menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Friday, August 11, 2006

Sosialisme Abad 21: Utopia Keadilan dan Kemanusiaan

Pada sebuah pidato penutupan Forum Sosial Dunia yang diadakan di Venezuela pada 30 Januari 2006, presiden Venezuela Hugo Chavez mengungkapkan satu istilah yang lantas menjadi bahan kontroversi di negerinya: Sosialisme Abad 21. Menurut Chavez, program Revolusi Bolivarian yang dicanangkan di negerinya adalah untuk mendukung visi tersebut. Bagi Chavez, sosialisme abad 21 adalah varian baru sosialisme yang bersimpangan jalan dan bahkan belajar dari pengalaman sosialisme abad 20. Meski belum memiliki perspektif teoretis yang mapan, dalam kata-kata Chavez sendiri, sosialisme abad 21 adalah “sosialisme baru yang berbeda dari sosialisme negara yang diterapkan di Uni Soviet, Eropa Timur atau Kuba hari ini, ia akan menjadi sosialisme yang berwatak pluralistik dan tidak terlalu terpusat pada negara…sosialisme yang berdasar pada prinsip solidaritas, persaudaraan, kasih sayang, keadilan, kebebasan dan persamaan hak”.

Tak hanya pandai berpidato seperti presiden di negeri ini, pemerintahan Chavez secara nyata berusaha mewujudkan sosialisme dengan program Revolusi Bolivarian yang berpihak dan berpijak pada kaum miskin. Di antara berbagai program tersebut di antaranya adalah program land reform—program ini konon juga merupakan janji SBY semasa dia berkampanye dulu—yang memberikan kesempatan bagi kaum miskin untuk menguasai sekian hektar lahan dan merevitalisasi pertanian Venezuela. Selain itu, Chavez juga menasionalisasi beberapa perusahaan strategis. Tak tanggung-tanggung, pemerintahan Chavez juga memiliki serangkaian program kesejahteraan bagi kaum miskin, seperti perumahan, layanan kesehatan dan pendidikan murah, serta KTP murah yang juga berfungsi sebagai kartu untuk jasa layanan sosial lainnya.

Buku karangan Michael Newman, Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif atas Neoliberalisme, (Resist Book: 2006) memang tak ada kaitan langsung dengan gelombang kebangkitan sosialisme di Amerika Latin ataupun Revolusi Bolivarian yang digagas oleh Hugo Chavez. Tetapi, karya Newman menilik lebih dalam dan lebih teoretis ihwal sosialisme: tradisi-tradisinya pemikiranya, aktivisme politiknya, dan termasuk masa depannya di abad 21. Tak pelak, sejak kehancuran sosialisme-komunisme di Uni Soviet dan berkobarnya kapitalisme dalam bentuk mutakhirnya yang paling biadab, kapitalisme neoliberal, sebagai ideologi pemenang tunggal peradaban, membuat seakan sosialisme adalah ideologi reaksioner yang paling ketinggalan jaman. Fenomena ini ditegaskan oleh Fukuyama melalui frasanya yang terkenal: sejarah telah berakhir, kapitalisme dan demokrasi liberal adalah sang pemenang. Bagi para pengritiknya, sosialisme selalu diidentikkan dengan sistem politik yang totaliter, serta sistem ekonomi yang melulu di bawah kontrol dan perencanaan ketat negara. Karena itu, menurut mereka, sosialisme dianggap sebagai ideologi yang sudah menempati liang kubur peradaban. Tak patut untuk bangkit dan dibangkitkan.

Gambaran buram sosialisme yang semacam itu, yang tampaknya menjadi kegelisahan seorang Newman. Dalam buku kecil yang padat dan ketat ini, Newman mencoba membongkar lebih dalam tentang apa itu sosialisme; adakah praktik sosialisme yang lain daripada yang telah dikembangkan oleh Uni Soviet atau China di masa lalu; dan akhirnya apakah sosialisme masih mempunyai masa depan di abad 21; dan apa prasyaratnya.

