menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Wednesday, October 04, 2006

Indonesia Tidak Merdeka!!

Mengenang Sritua Arief

Di penghujung akhir tahun 2002, saat matahari senja merayap pulang, Sritua Arief menghembuskan nafas yang terakhir. Tak semua orang mengenal kisah hidup atau gagasannya. Ia bukan ilmuwan atau ekonom yang duduk di kursi kekuasaan, lalu berlagak selebriti. Nama besarnya ditempa dan diukir di kerasnya lapangan gerakan sosial. Sritua Arief bukan intelektual yang menyukai duduk di menara gading dunia akademis. Ia hidup di jalan rakyat. Sebab di matanya, rakyat, sang pemilik sah negeri ini, kerapkali dicurangi, ditindas dan dikhianati. Karena itu, ilmu ekonomi yang dimilikinya tak hendak dipakainya untuk mengakali dan membanditi rakyat. Ketika sebagian besar ekonom menyokong kekuasaan Orde Baru, Sritua justru bergerak ke ‘pinggir’. Di Semarang, misalnya, ia lebih suka untuk bergelut dan membangun pemukiman kaum kumuh (nelayan, buruh dan pemungut sampah), sembari menata sistem ekonomi mereka.

Sritua hendak menempatkan kembali rakyat sebagai subyek aktifitas ekonomi di negeri ini. Karena itulah gagasan ekonominya dijuluki sebagai ekonomi kerakyatan. Ia percaya bukan korporasi atau negara yang seharusnya menjadi penguasa dari praktek ekonomi, melainkan rakyat. Sayangnya, hingga kini rakyat menempati stratum terbawah dari struktur ekonomi-politik di negeri ini. Rakyat menjadi budak di negerinya sendiri. Mereka hidup bergantung di sektor pertanian, perdagangan kecil dan sektor informal, yang celakanya justru tidak menjadi bagian terpenting dalam kebijakan ekonomi di negeri ini. Dengan lugas, ia berseru: “ekonomi rakyat dalam bahaya”, tersisih dan terpinggir. Sritua lantas menata teorinya agar berpihak pada daulat rakyat.

Ketika Orde Baru berkuasa dan menganut jalan ekonomi neoklasik (neoliberal) yang digawangi oleh sekelompok ekonom yang berjuluk Mafia Berkeley, Sritua justru mengajukan gagasan strukturalis dan dependensia yang diperoleh inspirasinya dari kajian Bung Hatta atau tulisan Tan Malaka. Meski suaranya dilindas oleh kekuasaan, tetapi sebagian besar gagasannya justru menyala di kalangan anak muda dan para aktivis yang kelak berhasil menjungkalkan kekuasaan tiran Orde Baru. Seturut frasa Bjorn Hettne, Sritua adalah sosok intelektual yang berupaya memutus mata rantai imperialisme intelektual di Dunia Ketiga.

Gagasannya mulai bergema pada pada tahun 1980-an, ketika berkah dari ledakan minyak (oil boom) menjelang berakhir, dan Orde Baru mulai membuka pintu liberalisasi. Dari sinilah membanjirnya hutang luar negeri, investasi asing, dan anjuran-anjuran liberalisasi pasar dari World Bank dan IMF mulai dituai oleh Orde Baru. Jika sebagian besar ekonom liberal di negeri ini mengamini kebijakan Soeharto, tidak demikian dengan sang ekonom rakyat: Sritua Arief. Ia mencela liberalisasi ekonomi dan campur tangan World Bank dan IMF dalam menentukan kebijakan ekonomi di negeri ini. Bagi Sritua, jika liberalisasi dijalankan maka negeri ini akan kembali terperangkap dalam jerat neokolonialisme.

Modus neokolonialisme ekonomi ini dapat dirujuk melalui defisit pembiayaan yang dialami oleh Indonesia. Defisit ini terjadi karena adanya repatriasi keuntungan yang terjadi akibat investasi asing dan hutang luar negeri. Dua aspek inilah yang menyebabkan Indonesia merupakan replika dari negeri yang masih terjajah. Hutang luar negeri dianggap penjajahan gaya baru karena ia selalu melahirkan ketergantungan, dan kemiskinan akibat bunga hutang yang mencekik dan berbagai akibat sampingannya seperti: program penyesuaian struktural dan penyelewengan rezim. Dan celakanya, di negeri ini hutang luar negeri justru dipakai untuk menyantuni kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh konglomerat besar, daripada untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Sementara investasi asing digolongkan sebagai imperialisme baru, karena dalam kata-katanya yang terkenal “Setiap US$1 investasi asing yang masuk diikuti dengan US$10,19 financial resources yang keluar. Sebab utama kenapa ini terjadi antara lain adalah tingginya komponen sumber-sumber keuangan di dalam negeri yang digunakan untuk membiayai investasi asing”.

