menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Friday, August 11, 2006

Awas Kapitalisme Bencana!!

We use to have vulgar colonialism,
now we have sophisticated colonialism,
and they call it ‘reconstruction’
(Naomi Klein)


Awal
Ungkapan di atas diteriakkan lirih oleh seorang aktivis antiglobalisasi, yang termasyhur dengan karyanya, No Logo, dalam sebuah artikel pendek yang diberinya tajuk The Rise of Disaster Capitalism. Klein mengajak kita untuk waspada dan mencurigai neologisme memikat yang tampaknya pada hari ini menjadi mantra ajaib bagi sejumlah negara yang menderita bencana, atau mengalami post-conflict dan post-war: rekonstruksi, rehabilitasi atau recovery. Bagi Klein, istilah-istilah di atas menyembunyikan suatu jenis imperialisme dan serbuan ‘bencana’ baru yang disebutnya dengan kapitalisme bencana (disaster capitalism). Lalu, makhluk apa lagi kapitalisme bencana itu? Bagaimana ia bermula? Bagaimana modus dan jejaknya?.

Menari di atas Luka
Bagi Klein yang bertempat tinggal di jantung negeri imperialis, AS, bukanlah hal yang sulit untuk mendeteksi jejak bagaimana ‘sejarah’ kapitalisme bencana ini bermula. Awalnya, di tengah teduhnya musim panas di bulan Agustus dua tahun lalu, administrasi Bush tiba-tiba mengeluarkan sebuah kebijakan yang cukup mengejutkan. Tepat pada 5 Agustus 2004, Gedung Putih mendirikan suatu lembaga baru yang diberi nama Lembaga Koordinasi untuk Rekonstruksi dan Stabilisasi yang dikomandani oleh Carlos Pascual, mantan duta besar Amerika Serikat untuk Ukraina. Lembaga ini memiliki mandat untuk menggarap dan mengkoordinasikan sejumlah operasi rekonstruksi di pelbagai negara, selama setidaknya untuk kurun waktu 5 sampai 7 tahun mendatang. Sekilas, tindakan ini tampak bersifat dermawan dan shalih. Namun, tentu saja masih ada yang ganjil: bagaimana mungkin sebuah negara yang kerap mengobarkan perang dan kerusakan (deconstruction) beralih menjadi pihak yang mengupayakan perbaikan (reconstruction)? Apalagi, Lembaga tersebut juga bekerja di sejumlah negara yang diekspansi oleh Amerika Serikat sendiri, seperti Afghanistan dan Iraq.

Teka-teki itu sedikit terkuak, ketika Condoleezza Rice, secara selip lidah (slip-tongue)—ingat bagaimana fenomena slip-tongue ini dibahas secara menarik oleh pakar psikoanalisa Sigmund Frued, mengatakan bahwa tsunami dan berbagai bencana di muka bumi ini merupakan “wonderful opportunity that has paid great dividends for us”. Tampaknya, bencana di negeri lain, dipandang sebagai berkah bagi negeri imperialis itu. Lebih lanjut, mandat Lembaga itu bukan untuk mengupayakan rekonstruksi fisik saja di sejumlah negara post-war, melainkan untuk menciptakan ‘negara yang demokratis dan berorientasi-pasar’. Untuk mendukung langkah ini, Lembaga tersebut disokong oleh Bank Dunia berserta sejumlah besar perusahaan-perusahaan swasta, konsultan dalam berbagai bidang, dan NGO internasional. Berbagai ativis kemudian membuat slogan sindiran yang menandai kelahiran Lembaga itu: “dimana ada kerusakan disitu ada perbaikan”.

Bukan hanya sindiran malah, berbagai situs kerusakan di muka bumi ini, yang terbentang dari Indonesia hingga Iraq, Afghanistan, Timor Leste, Haiti, Guatemala dan Nikaragua, dikerjakan proyek rekonstruksinya di bawah panduan lembaga ini. Dan dimulailah pelbagai ‘bencana’ baru yang diakibatkan oleh ulah Lembaga itu, dari pengerjaan yang lamban dan mengabaikan pembangunan ekonomi untuk rakyat kecil (Aceh), hingga mahalnya jasa konsultan asing yang harus dibayar untuk proyek itu (Afghanistan), dan perilaku korupsi, boros, dan tidak akuntabel (Srilanka). Tak hanya itu, proyek rekonstruksi itu lebih menyerupai proyek menata-ulang segala sektor, dibanding membantu mereka yang ditimpa bencana. Karena itu, bagi Klein kapitalisme bencana ini diartikannya sebagai “suatu perubahan sosial-ekonomi yang radikal yang dipandu oleh rejim pasar dengan memanfaatkan emosi penderitaan bencana dan ketakutan”.

