menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Monday, June 05, 2006

Kisah Negeri yang Lumpuh dan Terjajah

“Dengan 100 juta penduduknya dan 300 mil busur pulau-pulau yang berisi persediaan sumber daya alam terkaya di daerah tersebut, Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia Tenggara” (Richard Nixon).

Ungkapan di atas diteriakkan dengan girang oleh seorang Richard Nixon, presiden Amerika Serikat. Mengapa Indonesia disebutnya sebagai ‘hadiah terbesar di Asia Tenggara’? Dan apa yang melatari ungkapannya itu?. Tentu saja, bukan tanpa sebab jika seorang Nixon, penguasa di negeri adidaya AS, tiba-tiba menyatakan bahwa Indonesia adalah hadiah terbesar bagi negerinya dan bagi hasrat imperialismenya. Pernyataan itu diucapkan ketika Orde Lama yang dibangun dengan pondasi politik anti-imperialisme Soekarno perlahan mulai runtuh. Dan Orde Baru menjelang. Kemunculan Orde Baru ditandai oleh praktik ‘kudeta merangkak’ yang memaksa Soekarno meletakkan jabatan kepresidenannya. Orde Baru juga ditandai oleh terbantainya sekitar dua juta pengikut PKI dan Soekarno, dan memaksa ratusan ribu orang lainnya menghuni penjara politik tanpa pengadilan dan keadilan. Orde Baru juga diawali dengan diserahkannya dan dikapling-kaplingnya potensi ekonomi di negeri ini oleh rezim imperialis internasional.

Awal babak itu dibuka ketika sejumlah utusan Orde Baru, seperti Adam Malik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta para ekonom ‘Mafia Berkeley’ diutus oleh Soeharto untuk meminta bantuan hutang luar negeri dan investasi kepada sejumlah perusahaan internasional. Dalam pertemuan yang disebut sebagai Konferensi untuk Membantu Pembangunan Ulang Bangsa, para utusan tersebut ‘mengemis’ kepada sejumlah lembaga keuangan internasional dan kapitalis internasional seperti General Motors, US Steel, Goodyear, British American Tobacco, Freeport dan Alcoa, dsb untuk menanamkan modalnya di negeri kaya-raya ini dengan iming-iming bebas pajak, seperti tercantum dalam UU PMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) yang dikeluarkan saat itu. Sejak saat itu pula, sejumlah sumberdaya alam seperti pertambangan dan hutan-hutan di seantero mulai dikuasai dan dimiliki oleh rejim-rejim kapitalis internasional. Karena itu, bukan kebetulan kalau seorang Nixon kemudian menyambut fenomena ini dengan ungkapan lugas bahwa “Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia Tenggara”.

Dan begitulah Orde Baru dibangun. Orde yang oleh sejumlah pengamat kritis dijuluki dengan rejim neo-fasis atau rejim otoriter-birokratik ini dengan sempurna memadukan sokongan kekuatan modal internasional dan bedil kaum militer, serta politik licik Golkar sebagai pondasi kekuasaannya. Serangkaian praktik politik otoriter seperti kemenangan absolut partai Golkar, membungkam oposisi, hingga penggunaan kekerasan militer adalah cara-cara bagaimana rejim Orde Baru mengukuhkan kekuasannya. Sedangkan sistem sosialnya dijalankan atas kehendak untuk memaksa agar seluruh rakyat patuh dan tunduk dalam keseragaman yang dipandu oleh tafsir atas Pancasila dan UUD 1945 yang sesuai dengan selera rezim. Konsep negara integralistik, dimana warga negaranya harus hidup dalam kerukunan, keselarasan dan keseragamn menjadi, dianut demi meneguhkan watak korporatis rejim Orde Baru. Tetapi, di sisi lain, praktik ekonomi rente, korupsi akut di tubuh birokrasi, dan pengusuran yang mengatasnamakan pembangunan, penindasan atas nama asas tunggal, serta pengkaplingan sumberdaya ekonomi-politik terus saja dijalankan. Orde Baru menjadi sistem politik dan sosial yang kian rakus dan hegemonik. Perilaku dan pola sistem politik dan sosial ini, meski kelak Orde Baru runtuh, diam-diam diwarisi dan diikuti oleh sejumlah kalangan, termasuk kalangan kelas menengah dan elit politik di negeri ini.

Walhasil, ketika Orde Baru runtuh dan setelah itu konflik sosial meledak, korupsi kian menggila, pengkaplingan sumberdaya ekonomi-politik kian marak, maka seluruh fenomena tersebut seharusnya meletakkan alat analisis sistem sosial dan politik Orde Baru sebagai akar masalahnya. Tanpa kajian mendalam tentang sistem sosial dan politik Orde Baru, maka kita akan gagal untuk melihat mengapa demokrasi di Indonesia berjalan pincang, mengapa rajutan sosial bangsa ini cepat memudar, dan mengapa fenomena pengkaplingan sumberdaya ekonomi kian marak.

Buku Republik Kapling (Resist Book: 2006) karya Tamrin Amal Tomagola, adalah tantangan bagi mereka yang selalu punya nada toleran dan permissif terhadap perilaku sosial dan politik Orde Baru. Ditulis oleh seorang sosiolog yang aktif terlibat pada masalah konflik sosial, demokrasi, dan hubungan antar-golongan, buku ini boleh jadi adalah sebuah kesaksian tentang betapa bobroknya sistem yang ditinggalkan Orde Baru. Dan betapa tololnya orang-orang yang hingga kini masih menggunakan pola yang sama untuk mengelola bangsa ini. Dengan rentang kajian yang luas dan tajam, penulis buku ini mengingatkan bahwa jika pengkaplingan ekonomi-politik berlanjut, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang lumpuh karena konflik sosial yang kejam, dan semakin terjajah dan terhisap oleh kapitalisme neoliberal yang biadab.

Tamrin Amal Tomagola, penulis buku ini, memulai analisisnya dari konflik sosial pasca Orde Baru untuk menjelaskan mengapa buku tersebut diberinya judul Republik Kapling. Menurutnya, akar dari segala konflik sosial pasca Orde Baru di negeri terjadi karena beberapa hal. Pertama, konflik sosial pasca Orde Baru pada dasarnya merupakan warisan yang berakar-urat dari sistem sosial yang hegemonik pada masa Orde Baru. Kedua, konflik sosial pasca Orde Baru selalu ditandai oleh terkaplingnya sumberdaya alam, dimana proses pengkaplingan tersebut juga melibatkan rajutan suku, ras dan agama. Akibatnya, konflik sosial di Indonesia mempunyai dimensi yang khas: yaitu konflik ekonomi-politik yang dibalut oleh konflik dan sentimen kebencian ras, agama dan suku. Ketiga, akar dari konflik sosial semacam itu sebenarnya adalah masalah ketidakadilan dalam mengontrol dan menguasai sumberdaya strategis yang dilakukan oleh peemrintah dengan sokongan modal internasional.

Tak hanya soal konflik sosial, karya Tamrin Amal Tomagola tersebut juga mengupas tentang problem demokrasi, dan warisan sistem sosial Orde Baru, serta oligarki ekonomi-politik. Dengan tema yang beragam, buku ini layak menjadi panduan bagi para aktivis gerakan sosial yang menggeluti isu-isu demokrasi, pluralisme, rekonsiliasi konflik. Ringkasnya, buku ini adalah suara pengingat yang tajam bahwa jika keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat disalahi dan dikorupsi, maka ancaman konflik sosial akan terus membayangi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home