menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Tuesday, June 06, 2006

PKI dan Sejarah yang (di) Gelap (kan)

Apa bayangan anda jika seseorang mendengar kata “Partai Komunis Indonesia (PKI)”? Sebagian orang mungkin akan memalingkan muka, mendengus kesal, memaki atau bahkan meludah di atas tanah. Bagi sebagian orang ini, PKI dianggap sebagai ‘sampah masyarakat’, musuh agama, anti tuhan, pemberontak yang berdarah dingin, dan atau pengkhianat bangsa dan negara. Pandangan semacam ini bisa jadi merupakan pandangan dan pengetahuan yang lazim dianut oleh sebagian bangsa Indonesia. Pertanyaannya adalah: ‘Benarkah PKI adalah sebuah keburukan yang niscaya (necessary evil)? Dan jika jawabannya masih meragukan, maka ‘Bagaimana stereotipe tentang keburukan tersebut bisa menyebar sedemikian luas?’ lalu ‘Kekuasaan macam apa yang bekerja hingga membuat bangsa ini menelan mentah-mentah—baik secara sadar ataupun tanpa sadar—sebuah doktrin bahwa PKI adalah niscaya sebuah keburukan?.

Tentu bukan tanpa sebab jika kita perlu melayangkan kembali kembali pertanyaan-pertanyaan ini. Ada beberapa alasan yang setidaknya bisa diajukan kenapa persoalan ini perlu dipertanyakan kembali. Pertama, PKI mengalami sebuah anihilasi fisik dalam peristiwa pembantaian besar-besaran selama tahun ‘65-66’ terhadap anggota dan simpatisannya. Sekurangnya 500.000 orang terbunuh dan ribuan yang lain mengalami pengasingan dan penahanan tanpa pengadilan. Apa yang terpenting dalam peristiwa pembantaian ini adalah kelihaian penguasa untuk menggeser pelaku pembantaian yaitu dari militer pada masyarakat sipil. Kedua, PKI dan orang-orang yang dianggap berhaluan Kiri, sepanjang masa Orde Baru juga mengalami diskriminasi politik yang luarbiasa. Dengan menggunakan stigma Komunis dan PKI, rejim Orde Baru bisa dengan semena-mena melakukan diskriminasi politik. Jika seseorang sudah distigmakan sebagai Komunis, maka dapat dipastikan ia tidak akan bisa melakukan mobilisasi sosial. Ketiga, PKI dan orang-orang yang dianggap berhaluan Kiri mengalami anihilasi metafisik, yaitu dilarangnya segala jenis ideologi berhaluan Kiri dan dihilangkannya peran-peran Kaum Kiri dalam sejarah pergerakan di Indonesia. Ketiga hal ini tentu berujung pada apa yang disebut dalam definisi Foucaultian sebagai kekuasaan dalam rejim pengetahuan. Wacana tentang antikomunisme disebarkan sedemikian rupa melalui buku-buku sejarah, film, pidato kenegaraan, khotbah agama, pemberitaan pers, sehingga menjadi ‘kebenaran yang lazim’. Ketika wacana tentang antikomunisme ini menjadi lazim dan diterima sebagai ‘kebenaran’, maka ketika anihilasi fisik dan metafisik terhadap PKI terjadi sebagian orang tak menganggapnya sebagai masalah besar. Pendeknya, ketika pembantaian terhadap ratusan ribu PKI terjadi, maka sebagian orang akan menganggapnya sebagai hal yang biasa bahkan niscaya.

Buku Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI ini merupakan sebuah karya yang mencoba mendobrak (transgression) tembok tebal ‘rejim kebenaran’ yang lazim diterima oleh masyarakat tentang PKI. Jika sebagian orang masih menyebut bahwa PKI tak lebih sebagai pengkhianat bangsa dan musuh agama, maka buku ini punya opini yang berbeda. Ditulis oleh Imam Soedjono, seorang pelarian politik yang kini tetap tinggal di negeri Belanda, buku ini menantang historiografi Orde Baru yang melulu menempatkan PKI sebagai sang paria dan pecundang. Dan, dengan pemaparan yang elok dan memukau, maka buku ini berupaya untuk menempatkan kembali PKI dalam konteks sejarah gerakan politik di Indonesia. Dengan perspektif semacam ini, maka kita akan melihat bahwa kelahiran PKI pada dasarnya tak beda dengan kemunculan berbagai gerakan perlawanan yang menentang penjajahan di awal abad 20. Akar-akar perlawanan terhadap kolonialisme di Jawa mulai muncul semenjak Perang Jawa, yang dipimpin oleh Diponegoro. Tak hanya itu, akar-akar budaya perlawanan itu juga terus tumbuh ketika lahirnya organisasi-organisasi modern seperti SI, Indische Partij dan Budi Utomo mulai merebak. Akar-akar budaya perlawanan ini—yang kelak terus direproduksi dan diradikalisasi oleh kehadiran PKI—sesungguhnya telah lama bersarang dalam kesadaran rakyat Indonesi, dan terus mengalami replikasi dan reproduksi. Karena itu, perkembangan dan pengaruh PKI yang kelak menjadi sedemikian pesat harus dipahami dari tiga arah sekaligus: habitasi perlawanan rakyat, kondisi obyektif (ekonomi-politik) yang kian menindas, serta hadirnya PKI sebagai instrumen dan saluran gerakan.