Di Srilanka, misalnya, rekonstruksi industri melalui investasi asing dan privatisasi semakin mengencang ketika rekonstruksi atas bencana tsunami dikerjakan. Sejumlah perusahaan asing yang bergerak di bidang konstruksi, turisme, dan privatisasi sejumlah perusahaan negara di bidang listrik, dan air berjalan dengan cepat atas nama rekonstruksi. Karena itu sejumlah aktivis di Srilanka menyebut hal ini sebagai krisis tsunami kedua, dimana kedaulatan nelayan atas kekayaan laut dan pantainya mulai diambilalih oleh peruasahan asing dan industri turisme. Bahkan, dibeberapa tempat pendirian itu juga dikawal oleh Angkatan Laut Srilanka. Sedangkan di Iraq dan Afghanistan, rekonstruksi mengambil cara yang lebih klasik, yaitu pengucuran hutang luar negeri melalui World Bank dengan fokus pembangunan sektor industri dan pengucuran bantuan untuk ‘proyek-proyek demokrasi’ serta menganjurkan negara untuk memprivatisasi sejumlah perusahaan negara. Sebuah kasus di Afghanistan barangkali bisa menjadi sebuah ilustrasi menarik tentang bagaimana kapitalisme bencana ini bekerja. Sembari menolak untuk memberikan bantuan kepada kementerian kesehatan Afghanistan untuk membangun rumah sakit, Bank Dunia malah memberikan bantuan kepada sejumlah NGO internasional untuk mendirikan sejumlah rumah sakit baru. Modus ini adalah bagaimana liberalisasi dunia kesehatan dijalankan oleh Bank Dunia. Bahkan, tanpa segan-segan, dalam laporannya bank Dunia menghendaki terjadinya sebuah ‘transformasi mendasar yang akan memprivatisasi sektor air, listrik dan telekomunikasi’ di negeri itu dan membuatnya menjadi milik investasi asing.

Kapitalisme bencana ini hadir pasca-bencana dan lantas menimbulkan gelombang bencana baru. Honduras adalah ironi lain dari kapitalisme bencana ini. Setelah dihantam badai Mitch yang menggulung desa-desa di pinggir pantai dan menewaskan 9.000 orang, kongres Honduras akhirnya menyerah pada kondisi kemiskinan dan terjebak hutang. Walhasil negeri yang sudah jatuh miskin ini bahkan harus menjual murah (sell-off) seluruh kekayaan negerinya dengan memprivatisasi dan meliberalisasi bandar udara dan laut, perusahaan telekomunikasi, listrik, dan air milik negara. Bahkan, beberapa bulan setelah kejadian itu, sebuah reforma agraria yang berorientasi pasar dijalankan demi mempermulus penguasaan asing atas tanah dan hutan di negeri itu.

Di atas semua itu, kapitalisme bencana ini dijalankan atas dasar hutang luar negeri. Bahkan, terhadap sejumlah negara yang mengalami bencana alam dahsyat, Bank Dunia tetap bergeming untuk memberikan pengurangan hutang. Berbagai pendanaan bencana yang dikucurkan oleh Bank Dunia, yang sering disebut sebagai emergency aid, bukan berbentuk grant, melainkan loan. Begitu juga dengan proyek-proyek yang didanai oleh hutang itu, dibanding untuk membangun prakarsa ekonomi rakyat dan nelayan, proyek-proyek rekonstruksi yang didanai Bank Dunia lebih mengutamakan pembangunan sektor industri besar, turisme dan industri perikanan yang pada akhirnya meminggirkan petani. Bahkan, dalam salah satu dokumennya, Bank Dunia menyebutkan bahwa pembangunan rekonstruksi pada infrastruktur semisal sekolah, atau jalan raya akan mengakibatkan sebuah negara mengalami pengetatan sektor keuangan publik. Karena itu, Bank Dunia lagi-lagi menganjurkan privatisasi untuk menambah keuangan negara. (Klein: 2005)

