionists (pekerja yahudi), atau Kibbutzniks, sebuah kepercayaan tentang ketiadaan pengangguran, perawatan kesehatan umum, dan tentang solidaritas pekerja.

"Apakah semuanya melibatkan pekerja?" Saya bertanya.

"Tentu saja!" dia mengangkat tangannya, "Kami adalah gerakan sosialis demokratik. Kami mengorganisir Ashkenazim, Sephardics, dan Yahudi Ethiopia. Kami terbuka bagi semua ras."

"Bagaimana dengan non-Yahudi, orang-orang Palestina?" saya bertanya.

"Ini adalah negara Yahudi. Kami adalah negara Yahudi demokratik. Orang-orang Arab tak dapat mengakui hal itu. Jadi, kami tak dapat menerima mereka. Biarkan mereka membentuk sendiri negara kesejahteraannya. Biarkan mereka pergi ke Jordan ." Dia berhenti sejenak. "kami melibatkan orang-orang Arab Israel di beberapa serikat buruh kami dan dulu mereka telah memilih partai kami. Tetapi…negara kesejahteraan, sebagaimana kau menyebutnya, diutamakan untuk kaum Yahudi yang hidup disini, khususnya terhadap orang-orang Russia yang mengharapkan bantuan dari negara ini. Jadi kami memiliki krisis fiskal. Kami harus membuat pilihan, sebagaimana umumnya negara demokratis: kami memilih untuk membiayai orang-orang Yahudi terlebih dahulu."

"Wah, ini seperti negara kesejahteraan yang apartheid?" saya bertanya dengan lugu.

"Jadi siapa kau ini, seorang anti-Yahudi?" dia mulai kehilangan kesabarannya.

Saya terbang lagi pada hari berikutnya, dan tentu saja setelah lelah mencari, dan mendapatkan keterangan lagsung, telah mengamati serta memotret tiga dimensi tentang gagasan itu.

Saya langsung menuju ke Amerika Latin. Saya membuat keputrusan strategis dalam waktu yang tersisa. Saya memilih pergi ke jantung benua: Bolivia, yang pemerintahannya mempunyai pendirian Demokrasi sosial, dan salah satu peserta dalam gerakan Socialist International, yang telah memerintah dengan sebuah partai yang memiliki nama keren, 'The Revolutionary Left Movement' atau MIR. Tetapi kejadiannya sungguh berbeda; para pemimpinnya adalah tertuduh dalam perdagangan obat terlarang, negara itu mengikuti jalan IMF agar menutup tambang timahnya dan memecat semua penambangnya, dan modus operendinya adalah menggunakan keuangan negara untuk menyuap pimpinan serikat buruh yang keraskepala, dan mengangkut petani miskin untuk mengadakan rapat umum dan membayar mereka dengan sekerat daging dan bir untuk menyanyikan slogan politik yang sesuai dengan selera rejim.

Ketika aku kembali ke AS, saya mengakui bahwa gagasan lama tentang Demokrasi sosial sebagaimana yang dijelaskan guruku kini tak lagi eksis. Demokrasi sosial telah dirubah, direnovasi, diselewengkan, diabaiakan dengan ideologi-ideologi baru. Demokrasi sosial, yang benar-benar hidup hari ini dan selamanya adalah kendaraan bagi bagi investasi para bankir teknokrat, spekulan, dan penjual obat-obat terlarang. Demokrasi sosial tak lagi bersaing dengan dengan kaum komunis, tetapi bersanding dengan liberalisme.

"Itukah inti demokrasi sosial?"
(diterjemahkan secara serampangan oleh dian yanuardy)