Tak hanya karena jeratan hutang luar negeri dan investasi asing, Sritua juga menyebut bahwa bangsa ini sesungguhnya belum benar-benar merdeka. Ini terjadi karena struktur ekonomi-politik yang ada di negeri merupakan strukur ekonomi yang eksploitatif dan timpang. Struktur ini terbentuk dari strukturasi atas dua hal sekaligus: warisan kolonialisme Belanda dan watak kapitalisme di Indonesia. Menurut Sritua, watak kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme rampok, dimana kelas menengah pengusaha dan penguasanya mewarisi modus ekonomi kaum kolonial, yakni memburu rente ekonomi. Secara substansial Sritua Arief tidak melihat ada perubahan dalam struktur dan sifat interaksi ekonomi sejak jaman kolonial. Hanya aktornya saja yang berubah. Meski sudah merdeka secara politik sejak tahun 1945, model struktur dan sifat interaksi ekonomi tetap tak berubah, selalu meminggirkan kaum miskin dan rakyat kecil. Maka tak salah ketika ia menyebut bahwa keadaan negeri ini di saat ini adalah replika dari Indonesia yang masih terjajah pada jaman kolonial dulu.

Agar ekonomi rakyat bangkit, dan tak lagi dihisap oleh kapitalisme rampok, Sritua berulangkali mengulangi pesan Bung Karno dan Bung Hatta yang selalu meneriakkan perlunya mengoreksi kembali struktur ekonomi politik di dalam negeri yang timpang. Perjuangan Indonesia, seturut Soekarno dan Hatta, adalah perjuangan yang memiliki dua mata pisau sekaligus: keluar, untuk meruntuhkan imperialisme Belanda; ke dalam: untuk mengoreksi struktur sosial dan ekonomi yang timpang. Sayangnya, hanya misi pertama yang berhasil dilakukan. Sementara misi kedua gagal karena berulangkali diinterupsi oleh berbagai kejadian, seperti G30S dan tumbangnya Orde Lama. Hasrat untuk mengoreksi struktur sosial dan ekonomi yang timpang dan eksploitatif semakin suram ketika Orde Baru lahir. Orde Baru justru melanjutkan sistem ekonomi yang kapitalistik, yang menjiplak pola kolonialisme, dan dengan demikian semakin memperparah kesenjangan dan eksploitasi ekonomi rakyat. Gagasan ekonomi rakyat lalu tumbang dalam lipatan sejarah Orde Baru yang kapitalistik dan otoriter.

Untuk membebaskan ekonomi rakyat dari kuasa kapitalisme neoliberal, menurut Sritua, setidaknya dibutuhkan tiga macam pergerakan. Pertama, pergerakan untuk melakukan rekonstruksi struktur kekuasaan ekonomi-politik. Perjuangan semacam ini adalah perjuangan politik, dimana segenap rakyat dan kalangan kelas menengah progresif perlu untuk merebut kekuasaan politik dan mentransformasikan strukturnya menjadi struktur ekonomi-politik yang tak lagi menindas dan eksploitatif. Kedua, perjuangan untuk merubah sikap mental para pemegang kekuasaan yang baru tersebut untuk tetap berkomitmen pada perilaku anti imperialisme, anti feodalisme, anti KKN, dan menjunjung keadilan sosial. Ketiga, perjuangan untuk merubah sikap mental rakyat agar tidak mau lagi membebek pada kekuasaan. Merubah sikap mental rakyat, agar berani mendobrak struktur-struktur sosial yang menghalangi kemajuan ekonomi mereka. Dengan model perjuangan semacam ini, Sritua yakin jika ekonomi rakyat takkan lagi menjadi paria, dan yang terpenting lagi, juga akan menghindarkan bangsa ini untuk kembali menjadi bangsa kuli (natie van coolie), bangsa miskin yang selalu terjajah.

***

Sudah hampir empat tahun Sritua Arief meninggalkan kita. Analisisnya tentang masa depan ekonomi di negeri ini, sebagian besar menemukan relevansinya. Hutang luar negeri yang kian menumpuk dan membebani bangsa ini; investasi asing dan konglomerasi juga menimbulkan kensenjangan dan kerusakan ekologis yang susah dipulihkan; nasib ekonomi rakyat yang diperankan oleh para petani, buruh, dan pedagang kaki lima, kian terhimpit dan terlindas oleh ganasnya pembangunan mall-mall megah. Karena itu, karya-karyanya masih layak untuk dibaca. Tulisan-tulisannya yang bernas dan gemilang adalah senjata ideologis yang revolusioner bagi rakyat jelata serta aktivis pergerakan untuk menolak sistem ekonomi-politik yang telah berpuluh-puluh tahun menindasnya.[]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home