Ketimbang terjebak pada kubangan pertentangan ideologis di tubuh kaum sosialis sendiri, Newman, yang merupakan profesor politik, lebih menilik secara ilmiah tentang varian-varian sosialisme, baik dalam tradisi pemikirannya maupun praktik politiknya. Dalam semangat semacam ini, maka Newman lebih asyik menyusuri kekayaan dan pluralitas tradisi sosialisme—yang terbentang dari sosialisme utopis, anarkisme, marxisme, hingga sosial demokrasi dan komunisme—daripada membela satu varian sosialisme yang lebih dominan. Dengan melakukan studi lintas tradisi seperti itu, maka Newman berupaya untuk menganalisis secara ilmiah tentang kelemahan dan kemajuan praktik sosialisme, untuk kemudian mengajukan formula sosialisme yang relevan, yang sanggup menantang arus deras kapitalisme neoliberal.

Salah satu medan analisis tentang praktik sosialisme yang diambil dalam studi Newman adalah sosial demokrasi Swedia dan komunisme Kuba. Keduanya dipilih karena, dalam tahap-tahap tertentu, dianggap paling kenyal dalam menghadapi serbuan kapitalisme. Sosial demokrasi Swedia adalah hasil dari pertentangan yang tak terdamaikan antara kubu revisionisme yang dimotori oleh Eduard Bernstein dengan kubu komunisme yang dimotori oleh kubu Bolshevisme Rusia. Berbeda dengan kaum komunis yang lebih memilih jalan revolsui sosial sebagai tonggak untuk mendirikan sosialisme, kubu sosial demokrasi lebih menyukai strategi parlementarianisme dalam alam demokrasi liberal. Sosial demokrasi di Swedia dimotori oleh SAP (Partai Sosial Demokratik Swedia)—sebuah partai yang pada awalnya tunduk pada garis Marxisme sampai kemudian ia lebih memilih ada seruan-seruan revisonisme. Setelah mulai berkuasa pada tahun 1932, di bawah kepemimpinan Par Albin Hansson, SAP mencoba menggagas konsep kunci yang mendasari penerapan sosialisme Swedia. Beberapa konsep kunci tersebut adalah folkhemmet atau ‘negara sebagai rumah masyarakat’. Konsep kunci ini kemudian memiliki lima tema sentral turunan, yaitu demokrasi integratif, sejenis demokrasi yang berupaya untuk memasukkan elemen buruh dan pekerja dalam sistem politik dan ekonomi Swedia. Konsep kedua adalah rumah masyarakat, artinya negara bertindak pada asas kesetaraan perlakuan dan solidaritas sosial. Sedangkan konsep ketiga adalah kesetaraan sosio-ekonomi dan efesiensi ekonomi, yang berkaitan dengan konsep keempat yaitu mengontrol ekonomi pasar secara sosial, dan terakhir adalah ekspansi sektor publik yang didasarkan atas kebebasan pilihan. Meski tidak memiliki akat teori yang ketat, tetapi lima asas tadi setidaknya menjadi panduan bagi bangunan negara kesejahteraan (welfare state) yang diberlakukan oleh Swedia. Walhasil, ada beberapa hasil capaian positif yang dituai. Diantaranya adalah meningkatnya mutu pendidikan sebagai hasil dari diintensifkannya belanja publik, keterlibatan masyarakatnya yang tinggi dalam organisasi sosial, dan kesenjangan upah yang mencapai tingkat minimum.

