Menggugat sekolah mahal
Menggugat Sekolah Mahal
Oleh: Dian Yanuardy
Memperbincangkan pendidikan di negeri ini seperti tidak ada habisnya. Ada beragam karya yang menghujat pendidikan: mulai dari yang menggugat komersialisasi pendidikan, menggugat sistem pendidikannya, mempertanyakan kurikulumnya, menuntut anggarannya, hingga memaki-maki soal ketimpangan yang terus direproduksi oleh sebuah lembaga yang bernama sekolah. Meskipun demikian, tampaknya masih banyak anak-anak yang enggan meninggalkan bangku sekolah (kecuali karena nggak mampu bayar SPP), masih banyak orang tua yang berlomba-lomba mendaftarkan anaknya ke sekolah favorit, masih banyak anak lulusan SMU yang pingin mengeyam bangku kuliah. Semuanya barangkali bisa diringkas dalam satu ungkapan; ”demi masa depan yang lebih baik”.
Tampaknya, hingga kini, sekolah masih dipercaya sebagai sebuah pabrik yang niscaya mengeluarkan komoditas yang bermutu dan bernilai tinggi. Bersekolah, juga seringkali diidentikkan dengan harapan adanya masa depan yang cerah, mempunyai pekerjaan yang bagus, penghasilan yang cukup, akhlak yang mulia dan sebagainya. Karena itu, mendatangi lembaga sekolah menjadi seperti kewajiban yang melebihi segalanya. Jika, tidak bersekolah maka anda tidak dianggap berhak untuk melakukan dan mendapatkan apa-apa. Intinya, kamu bersekolah maka kamu ada..!!
Apa akibat dari sesat pikir ini? Ya betul, sekolah kemudian dianggap sebagai lembaga yang sakral. Ia melebihi tempat ibadah, karena hampir semua orang pernah memasuki dan duduk di bangku-bangkunya. Sekolah seringkali dianggap sebagai magic box. Dengan sedikit sim salabim atau aba kadabra, maka anak yang bersekolah pasti akan menjadi lebih baik, bermoral, pintar dan punya masa depan yang cerah. Karena dianggap sebagai lembaga sakral dan tidak pernah salah, maka lembaga pendidikan dan sekolah juga cenderung immune dari kritik terhadap paradoks yang justru terdapat dalam lembaga itu.
Nah, buku-komik yang berjudul “Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah” berdiri dan melawan kecenderungan itu. Buku komik ini mengajukan serangan yang tajam terhadap sekolah sebagai lembaga yang sakral. Tentu buku ini punya detail dan style yang berbeda dari buku tentang sekolah yang juga pernah diterbitkan resist book, seperti “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Jika buku yang terdahulu itu berhasil menggambarkan dengan detail dan kaya data tentang bagaimana dunia pendidikan yang berada dalam genggaman modal dan mereproduksi kesenjangan sosial, maka komik ini justru punya gaya yang berbeda meski dengan pesan yang serupa. Buku ini menjelajah dan menyusuri lebih jauh, sebuah lembaga yang bernama sekolah. Ia dengan detail gambar-gambar yang memukau, sindiran-sindiran yang tajam dan kritik yang mengena berhasil mendedahkan bagaimana sesungguhnya ‘isi perut’ dari sebuah sekolah. Buku yang sarat komik dan gambar ini siap membuat anda merasa tersindir.
Ada beberapa pesan yang hendak disampaikan oleh komik ini. Pertama, sekolah tampaknya masih terkungkung oleh sistem yang otoritarian. Ini bisa kita lihat dengan begitu banyaknya aturan, pelajaran yang penuh dengan doktrin-doktrin dan pengajar-pengajar yang miskin improvisasi. Sekolah juga acapkali membuat anak didik dikurung dan menjauhi realitas sosial di sekelilingnya.
Kedua, komersialisasi pendidikan masih menjadi problem terbesar dari dunia pendidikan. Hari ini, kaum borjuis tampaknya mengincar pendidikan sebagai sarana akumulasi modal. Bahkan, menteri pendidikan sangat mengharapkan agar berbagai perguruan tinggi menerapkan korporatisasi. Di Yogyakarta saja, misalnya, kalangan politisi, pengusaha dan anggota dewan dan birokrat, sedang gencar untuk mendirikan berbagai lembaga pendidikan. Apa akibat dari komersialisasi ini? Tentu pendidikan makin mahal dan tak terjangkau. Efeknya, tentu saja pendidikan mengalami segregasi; ada pendidikan yang mahal dengan fasilitas dan program yang berlimpah (buat orang kaya) dan ada pendidikan yang murah dengan fasilitas dan program yang apa adanya (buat orang kere). Ini seperti logika industri; jika anda mempunyai uang sedikit, maka anda akan mendapat barang yang jelek. Bahkan tak jarang, sekolah mahal pun tak ada jaminan kualitas yang baik.
Ketiga, dengan model pendidikan yang otoritarian dan watak kapitalistik yang massif, akhirnya sekolah cenderung menjadi tempat bagi membiaknya kultur a-sosial dan hedonis. Di negeri ini, kita sulit untuk menemukan sebuah lembaga pendidikan yang berhasil menelurkan anak didik dengan kesadaran kritis; seorang anak didik yang mampu melihat realitas di sekelilingnya dalam kacamata penindasan dan berjuang untuk pembebasannya. Karean itu, mentalitas mall (santai, kongkow, belanja dan hedonisme) serta mentalitas hape (citra diri, individualisme, dll) menjadi tanda bagi merebaknya kultur pendidikan yang semakin menjauh dari realitas sosial yang kian memiskinkan dan menghimpit.
Berbekal kejenakaan, kenyinyiran sekaligus visualisasi yang hidup, pemaparan tentang sistem yang otoriter, watak kapitalistik dan kultur hedonis dalam dunia pendidikan memperoleh gambaran yang nyata dan berserak di sepanjang karya ini. Di tengah-tengah komersialisasi pendidikan yang kian menggila dan optimisme kalangan pengamat pendidikan yang selalu bersuara “sekolah bagus memang harus mahal”, buku ini menghadirkan paradoks yang tajam dan kejujuran yang menghunjam. Karya ini, seakan-akan mengajak kita untuk bermonolog lirih: Inilah dunia pendidikan kita!!
Lalu, untuk siapa buku ini hadir?
Buat orang tua, ini adalah komik yang tepat untuk dibacakan dan diceritakan kepada anak menjelang tidur. Bagi kepala sekolah, ini adalah karya yang pantas untuk mengisi ruang perpustakaan sekolah atau menjadi pelajaran selingan pada jam-jam kosong. Dan buat para mahasiswa, inilah komik yang merekam keseluruhan riwayat panjang anda dalam dunia pendidikan; sebuah riwayat panjang yang telah menguras kantong dan memelintir keringat orang tua. Sebuah riwayat panjang yang belum tentu akan berujung pada kesuksesan.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home