menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Friday, December 22, 2006

Mereka Lahir Dari Rahim Pergerakan Rakyat

Awal
Ramalan Francis Fukuyama terbukti tak benar. Ketika Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989, Fukuyama, secara agak sembrono, meramalkan bahwa dunia akan memasuki segara memasuki fase “akhir sejarah” [the end of history]: kemenangan kapitalisme [neoliberal] dan demokrasi [liberal]. Apa yang dimaksud dengan “akhir sejarah” oleh Fukuyama bukan berarti dunia kehilangan peristiwa-peristiwa besar dan penting, melainkan bahwa sejarah berjalan secara tunggal, koheren, dan evolusioner. Bagi Fukuyama, masyarakat liberal demokratis yang didasarkan atas kapitalisme pasar-bebas, pada akhirnya akan mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam hal stabilitas ekonomi, penghargaan terhadap diri sendiri, dan kehormatan.

Beruntunglah, dunia tak berjalan seperti yang diramalkan oleh Fukuyama...

Gelombang Perlawanan terhadap Globalisasi Neoliberal
Serangan pertama yang mematahkan tesis Fukuyama datang dari hutan raya Lacandona, di Chiapas, negara bagian yang paling tenggara Meksiko. Bukan oleh kaum akademisi dan intelektual, melainkan oleh sekelompok masyarakat adat dan petani bersenjata, yang menutupi mukanya dengan balaklava, dan yang menamakan diri dan pergerakannya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Zapatista atau EZLN [Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional] pada 1 Januari 1994. Dipimpin oleh Subcomandante Marcos, gerakan yang ‘hanya’ berintikan 3.000 orang bertopeng hitam, dan kebanyakan berasal dari suku Indian Maya ini, menyerbu pusat kota San Cristobal de la Casas, dan mengumumkan Deklarasi Perangnya sebagai perlawanan terhadap diberlakukannya pakta pasar bebas, yaitu tergabungnya Meksiko di NAFTA. Bagi petani dan masyarakat adat ini, NAFTA adalah lonceng kematian. Meskipun tinggal di sebuah negeri yang kaya sumberdaya alamnya, masyarakat adat Indian dan petani, terus mengalami ketidakadilan dan ketimpangan yang tajam.

Setelah ‘meninggalkan’ fase perjuangan militer, EZLN lalu mengganti pola perjuangannya dengan senjata lain yang tak kalah mematikan: kata-kata. Jadi, kata menggantikan senjata. “Kata adalah senjata”. Sejak saat itulah, Subcomandante Marcos menggebrak dunia politik lewat kata-katanya yang tajam, dan prosa-prosa yang mengagumkan. Tulisan-tulisannya ‘membakar’ dan ‘menghasut’ pembacanya agar memahami cengkeraman dan jeratan neoliberalisme di Meksiko. Tak hanya bernada agitasi dan provokasi, tulisan Marcos juga menggabungkan antara kemahiran sastra tingkat tinggi dengan analisa ekonomi-politik yang tajam.

Salah satu hal yang paling subtansial, yang menantang langsung pendirian Fukuyama, adalah bahwa Zapatista mengangankan visi altermundialista, yaitu dunia lain di luar globalisasi neoliberal. Sebuah dunia yang dipandu atas penghargaan terhadap demokrasi, kebebasan dan keadilan rakyat yang sejati. Bukan demokrasi, kebebasan, dan keadilan rakyat yang berada dalam definisi dan cangkang kekuasaan kapitalisme. Bahkan, lebih lugas, Zapatista menyebut visinya berdasar pada nilai-nilai sosialisme yang telah lama hidup dan tumbuh di kalangan masyarakat Indian Maya.

