menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Saturday, August 05, 2006

Demokrasi Bumi---wawancara Vandana Shiva

Demokrasi Bumi – wawancara dengan Vandana Shiva oleh Sarah Ruth van Gelder

Vandana Shiva adalah seorang ahli ilmu fisika dan pertanian organik, seorang penganjur gerakan “pemeluk pohon” yang terkenal di India, dan seorang penulis yang termasyhur. Dia banyak berbicara tentang bahaya globalisasi, sembari turut memobilisasi sejumlah warga masyarakat untuk menuntut hak-hak kehidupan bagi mereka.

Sarah Ruth van Gelder: Ceritakan pada kami tentang Gerakan Demokasi Bumi. Darimana gagasan itu bermula, dan apa bentuk yang diambil oleh gerakan itu?
Vandana Shiva: Gagasan demokrasi bumi berasal dari salah satu pemikiran India kuno. Gagasan ini mirip seperti yang dikatakan oleh Ketua Seattle tentang jaringan di bumi, di India kita menyebutnya vasudhaiva kutumbkam, yang berarti keluarga bumi. Kosmologi orang India tak pernah memisahkan manusia dari non-manusia—Kami merupakan rangkaian kesatuan. Ketika isu tentang pematenan kehidupan muncul, misalnya, ada dua bentuk respon dari mereka yang menolak praktek pematenan tersebut di India. Level pertama berupa perlawanan: “Pematenan ini adalah tindakan amoral. Hidup bukanlah sebuah ciptaan. Kehidupan tidak boleh dimonopoli. Kalian tak bisa menjual kepada kami bahan-bahan yang juga kalian curi dari sisi kami, dan kalian tak dapat memberi kepada kami sejumlah royalti untuk produk-produk kearifan alam kami.” Level kedua adalah merebut-kembali demokrasi: rakyat merebut hak-hak untuk menjaga biodiversitas dan menggunakannya secara berkelanjutan. Ini merupakan hasil dari diskusi di kalangan gerakan yang sedang kita bangun di level akar-rumput. Saya teringat kepada sebuah pertemuan 200 penduduk desa yang terlibat dalam menyimpan dan membagi benih dengan Navdanya, sebuah perserikatan yang saya dirikan untuk menyimpan benih dan mempromosikan pertanian organik. 200 penduduk desa ini berkumpul pada Hari Lingkungan Hidup pada tahun 1998 dan mendeklarasikan kedaulatan terhadap biodiversitas mereka—bukan kedaulatan untuk memperkosa dan merusak, tetapi kedaulatan untuk mengkonservasi alam. 200 penduduk desa ini, bertemu di sebuah pedesaan di pegunungan tinggi dekat anak sungai Gangga, mereka berseru, “Kami telah memperoleh tumbuh-tumbuhan obat, benih-benih, hutan-hutan dari alam melalui nenek moyang kami; kami berhutang kepada alam untuk memeliharanya demi masa depan. Kami berjanji kami tidak akan pernah membiarkan erosi pencurian terhadap alam. Kami berjanji kami tidak akan pernah menerima pematenan, modifikasi genetis, atau membiarkan biodiversitas kami dicemari dalam segala bentuknya, dan kami berjanji bahwa kami akan berlaku sebagai manusia-manusia dalam biodiversitas tersebut.” Diskusi di desa-desa seluruh India ini, dengan beragam bahasa, berujung pada aksi yang memukau. Beberapa kelompok menulis surat kepada Mike Moore, direktur jenderal WTO dengan mengatakan, “Kami perhatikan anda telah meloloskan sebuah hukum yang bernama ‘Trade-Related Intellectual Property Rights.’ Kami juga perhatikan bahwa di bawah undang-undang ini anda ingin memonopoli seluruh kehidupan. Sayangnya, sumber-sumber daya ini berada di luar wilayah hukum anda, dan anda telah bertindak melampaui batas.” Surat serupa disampaikan kepada Perdana Menteri India: “Anda adalah Perdana menteri di negeri ini, tetapi kamilah penjaga biodiversitas. Ini bukan wilayah hukum ada. Anda tak bisa menjual kekayaan alam ini. Kekayaan alam ini bukan milik anda. Kami tak pernah memberikan mandat kepada anda.” Tetapi salah satu surat yang terindah ditulis-tangan di bawah pohon-pohon pedesaan dan dikirimkan kepada Ricetec, Inc., yang mematenkan beras Basmati, dan kepada Grace Corporation, yang mematenkan namanya. Surat itu berbunyi, “Kami telah menggunakan Basmati selama berabad-abad. ... Sekarang kami dengar kalian telah mematenkannya, dan kalian mengklaim telah menciptakannya. Ini adalah pembajakan dan pencurian di depan mata kami. Ada orang yang mencuri di desa kami, dan kami memperlakukan mereka dengan penuh pengertian. Kami memanggil mereka dan bertanya pada mereka untuk menjelaskan masalah apa yang membuat mereka mencuri. Jadi kami juga ingin mengundang kalian ke desa kami dan menjelaskan kepada kami masalah apa yang membuat kalian mencuri.” Komunitas-komunitas ini dalam beberapa tahun yang lalu telah mulai dengan menyimpan benih-benih tanaman lokal dan memelihara biodiversitas. Sekarang mereka mencoba untuk melakukan swa-kelola terhadap sistem pangan, sistem air, dan sistem biodiversitas. Jika anda melihat fakta bahwa korporasi globalisasi adalah berkaitan dengan privatisasi agresif terhadap air, biodiversitas, dan sistem pangan di Bumi, maka ketika komunitas-komunitas ini mendeklarasikan kedaulatan dan bertindak atas kedaulatan itu, berarti mereka telah membangun sebuah respon yang tangguh terhadap globalisasi. Demokrasi hidup adalah demokrasi yang memelihara kekayaan kehidupan dimana manusia bergantung terhadapnya.