‘Bencana’ Setelah Bencana
Dibanding berkah atas bencana, jenis kapitalisme ini lebih banyak mendatangkan gelombang bencana baru. Sejumlah aktivis di Thailand dengan keras menyerukan bahwa bencana telah membuat para politisi-pebisnis menangguk keuntungan besar. Terjangan tsunami yang mengakibatkan ribuan rumah dan lahan hilang, serta ratusan ribu manusia yang tewas semakin mempermudah jalan para politisi bandit itu untuk membangun hotel-hotel, kasino, pariwisata turis dan penginapan. Tak hanya dinikmati oleh perusahaan asing dan Bank Dunia, kapitalisme bencana ini juga dinikmati oleh elit kekuasaan dan kalangan pebisnis yang menetek pada kekuasaan. Ketika mata dunia sedang tertuju tsunami di Aceh, PM Singapura Lee Hsien Loong menelpon sejumlah koleganya di Asia Tenggara, presiden AS dan China untuk mengadakan pertemuan khusus tentang tsunami. Setelah pertemuan digelar, yang menarik, ternyata seluruh proyek itu dikoordinasikan oleh Singapura. Dengan kata lain, Singapura menjadi bandar atas seluruh proyek tsunami. Semua tender proyek berlangsung di Singapura. Dan beberapa proyek hanya dikerjakan di Meulaboh; sebuah wilayah yang secara geoekonomi-geopolitik lebih dekat kepada Singapura. Konon, perusahaan dan pengusaha Singapura menangguk untung besar dari bencana ini. Indonesia sendiri mengajukan proposal untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Tak hanya pengusaha Singapura, Jusuf Kalla juga meraup untung besar melalui perusahaannya Bukaka (Banjarmasin Post, 7-1-2005) yang memenangkan tender di bidang konstruksi, transportasi dan distribusi. Bukaka bahkan disinyalir selalu menjadi bandar tunggal dalam proyek rekonstruksi di daerah konflik di Indonesia (Goerge Junus Aditjondro: 2006). Apalagi, Bukaka bersama sejumlah perusahaan milik Aburizal Bakrie, termasuk perusahaan konstruksi yang paling kuat di Indonesia (SIB, 20 Oktober 2005).

Ringkasnya, kapitalisme bencana ini pada dasarnya dibangun atas variabel penting: hutang luar negeri. Dengan variabel ini, bencana menjadi saluran ekspansi kapitalisme yang tidak hanya melibatkan rejim pasar (Bank Dunia, Lembaga Koordinasi untuk Rekonstruksi dan Stabilisasi AS, perusahaan transnasional), tetapi juga selalu melibatkan politikus-pebisnis yang menempel pada kursi kekuasaan. Karena itu, pemerintah selalu memohon bantuan hutang luar negeri untuk mengatasi bencana di negeri ini. Bukan hanya seperti yang dikatakan oleh Revrisond Baswir, bahwa pemerintah mengalami ‘kemiskinan’, (Republika, 24-7-2006) tetapi juga karena ada tangan-tangan kotor yang selalu beroperasi di balik bencana dan hutang. Apalagi, seperti pernah dikemukakan oleh Sritua Arief, di dalam setiap hutang luar negeri Indonesia selalu terdapat komponen yang disebutnya sebagai ‘komponen acak’. Komponen acak ini berkaitan dengan perilaku kekuasaan elit di negeri ini, yaitu perilaku korup dan menyelewengkan pengelolaan sumberdaya ekonomi, terutama sumberdaya keuangan yang diperoleh dari hutang luar negeri (Sritua Arief: 1999). Dari argumen Sritua Arief ini, kita jadi mafhum mengapa dulu ketika tsunami Aceh terjadi dan sejumlah gerakan sosial menyuarakan penghapusan hutang, bahkan Jerman menyetujuinya, pemerintah dengan santai mengatakan bahwa Indonesia belum membutuhkan pengurangan. Tetapi di balik sikapnya itu, pemerintah justru meminta penambahan hutang. (Down to Earth, Maret-2005). Sebab, tampaknya, tanpa hutang, tak ada kesempatan bagi mereka untuk menguasai tender proyek atau menyelewengkan dan me-mark-up proyek itu. Pendeknya, setiap hutang luar negeri yang dilakukan kelak akan menimbulkan ‘bencana’ baru.

Akhir
Kalangan aktivis gerakan sosial, baik yang bergerak di lokasi bencana, maupun yang berada di luar untuk menjadi supporting unitnya, setidaknya kini dihadapkan pada beberapa tantangan besar. Pertama, bagaimana untuk merebut-kembali (reclaim) proyek rekonstruksi yang dipandu oleh rejim pasar dan negara tersebut, dan menjadikannya berbasis dan berorientasi pada rakyat. Dan lalu kedua, bagaimana untuk menyusun suatu proses rekonstruksi atau recovery yang berdasar pada transformasi sosial. Artinya, tidak hanya bergerak secara karitatif, tetapi juga menata ulang struktur ekonomi, sosial dan politik, baik dalam kelembagaan maupun relasi-relasinya. Dan terakhir, ketiga, bagaimana untuk mengerjakan pendidikan kritis bagi rakyat untuk mencari ‘afinitas elektif’ antara problem-problem lokal dan yang bersifat global. Walahua’lam.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home