Setelah gelombang pertama agak surut, ketidakpercayaan terhadap kapitalisme pasar bebas, lahir dari Brazil, negeri para pesepakbola. Disokong oleh Partido Trabahaldores (Partai Buruh Brazil), sejak Oktober 2002, Lula da Silva tampil menjadi Presiden Brazil menggantikan Fernando Cardoso, seorang pakar teori ketergantungan yang lalu ‘murtad’ dan beralih keyakinan pada prinsip-prinsip neoliberal. Lula mulanya adalah juga ketua PT tersebut. PT menjadi sebuah partai besar karena berhasil mengakomodasi gerakan buruh, petani, intelektual kota, dan bahkan kalangan rohaniawan. Tetapi, dukungan terhadap PT yang paling kuat dan radikal datang dari MST [Movimento dos Trabahaldores Rurais Sem Terra] atau Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah. Didirikan pada tahun 1984, MST merupakan organisasi kalangan pekerja dan buruh tani yang paling aktif berjuang untuk reforma agraria, redistribusi tanah dan pertanian rakyat. Gerakan ini, pada dasarnya muncul sebagai hasil dari distribusi tanah yang sangat timpang, yang merupakan warisan dari kolonialisme bangsa Portugis. MST tampil menjadi sebuah gerakan yang kuat dengan partisipasi rakyat yang sedemikian tinggi dan terus meningkat. Ketika partsipasi rakyat makin meninggi, dan tuntutan akan perubahan sosial-politik dalam skala yag luas diperlukan, maka MST mulai menjalin koalisi dengan PT yang kelak mengantarkan Lula da Silva ke kursi kekuasaan. Ringkasnya, kemenangan Lula dan menguatnya kepercayaan politik rakyat Brazil pada MST dan PT, secara bagus dilukiskan oleh Wendi Wolford, sebagai kemenangan gerakan sosial yang sedang “berjuang untuk mewujudkan komunitas yang didambakan” [imagined community].

Tampilnya Lula da Silva sebenarnya didahului oleh naiknya Hugo Chavez, pada pemilu Venezuela tahun 1998. Awalnya, Chavez mencoba melakukan sebuah kudeta yang gagal di tahun 1992. Namun kegagalan itu, meski ia lalu merasakan lantai dingin penjara, membuatnya meraih popularitas dari kalangan kaum miskin di seantero Venezuela. Kudeta itu merupakan kegeraman Chavez dan kawan-kawannya, atas kebijakan-kebijakan neoliberal Presiden Carlos Andres Peres yang menaikkan harga BBM, dan membuat rakyat di negeri yang kaya minyak itu tenggelam dalam kemiskinan absolut, bahkan kematian massal.

Dari balik jeruji penjara, Chavez mendirikan Gerakan Republik Kelima, yang juga merupakan persatuan front dari berbagai gerakan sosial di Venezuela. Setelah berhasil meraih kekuasaan lewat pemilu, Chavez menggeret politik Venezuela ke arah yang lebih kiri dan populistik. Gagasan pembaharuan dan perubahan sosialnya diberi nama Revolusi Bolivarian, dan diorganisir oleh Lingkaran Bolivarian, yang diancangkan sebagai alternatif untuk mengganti kapitalisme pasar bebas. Daripada bergabung dengan FTAA, misalnya, ia malah mendirikan ALBA [Alternatif Bolivarian untuk Rakyat America Latin] yang berdasar pada prinsip-prinsip keadilan rakyat. Tetapi, apa yang paling menentukan adalah upayanya untuk memperkuat posisi perusahaan minyak (PDVSA) milik negara dan meningkatkan daya tawarnya dengan meminta kenaikan royalti yang besar pada sejumlah perusahaan swasta. Tindakan ini, tak ayal, membuat Chavez memiliki kekayaan yang berlimpah dari hasil minyak yang dipakainya untuk membiayai berbagai kebijakan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis bagi penduduk yang paling miskin. Tak hanya itu, sebuah program reforma agraria yang meredistribusi tanah bagi kaum miskin juga dilakukan (sebagaimana Brazil, sebagian besar tanah di Venezuela juga dimiliki oleh segelintir oligarkh). Chavez kini menggembar-gemborkan gagasannya dengan sebutan sosialisme abad 21.

Nama lain yang muncul setelah Chavez adalah Evo Morales, nama lengkapnya Juan vo Morales Ayma, seorang suku Indian pertama yang menduduki kursi kepresidenan di Bolivia. Sebagaimana Chavez dan Lula, Evo Morales juga lahir dari rahim pergerakan rakyat. Partainya, MAS (Gerakan Menuju Sosialisme), merupakan sebuah partai front dan aliansi yang longgar dari berbagai gerakan sosial di Bolivia yang memiliki platform lebar dari penghapusan kebijakan neoliberal; partisipasi politik bangsa-bangsa pribumi yang lebih besar dalam politik nasional; nasionalisasi industri migas; legalisasi penanaman daun koka; serta pembagian yang adil terhadap sumber daya alam nasional. Menariknya, Evo Morales sendiri bukan aktivis kacangan, ia pernah menjadi anggota gerilyawan bersenjata Tupac Katari, yang kelak membuatnya mendekam di penjara selama lima tahun. Setelah pemenjaraan itu, Morales tampil sebagai pembela hak-hak kaum pribumi yang paling kukuh, juga menjadi ‘penyerang’ garis depan dalam menentang kebijakan neoliberal di Bolivia.