Sarah: Apakah terdapat bahasa yang sama yang digunakan dimana-mana untuk melawan globalisasi korporasi itu?
Vandana: Ada, saya kira, kebangkitan kembali sebuah pemikiran yang berporos pada perlindungan terhadap kehidupan, merayakan kehidupan, menikmati kehidupan baik sebagai kewajiban tertinggi kita, maupun sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan dan kebrutalan sistem yang mengglobal yang tidak hanya berupa perdagangan, tetapi juga berupa fasisme, yang mengingkari kemerdekaan sipil dan kebebasan. Tidak ada satu bahasa yang terkoordinasi dalam gerakan ini, dan justru itulah indahnya gerakan ini. Peristiwa WTO di Seattle memberikan pengalaman pertama bagi politik pelangi ini—sebuah politik pluralistik yang sukses, tanpa adanya penggagas utama (master mind), tetapi berasal dari kebebasan berfikir. Dalam era politik baru, orang memiliki beragam cara untuk berbicara, tapi saya kira intinya adalah demokrasi kehidupan dan ekonomi kehidupan, dan hal itu mencakup baik tanggung jawab personal untuk melakukan perubahan maupun menjadi bagian dari gerakan perubahan dalam skala nasional dan internasional.

Sarah: Anda telah menulis empat tipe ketidakamanan— ekologi, ekonomi, budaya, dan politik—dan bagaimana masing-masing ketidakamanan itu menghasilkan kekerasan. Bisakah anda menyampaikan sesuatu tentang mengapa anda menganggap empat tipe itu sebagai bentuk dari ketidakamanan?
Vandana: Krisis ekologi merupakan bentuk yang paling keras dari ketidakamanan, utamanya dalam kondisi kemiskinan ketika sungai-sungai tercemari dan kau tak dapat meminum air bersih, ketika sumber mataair telah tandus dan kau terpaksa bermigrasi. Tidak pernah ada ketidakamanan yang lebih dahsyat kecuali krisis ekologi. Berbagai konflik yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga sangat berhubungan dengan praktik mengeksploitasi sumberdaya yang lebih cepat daripada yang bisa diperbaharui oleh alam atau praktik menyingkirkan sumberdaya alam dari masyarakat yang membutuhkannya. Di berbagai masyarakat, bendungan air telah menjadi sumber konflik yang utama. Ketika kelangkaan air menjelang, tetangga atau keluarga berbalik saling menyerang satu sama lain.

