menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Tuesday, June 06, 2006

Ketika Pengetahuan dan Kekuasaan Bersetubuh…

26 Februari 2005. Rakyat yang sedang terancam oleh rencana pemerintah yang akan menaikkan BBM tiba-tiba tersentak oleh sebuah iklan yang diluncurkan oleh Freedom Institute bersama para intelektual yang tersohor di negeri ini. Nama-nama masyhur seperti Goenawan Mohammad, Hamid Basyaib, Franz Magnis-Suseno, M. Chatib Bisri, Todung Mulya Lubis dan Ulil Abshar-Abdalla adalah sebagian dari 36 intelektual yang menopang iklan bertajuk “Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM”. Kontroversi iklan layanan masyarakat ini semakin memanas ketika AA Gym turut pula memberikan legitimasi relijius atas kenaikan BBM sembari meminta rakyat agar bersabar atas krisis ekonomi yang sedang terjadi. Beberapa kalangan intelektual dan aktivis gerakan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh sejumlah intelektual plus agamawan tersebut tak lain menunjukkan sikap yang tidak memiliki kepedulian terhadap penderitaan rakyat.

Jika ditarik dalam pembicaraan yang lebih luas, maka iklan layanan dan keterlibatan intelektual (apalagi didukung oleh riset ekonomi dari FE UI) tersebut menunjukkan bahwa ilmu (dan ilmuwan) pada dasarnya bukanlah entitas yang selalu netral, melulu obyektif, dan tak punya kepentingan. Di balik klaim ilmiah, maupun legitimasi religius, pada dasarnya terdapat selubung kepentingan. Dalam kasus iklan tersebut, para intelektual dan agamawan itu tentu saja bukannya tak menyadari bahwa kenaikan BBM pada dasarnya adalah sebuah politik ekonomi yang culas. Dilandasi oleh keinginan negara untuk memperoleh rente dan surplus ekonomi yang besar di satu sisi, serta keinginan rejim pasar untuk melakukan invansi melalui pemaksaan liberalisasi perdagangan migas di sisi lain, maka korban terbesar dari kebijakan tolol ini adalah rakyat miskin. Tetapi ironisnya, kelas menengah di Indonesia, ditempa oleh pengalaman yang selalu menetek pada rejim kekuasan, alih-alih membela rakyat miskin justru memurukkan rakyat miskin dalam jurang yang kian dalam.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Mazhab Frankfurt, utamanya oleh Habermas, salah satu fenomena dalam kapitalisme monopolis adalah semakin teguhnya kekuasaan ilmu pengetahuan yang menjadi alat legitimasi bagi kepentingan kapitalisme. Sejumlah intelektual kritis semisal Juergen Habermas, Michel Foucault, dan Edward Said menunjukkan bahwa kuasa pengetahuan di balik panji-panji positivisme yang mengagungkan paham obyektifitas, bebas nilai, dan bebas kepentingan, ilmu pengetahuan menjadi rejim kebenaran dengan berjalan di atas dua fungsi. Pertama, melanggengkan status quo dengan memberikannya postulat-postulat ilmiah yang palsu dan tak bertanggungjawab. Kedua, pengetahuan kemudian berkembang menjadi rejim kebenaran yang berfungsi untuk membangun definisi, kategori, dan pada akhirnya imperialisasi. Dalam konteks ini, maka pengetahuan, dalam segala manfestasinya, harus dicurigai sebagai memiliki kepentingan terselubung.

Berawal dari kegusaran itu, buku Matinya Ilmu Komunikasi (Resist Book: 2006) yang ditulis oleh Guntur St. Narwaya, seorang aktivis yang juga menekuni dunia akademis ini, memaparkan bagaimana ilmu pengetahuan diam-diam memberi legitimasi atas suatu kekuasaan tertentu, sekaligus bagaimana pertelingkahan ilmu komunikasi dalam jeratan paradigma positivisme. Guntur menjelaskan bahwa ilmu komunikasi yang berkembang di Indonesia sangat diwarnai oleh paradigma positivisme yang mengikuti alur ilmu komunikasi yang berkembang di Amerika Serikat. Karena itu, ilmu komunikasi ini cenderung membutakan diri pada selubung kepentingan. Dengan jatuh hanya pada persoalan teknis, maka ilmu komunikasi yang berparadigma positivisme ini hanya melayani kepentingan negara dan pasar. Ilmu pengetahuan dengan jenis ini, tidak pernah merobek selongsong kepentingan yang mengendap dalam negara dan pasar.

***
Selain berusaha membongkar relasi kuasa pengetahuan dalam ilmu komunikasi, buku Guntur ini berusaha mengajukan solusi alternatif, yaitu tradisi ilmu sosial kritis yang banyak diilhami oleh gagasan Mazhab Frankfurt. Dengan tradisi ilmu sosial kritis ini, maka diharapkan ilmu komunikasi tidak lagi menjadi batu alas bagi kepentingan kapitalisme, tetapi justru merobek selongsong kepentingan yang menghinggapi kapitalisme, dan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pada akhirnya, karya ini menjadi menarik karena memantik suatu kesimpulan bahwa rejim kekuasaan pada dasarnya bukan hanya dalam manifestasi kekuasaan negara atau pasar. Tetapi, terdapat gugus kekuasaan yang justru berjalan diam-diam dan disebarkan melalui surat kabar, bangku kuliah, ceramah agama, maupun kutbah-kutbah kenegaraan. Kekuasaan ini berbentuk ilmu pengetahuan (Mazhab Frankfurt) dan rejim wacana (Michel Foucault). Dengan buku ini, kita disadarkan pada kenyataan bahwa kekuasaan kini tidak lagi berwajah tunggal. Kekuasaan ilmu pengetahuan dan rejim wacana, sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku para intelektual-artis di atas, justru menjadi kekuasan yang tak kalah membahayakannya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home