Seperi halnya Chavez, usai meraih kursi kekuasaan Evo Morales memotong gajinya dan pejabat publik lainnya, untuk diberikan kepada rakyat. Tak hanya itu, gebrakan besar Morales adalah menasionalisasi ladang gas alamnya. Ia juga menaikkan royalti gas alamnya menjadi lebih dari 50%, yang lantas digunakannya untuk pelbagai kebijakan-kebijakan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis. Selain itu, untuk mempertahankan kehidupan para petani Indian yang menanam koka, ia kembali melegalisasikan penanaman koka yang sebelumnya dilarang oleh AS. Ada dua alasan kenapa pemerintah AS melarang penanaman koka: pertama, sebagai tindakan proteksi bagi perusahaan transnasional AS, Coca Cola, yang juga menggunakan daun koka. Kedua, sebagai upaya penolakan terhadap program USAID yang berencana menggantikan tanaman koka milik petani Indian di pegunungan Andes dengan tanaman kacang macademia dan lada. Hal lain yang membuat Evo Morales juga termasuk dalam klan “Presiden Radikal” adalah usahanya untuk melakukan land reform yang radikal.

Segera setelahnya, beberapa kenaikan Presiden yang berideologi kiri menjadi fenomena umum di sejumlah negara Amerika Latin. Di Chili misalnya, Michel Bachelet seorang presiden dari aliansi partai sosialis dan kiri-tengah, kini berkuasa di negeri yang pernah dipimpin oleh diktator ‘murid’ Soeharto itu: Augusto Pinochet. Di Nikaragua, pemimpin gerilyawan Sandinista yang berhaluan kiri, Daniel Ortega juga tampil di kursi kekuasaan setelah sejak tahun 1990-an terus-menerus mengalami kekalahan oleh kandidat partai pro neoliberal. Nama yang lain adalah Ollanta Humala dari Peru, yang merupakan pemberontak yang melawan rezim neoliberal Peru, Alberto Fujimori. Humala juga merupakan karib dan bersahabat dekat dengan Hugo Chavez.

Jika kita tambahkan dua nama lagi: Fidel Castro dari Kuba dan Mahmoud Ahmadinejad dari Iran, maka tampaklah bahwa tesis akhir-sejarah Fukuyama telah gugur.

Fidel Castro bukan hanya lahir karena pergerakan rakyat, bersama Che Guevara, ia memimpin sebuah revolusi rakyat yang menggulingkan diktator militer Batista. El-Comandante Castro malah sejak dulu tetap mengukuhi sosialisme sebagai jalan hidup di negerinya. Meski mendapat embargo ekonomi dari AS, dan beberapa kali diancam pembunuhan, rakyat Kuba tetap mengagumi dan membelanya. Di tangan Castro, Kuba menjelma menjadi negara yang begitu memperhatikan hak-hak dasar rakyatnya. Di bidang pendidikan, misalnya, angka melek huruf merupakan yang terendah di dunia. Di negeri cerutu itu, segala level pendidikan, termasuk universitas, digratiskan. Tak sebagaimana di negeri ini, dimana pendidikan hanya menjadi sarana mobilisasi vertikal, di Kuba pendidikan bermakna horisontal yakni dengan bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian. Hal ini diatur oleh sebuah sistem yang membuat para guru-murid-orang tua murid untuk tidak saja senantiasa berkomunikasi secara personal, tetapi juga bertanggung jawab terhadap pendidikan, dan bahkan terhadap segala permasalahan yang muncul di lingkungan sekitarnya. Bahkan hingga hari ini, terdapat sebuah program pendidikan dengan slogan yang cukup menarik “A Nation Becomes University”—dimana negara beserta lembaga pendidikan tinggi beserta para profesor dan sejumlah guru besarnya mengadakan pengajaran pendidikan tinggi via televisi. Jadi jangan heran, kalau kelak orang Kuba berstatus sarjana semua!!. Jangan heran pula, kalau televisi di Kuba mengajarkan sejarah filsafat atau ilmu sosial dengan dipandu oleh seorang profesor!! Di bidang kesehatan, Kuba juga menorehkan prestasi yang cemerlang. Jumlah tenaga dokter di Kuba merupakan yang terbanyak dari negara manapun di dunia. Hingga kini, Kuba menawarkan beasiswa pendidikan kesehatan yang gratis kepada negara-negara miskin. Tak hanya berorientasi pemupukan kekayaan, program pendidikan kesehatan di Kuba juga menekankan pemahaman tentang ilmu-ilmu sosial-humaniora dan misi pelayanan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan Presiden Iran, Ahmadinejad juga lahir dari rahim pergerakan rakyat. Ia menjadi pengikut setia Ayatullah Khameini yang berusaha menggulingkan pemerintahan Syah yang kapitalistik dan feodalistik. Dengan berpola hidup yang sangat sederhana, Ahmadinejad tak hanya selalu merupakan oposisi terkemuka terhadap imperialisme Amerika Serikat, tetapi juga melakukan program-program sosial seperti pendidikan gratis dan perumahan untuk rakyat miskin. Dengan nilai-nilai Islam (syi’ah) yang berwatak populistik, Ahmadinejad tampil melawan ketidakadilan yang diciptakan oleh pasar bebas dan empire Amerika Serikat.