Sarah: Banyak orang mengira bahwa kelangkaan sudah menjadi bagian dari hidup manusia dan kelangkaan tersebut berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Vandana: Selama 25 tahun saya bekerja untuk isu-isu sumberdaya alam dan lingkungan, satu hal yang telah saya pelajari adalah bahwa bagian tertentu dalam planet ini saling menganugerahi satu sama lain dengan berbagai cara. Mungkin hanya terdapat sedikit curah hujan di padang pasir Rajasthan, tetapi budaya Rajasthan berkembang untuk mengatur sejumlah curah hujan itu, dan mereka telah mengembangkan teknologi yang menakjubkan untuk memanen dan menyimpan. Budaya Rajasthan memiliki sistem penyimpanan bawah tanah yang canggih dan sistem penyimpanan air yang membuat air hujan yang jatuh tidak terbuang sia-sia. Teknologi ini mampu menopang kota-kota semacam Jodhpur dan Jaipur. Mereka memiliki air minum yang cukup karena mereka telah mengembangkan budaya konservasi, dan mereka menanami tanaman yang tidak membutuhkan banyak air. Ketika anda berfikir bahwa padang pasir Rajasthan harus ditanami padi atau kapas, maka anda akan menciptakan kelangkaan. Kelangkaan bukan merupakan hasil dari anugerah yang tak merata—itulah diversitas. Kelangkaan merupakan hasil salah-urus antara kebudayaan dan pemberian alam. Kebudayaan telah mengembangkan diversitas kultural untuk meniru diversitas biologis dari iklim dan ekosistem. Maka ketika hubungan itu disalahi maka anda akan mendapati pertumbuhan populasi yang tak berkelanjutan. Tidak ada masyarakat di mana seperti yang anda sebut ledakan penduduk sejauh masyarakat tersebut telah hidup dalam konteks hak-hak mereka pada sumberdaya alam dan kemampuan untuk mengkonservasi sumberdaya alam bagi masa depan. Lihatlah pada dua situasi. Di Inggris, ledakan populasi bermula dengan penyingkiran terhadap masyarakat umum—ketika para petani disingkirkan dari tanahnya dan harus bergantung pada menjual tenaga kerja mereka. Di India, tahun 1800 batas air merupakan sarana konsolidasi bagi rejim kolonial. Selama berabad-abad sebelum 1800 penduduk kita stabil. Ketika anda bergantung pada tanah, anda tahu terdapat lima orang yang bisa disokong. Anda bekerja untuk masyarakatmu sehingga bisa mendapatkan lima. Ketika anda menjual tenaga kerjamu dengan dasar yang tidak menentu, dengan gaji pasar yang tidak stabil, anda tahu bahwa mendapatkan 10 adalah lebih baik daripada hanya memperoleh lima. Jadi tercerabutnya hak milik dalam kekayaan alam Bumi merupakan akar dari dari instabilitas dan pertumbuhan penduduk.

Sarah: Jadi ketidakamanan ekonomi pada dasarnya diciptakan (bukan alami)?
Vandana: Alih-alih benih-benih itu berada di tangan petani yang membantu perkembangan mereka dalam hubungannya dengan alam, benih-benih malah menjadi monopoli di tangan lima atau enam koorporasi global. Alih-alih dimiliki oleh jutaan komunitas lokal, air malah dikuasai oleh lima atau enam raksasa air global. Inilah resep yang digunakan oleh sistem ekonomi global untuk mencuri dasar-dasar kebutuhan hidup pada mayoritas rakyat. 80 persen mereka yang tercerabut dari kekayaan alam jatuh dalam ketidakamanan ekonomi, karena kehidupan mereka sebagai petani, sebagai nelayan, sebagai petani, sebagai suku, sebagai penghuni hutan, semuanya bergantung pada kepemilikan terhadap perikanan, tanah, hutan, untuk tetap bertahan hidup. Ketika hak-hak tersebut dirampas, mereka menjadi orang-orang yang terlantar—mereka menjadi orang yang terbuang. Model ekonomi globalisasi ini berpijak pada asumsi bahwa kemurahan hati 20 persen oranglah yang akan menjamin keamanan sebagai hasil dari kebijakan ini. Tetapi beberapa peristiwa terbaru di Wall Street menunjukkan pada kita bahwa model ekonomi ini justru menciptakan ketidakamanan ekonomi baik bagi 80 persen manusia yang bersandar pada kekayaan alam maupun bagi 20 persen manusia yang bersandar pada kekayaan vitual, sebab uang virtual adalah hasil konstruksi, dan hasil konstruksi itu bisa hilang dengan mudah sebagaimana ia muncul dengan mudah pula. Ketidakamanan ekonomi merupakan warisan dari model ekonomi yang dikendalikan oleh finansial, ekonomi-yang-dikendalikan-modal, dan ekonomi-yang-dikendalikan-korporasi yang menghancurkan modal kekayaan alam kita dan menghancurkan daya kenyal ekonomi lokal kita.