Sedangkan komunisme Kuba, dalam studi Newman dianggap memiliki kekhasan dibandingkan komunisme yang dijalankan Uni Soviet atau China. Semenjak Fidel Castro merebut kekuasaan Kuba dari tangan rejim Batista yang korup, maka elemen-elemen komunisme di Kuba, dengan bantuan Uni Soviet saat itu, mulai ditegakkan. Serangkaian kebijakan revolusioner mulai diterapkan, diantaranya adalah reforma agraria radikal, pajak progresif untuk menyokong ekonomi nasional dibanding bersandar pada investasi asing, menyokong ekonomi rakyat dan pembangunan di provinsi-provinsi kecil, serta kontrol atas ekspor dan perdagangan luar negeri. Ketika terjadi konflik dengan AS—sebagai akibat dari pertentangan AS pada revolusi Kuba—pada tahun 1961, Castro semakin mengubah haluan revolusinya menjadi revolusi yang berwatak sosialis. Mulai saat itu, berbagai kebijakan yang lebih berorientasi pada orang miskin—sebelum revolusi, Kuba adalah negara yang kaya, tetapi dengan tingkat kesenjangan sosial dan kemiskinan yang tinggi—dijalankan oleh rejim ini. Program pendidikan dan kesehatan adalah dua hal yang paling mengesankan yang dicapai oleh komunisme Kuba. Di bawah pemerintahan Castro, Kuba adalah negara yang memiliki fasilitas kesehatan dan jumlah dokter yang terbaik di Amerika Latin. Prestasi ini ditambah dengan adanya pemerataan program kesehatan tersebut, baik di kota maupun di pelosok desa, secara gratis. Karena itu, Kuba juga mencapai tingkat harapan hidup yang semakin meningkat. Sedangkan di bidang pendidikan, prestasi cemerlang juga ditorehkan oleh pemerintahan Castro, dimana semua level pendidikan, dari pendidikan dasar hingga tinggi, gratis dan ditanggung oleh negara. Beberapa prestasi ini semakin mengkilap dengan menurunnya tingkat kesenjangan ras, dan meningkatnya partisipasi gender.

Meski demikian, seiring dengan serbuan kapitalisme pasar bebas yang mengguncangkan sendi-sendi perekonomian nasional di kedua negara tersebut, pencapaian sosial itu mulai menuai ancaman. Bahkan dalam beberapa hal, Kuba mulai mengakomodasi prinsip-prinsip terbatas kapitalisme. Sementara itu, tradisi pemikiran sosialis juga semakin diperkaya dengan kehadiran pemikiran Kiri Baru, feminisme sosialis, dan sosialisme hijau. Berbagai varian sosialisme ini hadir sebagai jawaban atas totalitarianisme komunis dan monopoli kapitalisme yang semakin meminggirkan peran perempuan, mengancam kelangsungan ekologis.

Setelah melakukan evaluasi atas pelbagai praktik dan pemikiran sosialisme, buku Newman ini diakhiri dengan mencoba mengajukan beberapa elemen-elemen dasar bagi terbangunnya sosialisme abad 21. Menurutnya, dari beberapa praktik sosialisme tersebut terdapat beberapa pelajaran yang bisa diambil oleh kaum sosialis. Pertama, sosialisme abad 21, adalah sosialisme yang berwatak demokratis, baik dalam organisasi maupun intitusinya. Dalam makna yang lebih luas, gerakan kaum sosialis yang seringkali terfragmentasi, harus belajar untuk mendirikan sebuah front demokratis dan partisipatoris. Kedua, kaum sosialis harus berupaya mengambangkan sebuah model ekonomi alternatif yang berkesinambungan. Pengalaman di Swedia dan Kuba mengajarkan bahwa pencapaian kemajuan sosial akan mudah goyah jika prestasi ekonomi juga menurun. Karena itu, solidaritas antar negara sosialis untuk melakukan perdagangan internasional atas dasar saling melengkapi (daripada kompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerjasama (daripada eksploitasi), dan penghormatan kedaulatan rakyat (daripada kekuasaan korporasi), menjadi dasar-dasar yang penting bagi pembangunan sosialisme di abad ini. Ketiga, sosialisme abad 21 harus berupaya untuk memberikan jawaban kongkrit atas berbagai masalah yang ditimbulkan oleh monopoli kapitalisme yang merangsek ke dalam semua bidang kehidupan. Karena itu, dibanding harus berawatak ideologis-totalistik, sosialisme abad ini harus berani untuk memecah doktrin-doktrin Marxisme dan mengkombinasikannya dengan elemen-elemen lain yang progresif. Dan terakhir, keempat, sosialisme di abad ini harus secara serius mengembangkan proyek utopia kemanusiaan bahwa ada jalan lain di luar kapitalisme neoliberal. Proyek utopia ini menjadi semakin penting, sebab janji-janji profetis kapitalisme atas dunia mulai menguap, sementara krisis kapitalisme mulai menjelang di ufuk peradaban.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home