Tampaklah kini, tak semua orang di segenap penjuru dunia hidup nyaman di bawah kapitalisme neoliberal!
***

Selain menggugurkan tesis Fukuyama, berbagai fenomena di atas, setidaknya menunjukkan beberapa pelajaran: Pertama, para pemimpin ini lahir dari rahim pergerakan rakyat. Mereka tidak lahir dari proses demokrasi liberal yang alami, melainkan merintisnya dari jalur gerakan sosial. Mereka bukan presiden dan pemimpin yang memperoleh popularitasnya karena bantuan sms, polling atau pun karena pandai menyanyi atau sedikit ganteng. Mereka juga bukan presiden yang lahir dari partai penguasa, juga bukan lahir dari pengusaha penetek kekuasaan, bukan pula intelektual yang rajin mengobral teori atau agamawan yang selalu berbicara ihwal moral. Berbekal ideologi populis dan kerakyatan, dan pengetahuan yang baik tentang cengkeraman kapitalisme di negerinya, para Presiden Radikal ini terlebih dahulu adalah orang-orang yang menggeluti penderitaan rakyat di masa mudanya. Lula adalah mantan aktivis buruh pabrik, Morales mantan gerilyawan pejuang masyarakat adat, sedangkan Chavez adalah militer berpangkat rendah yang nasionalistik dan dekat dengan aktivis gerakan sosial. Jadi, proses menjadi pemimpin betul-betul ditempa karena pergerakan dan ‘pergaulannya’ dengan rakyat tertindas.

Kedua, kemenangan para presiden ini pada dasarnya adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal dan demokrasi liberal. Di Amerika Latin, menurut James Petras, neoliberalisme pada dasarnya telah mengalami krisis sistemik yang matang dan mendalam. Ia gagal dalam menjawab janji tentang kemakmuran rakyat, malahan kemiskinan dan ketidakadilan yang semakin terasa. Sementara di sisi lain, para politisi dan kaum oligarkh hidup terasing dari rakyat, dan menikmati privilise yang semakin membuat rakyat muak. Sementara di sisi lain, penggusuran terhadap rakyat miskin, dicabutnya subsidi sosial, dan berbagai kebijakan neoliberal semakin membuat kaum miskin hidup dalam kemelaratan absolut. Hal ini semakin parah karena segregasi sosial yang diciptakan oleh kapitalisme neoliberal berada di sepanjang garis ras. Kemuakan ini mendapatkan saluran politisnya setelah para presiden itu menawarkan suatu visi alternatif yang kongkret atas kapitalisme neoliberal. Dalam beberapa hal, perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal ini juga dibahasakan dengan perlawanan terhadap empire Amerika Serikat.

Ketiga, kemenangan para presiden radikal ini, merupakan sokongan dari aliansi dan konvergensi dari beberapa gerakan sosial yang cukup beragam. Mereka mencerminkan apa yang disebut sebagai Alan Touraine sebagai gerakan sosial baru, yaitu konvegensi dari gerakan masyarakat sipil seperti organisasi buruh, petani tak bertanah, gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, intelektual kota, gerakan keagamaan hingga partai politik dari beragam garis ideologi, dari kiri leninis, hingga kiri tengah dan sos-dem. Seperti disebut di atas, apa yang menyatukan gerakan-gerakan ini adalah perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal, dan perjuangan untuk “demokrasi politik yang radikal”. Gerakan sosial baru ini dicirikan oleh pluralitas subyek yang kian beragam, dimana perannya tak secara dominan dimainkan oleh gerakan buruh, tetapi juga oleh gerakan-gerakan lain yang berdiri secara otonom, tidak etrsubordinasi oleh gerakan buruh. Gerakan-gerakan ini terus-menerus belajar melakukan aliansi dan kerjasama, berupaya merajut apa yang disebut oleh Laclau dan Mouffe sebagai “chain of equivalence” .[]