Sarah: Tipe ketiga ketidakamanan berupa ketidakamanan kultural. Anda pernah menyangkut-pautkan hubungan antara globalisasi dan munculnya kekerasan nasionalis dan represi sayap kanan. Bukti-bukti semacam apa yang telah anda lihat bahwa di antara hal-hal tersebut memang terdapat sebuah hubungan?
Vandana: Baiklah, saya seorang ahli fisika, bukan ilmuwan sosial. Tetapi sebagai warga negara India, saya telah mengalami kekerasan dan kebrutalan yang diakibatkan oleh munculnya fundamentalisme, dan saya bertanya kepada diri saya sendiri bagaimana mungkin sebuah masyarakat yang merupakan tempat lahirnya kedamaian, tanah kelahiran Gandhi dan Buddha, bisa merosot menjadi salah satu masyarakat yang paling rapuh di dunia. Salah satu insiden yang memberi kontribusi kepada pemahaman saya tentang hubungan-hubungan tersebut adalah kekerasan yang meledak di Punjab pada tahun 1980an. Ketika keajaiban Revolusi Hijau mulai melenyap, ketika subsidi mulai dicabut dan sistem kemakmuran artifisial mulai runtuh, Punjab menjadi tempat lahirnya kemarahan dan ketidakpuasan. Ketika anda menyaksikan mengapa orang-orang berkelahi, anda akan mendapati bahwa mereka berkelahi untuk sungai-sungai, untuk harga yang adil, untuk berteriak ketika dam air mulai diruntuhkan. Tidak satu pun dari segala hal ini yang diputuskan secara regional atau lokal—semuanya diputuskan dari ibukota, Delhi. Jadi ketidakpuasan ini berbentuk perlawanan terhadap rejim sentralistik dimana rakyat tidak mendapatkan bagian untuk menentukan masa depannya. Akhir-akhir ini terdapat indikator-indikator yang jelas tentang bagaimana fundamentalisme tumbuh berkecambah dalam ketidakamanan ekonomi yang ditimbulkan oleh globalisasi. Mari saya beri dua contoh. Pada akhir tahun 1990an, dikarenakan tekanan globalisasi, harga bawang naik dari 2 rupee menjadi 100 rupee. Partai berkuasa kalah oleh apa yang kemudian terkenal dengan sebutan “pemilihan umum bawang” pada tahun 1998 karena mereka mengijinkan kenaikan harga bawang. Partai-partai oposisi menggunakan bawang sebagai simbol perjuangan mereka terhadap globalisasi, dan mereka menang di berbagai negara bagian. Sontak setelah itu kita menyaksikan serangkaian kekerasan kaum fundamentalis. Di Gujarat, kami memiliki seperangkat pemilihan umum regional, dan WTO, pertanian, serta kelangsungan hidup para petani menjadi isu-isu utamanya. Para petani mengatakan bahwa mereka dihancurkan oleh sejumlah kebijakan globalisasi, dan mereka memilih agar kelas berkuasa keluar dari kekuasaan. Dan segera saja setelah itu kaum fundamentalis bangkit, pembantaian dan hasutan untuk perang dimulai, dan ketika perhatian publik terfokus pada kekerasan, agenda globalisasi meluncur dengan mulus. Ketika pembuatan keputusan tersentralisasi dari komunitas lokal kepada pemerintahan nasional—dan utamanya pada ruang dewan-dewan korporasi, pasar saham, institusi seperti World Bank, IMF, and WTO—demokrasi perwakilan akan kehilangan basis demokrasi ekonomi. Ketika pemerintahan lokal dan nasional kehilangan kontrol atas sumberdaya ekonomi dan prioritasnya, para pemimpin yang terpilih tak lagi bisa membangun sebuah basis politik dengan memenangkan program-program yang responsif terhadap kebutuhan keluarga dan komunitas. Para demagog politik Kanan Jauh bangkit untuk mengisi kekosongan dengan saluran kemarahan dan ketidakamanan yang diciptakan oleh program-program kekuasaan seperti kelangkaan, ketidakadilan, dan penggusuran ke dalam bentuk politik kita-melawan-mereka yang mempersalahkan sebagian bangsa, ras, budaya, atau kelompok agama. Kemunculan LePens in di Perancis, Fortuyns di Belanda, Haiders di Austria, dan Narendra Modis di India adalah hasilnya. Jadi afinitas yang kuat antara kekuatan kekuasaan dan politik kebencian yang menjustifikasi kebijakan-kebijakan dominasi dan penggusuran. Jadi sepanjang perhatian rakyat terfokus pada ketakutan dan kebencian terhadap orang asing atau anggota kelompok keagamaan tertentu, Muslim misalnya, mereka mengalihkan dari mengorganisir kepada persetujuan terhadap sistem dominasi dan eksploitasi yang institusional yang merupakan sumber utama dari ketidakamanan ini.