Dengan perspektif semacam itu, maka penulis buku ini dengan gamblang begitu konsisten memaparkan tiga simpul sejarah PKI yang sering disalahpahami: Pemberontakan PKI 1926, Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa G30S. Karena itu, bagi penulis buku ini Pemberontakan PKI 1926 harus dimaknai dalam kerangka perlawanan rakyat melawan kolonialisme. Sementara di sisi lain, dibanding menyebut Peristiwa Madiun 1948 sebagai pemberontakan, penulis buku ini memaparkan bahwa perlawanan kaum komunis pada Peristiwa Madiun 1948 adalah upaya pertahanan diri dari serangan yang dilancarkan melalui Red Drive Proposals yang disponsori AS dan disepakati oleh Perdana Menteri Hatta. Sekaligus juga, sebagai respon terhadap rancangan program restrukturisasi-rasionalisasi yang dilancarkan untuk memreteli kekuatan bersenjata kalangan pergerakan dan mengkonsentrasikan kekuatan militer di bawah kontrol penguasa. Meski tak persis serupa, analisis Imam Soedjono tentang Peristiwa Madiun ini dalam beberapa hal menjadi sealur dengan penjelasan memikat Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Sedangkan mengenai Peristiwa G30S, senada dengan argumen Ben Anderson, Ruth Mcvey dan Wertheim, penulis buku ini menyebut bahwa peristiwa yang kelak menghabisi jutaan simpatisan PKI itu pada dasarnya merupakan preseden dimana kekuatan militer mencoba melikuidasi kekuatan kaum komunis dan Soekarno. Dengan penjelasan semacam ini, kita diyakinkan bahwa apa yang dilakukan oleh militer pada dasanya adalah ‘kudeta merangkak’.

******

Selain menghadirkan tiga simpul sejarah yang sering disalahpahami dalam historiografi Indonesia dalam sejarah PKI, buku ini juga menjadi penting karena usaha keras sang penulis untuk meyakinkan bahwa PKI, sebagaimana gerakan-gerakan politik pra-kemerdekaan yang lain, juga punya sumbangan besar dalam memahat bangunan ke-Indonesia-an. Terlepas dari kontroversi yang selalu menyelimutinya, apa yang dilakukan oleh PKI pada masa lalu juga memberi pelajaran yang berharga: setiap perjuangan membela rakyat selalu berhadapan dengan kekuasan. Wallahua’lam.

5 Comments:

Anonymous Anonymous said...

komunis ada juga kepanjangannya komunitas (komun) islam (is). saya terharu dengan pemberontakan dgn belanda tahun 1926 ternyata sisi lain dari PKi adalah pemberontakan mereka di tahun 1926 ini.

10:07 PM

 
Anonymous Anonymous said...

berarti yang dibunuh simpatisan pki ya?

8:52 PM

 
Blogger Unknown said...

Komen yang benar.sesungguhnya pendukung PKI pada zaman IR.Soekarno gak ada,hanya foto foto editan,PKI musuh agama.gak ada kaitan dengan islam.anonymous pemfitnah islam.

6:56 AM

 
Anonymous Anonymous said...

bagi gw gk ada istilah pki atau bukan. yg ada hanya org baik atau jahat kelakuannya. pki atau bukan, liat dlu kelakuan nya.

8:58 PM

 
Anonymous Virgiani said...

Apa pun itu ideologinya.. Mau pki, nasionalis, kapitalis, semua bergantung kepada individu masing masing.. Tiap orang punya pandangan yang beda, pemikiran yang beda dan jangan jadikan alasan perbedaan ideologi dan pandangan bikin kita terdisintegrasi kaya dulu dulu lagi.. Harus tetap bersatu.. Boleh tetap pada pemikiran masing masing tapi enggak harus memaksakan.. Saling mengalah dan menerima ajaaa.. Satu itu indonesia dan kita indonesia

6:41 PM

 

Post a Comment

<< Home