Sarah: Itu kedengarannya seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat juga.
Vandana: Tepat sekali. Itu adalah siklus yang keji, dan kita sesungguhnya perlu menciptakan siklus luhur yang memungkinkan demokrasi ekonomi untuk menopang demokrasi politik, identitas kultural, dan diversitas kultural. Karena itu, kita harus kembali memperkuat demokrasi. Apa yang kita punya saat ini adalah demokrasi yang direduksi menjadi aturan kebohongan—kebohongan dimana kehendak rakyat disalahi, sebagaimana kita lihat di Florida pada tahun 2000, dan kebohongan dimana uang milik rakyat dicuri, sebagaimana kita lihat pada skandal-skandal keuangan hari ini. Uang najis itu akan menguntungkan siapa saja yang berkuasa—sekarang semuanya telah rusak! Sistem keamanan pangan kita dihancurkan atas nama petumbuhan ekonomi dan liberalisasi ekonomi, dan rakyat tak memiliki cadangan pangan yang cukup untuk dimakan. Para petani kita diperkosa oleh pabrik-pabrik pembuat benih, dijerat ke dalam hutang-hutang, dan dipaksa bunuh diri. Sistem ini akan meminta korban jiwa bahkan di AS sekalipun, dimana rakyat tidak tahu bagaimana mereka akan membayar untuk kesehatan atau pemecatan. Jalan keluar dari siklus kekerasan ini adalah dengan menguatkan demokrasi—untuk membawa kebijakan yang berhubungan langsung dengan kehidupan rakyat sedekat mungkin ke tempat dimana rakyat berada dan dimana rakyat turut bertanggungjawab atasnya. Jika sebuah sungai mengaliri beberapa komunitas, komunitas-komunitas tersebut harus memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk memutuskan bagaimana air itu digunakan dan bagaimana air dicegah dari polusi. Negara tak punya hak untuk memberikan pada Coca-Cola sumber mata air di sebuah lembah di Kerala, yang membuat tanah pertanian yang mulanya subur menjadi benar-benar kering. Berbagai komunitas ingin meneguhkan kembali kedaulatan dan menyerahkan perwakilan kepada negara hanya sebagai kelayakan.Apa yang kita miliki sekarang adalah sebuah rejim yang memiliki hak absolut di tangan sebagian korporasi dengan tanpa tanggungjawab bagi penghancuran alam dan sosial dan instabilitas politik yang telah mereka ciptakan. Jika kita ingin menghidupkan dan memudakan kembali demokrasi, kita harus membawa kembali persoalan-persoalan ekonomi.

Sarah: Saya akan tutup dengan pertayaan pribadi. Setiap kali saya mendengar anda berbicara atau bertemu dengan anda, anda memiliki begitu banyak energi, bukan hanya energi intelektual, tetapi juga energi personal dan spiritual. Saya begitu kagum, apa yang membuat anda tetap bergairah?
Vandana: Baiklah, hal itu selalu menjadi misteri, karena anda tak tahu mengapa anda bisa terkuras habis atau terisi lagi. Tetapi, ini yang saya ketahui. Saya tak akan membiarkan diri saya sendiri dikuasai oleh keputusasaan, sekeras apa pun situasinya. Saya yakin bahwa jika anda mengerjakan sesuatu yang kecil tanpa memikirkan besarnya sesuatu yang anda lawan, jika anda bersandar pada kekuatan kapasitas anda sendiri, hanya dengan demikian akan menciptakan potensi baru dengan diri anda. Dan saya telah belajar dari Bhagavad Gita dan berbagai ajaran budaya kami untuk menjaga jarak dari hasil yang saya kerjakan, karena hasil-hasil itu belum ada di tangan saya. Konteksnya belum ada di tangan anda, tetapi komitmen ada di tangan anda, dan anda dapat membuat komitmen yang lebih dalam dengan menjaga jarak secara total dari hasil apapun. Anda menginginkan komitmen anda untuk menuju dunia yang lebih baik, dan anda menentukan semua tindakanmu dan mengambil tanggung jawab secara penuh untuk komitmen itu, tetapi kemudian anda harus mengambil jarak. Kombinasi antara hasrat yang mendalam dan mengambil jarak secara mendalam membuat saya selalu mengambil tantangan berikutnya karena saya tidak menentukan diri saya sendiri, saya tidak mengikat diri saya sendiri dalam satu bentuk. Saya berfungsi sebagai makhluk yang bebas. Saya pikir memperoleh kebebasan itu merupakan suatu tugas sosial karena saya kira kita saling berhutang satu sama lain, bukan untuk saling menyusahkan dengan tuntutan-tuntutan. Saya kira apa yang satu sama lain kita perhutangkan adalah sebuah perayaan kehidupan dan menggantikan ketakutan serta keputusasaan dengan keberanian dan kegembiraan.[]

dialihbahasakan oleh Dian Yanuardy

0 Comments:

Post a Comment

<< Home