menulis dan merenung: sebuah 'momen katarsis'. Saat kembara berada di sisi kiri. Menyibak dunia ramai, mencari celah bagi hidup dan kehidupan. Menyusuri jalan sunyi: jalan sang troubador.

Friday, August 11, 2006

Awas Kapitalisme Bencana!!

We use to have vulgar colonialism,
now we have sophisticated colonialism,
and they call it ‘reconstruction’
(Naomi Klein)


Awal
Ungkapan di atas diteriakkan lirih oleh seorang aktivis antiglobalisasi, yang termasyhur dengan karyanya, No Logo, dalam sebuah artikel pendek yang diberinya tajuk The Rise of Disaster Capitalism. Klein mengajak kita untuk waspada dan mencurigai neologisme memikat yang tampaknya pada hari ini menjadi mantra ajaib bagi sejumlah negara yang menderita bencana, atau mengalami post-conflict dan post-war: rekonstruksi, rehabilitasi atau recovery. Bagi Klein, istilah-istilah di atas menyembunyikan suatu jenis imperialisme dan serbuan ‘bencana’ baru yang disebutnya dengan kapitalisme bencana (disaster capitalism). Lalu, makhluk apa lagi kapitalisme bencana itu? Bagaimana ia bermula? Bagaimana modus dan jejaknya?.

Menari di atas Luka
Bagi Klein yang bertempat tinggal di jantung negeri imperialis, AS, bukanlah hal yang sulit untuk mendeteksi jejak bagaimana ‘sejarah’ kapitalisme bencana ini bermula. Awalnya, di tengah teduhnya musim panas di bulan Agustus dua tahun lalu, administrasi Bush tiba-tiba mengeluarkan sebuah kebijakan yang cukup mengejutkan. Tepat pada 5 Agustus 2004, Gedung Putih mendirikan suatu lembaga baru yang diberi nama Lembaga Koordinasi untuk Rekonstruksi dan Stabilisasi yang dikomandani oleh Carlos Pascual, mantan duta besar Amerika Serikat untuk Ukraina. Lembaga ini memiliki mandat untuk menggarap dan mengkoordinasikan sejumlah operasi rekonstruksi di pelbagai negara, selama setidaknya untuk kurun waktu 5 sampai 7 tahun mendatang. Sekilas, tindakan ini tampak bersifat dermawan dan shalih. Namun, tentu saja masih ada yang ganjil: bagaimana mungkin sebuah negara yang kerap mengobarkan perang dan kerusakan (deconstruction) beralih menjadi pihak yang mengupayakan perbaikan (reconstruction)? Apalagi, Lembaga tersebut juga bekerja di sejumlah negara yang diekspansi oleh Amerika Serikat sendiri, seperti Afghanistan dan Iraq.

Teka-teki itu sedikit terkuak, ketika Condoleezza Rice, secara selip lidah (slip-tongue)—ingat bagaimana fenomena slip-tongue ini dibahas secara menarik oleh pakar psikoanalisa Sigmund Frued, mengatakan bahwa tsunami dan berbagai bencana di muka bumi ini merupakan “wonderful opportunity that has paid great dividends for us”. Tampaknya, bencana di negeri lain, dipandang sebagai berkah bagi negeri imperialis itu. Lebih lanjut, mandat Lembaga itu bukan untuk mengupayakan rekonstruksi fisik saja di sejumlah negara post-war, melainkan untuk menciptakan ‘negara yang demokratis dan berorientasi-pasar’. Untuk mendukung langkah ini, Lembaga tersebut disokong oleh Bank Dunia berserta sejumlah besar perusahaan-perusahaan swasta, konsultan dalam berbagai bidang, dan NGO internasional. Berbagai ativis kemudian membuat slogan sindiran yang menandai kelahiran Lembaga itu: “dimana ada kerusakan disitu ada perbaikan”.

Bukan hanya sindiran malah, berbagai situs kerusakan di muka bumi ini, yang terbentang dari Indonesia hingga Iraq, Afghanistan, Timor Leste, Haiti, Guatemala dan Nikaragua, dikerjakan proyek rekonstruksinya di bawah panduan lembaga ini. Dan dimulailah pelbagai ‘bencana’ baru yang diakibatkan oleh ulah Lembaga itu, dari pengerjaan yang lamban dan mengabaikan pembangunan ekonomi untuk rakyat kecil (Aceh), hingga mahalnya jasa konsultan asing yang harus dibayar untuk proyek itu (Afghanistan), dan perilaku korupsi, boros, dan tidak akuntabel (Srilanka). Tak hanya itu, proyek rekonstruksi itu lebih menyerupai proyek menata-ulang segala sektor, dibanding membantu mereka yang ditimpa bencana. Karena itu, bagi Klein kapitalisme bencana ini diartikannya sebagai “suatu perubahan sosial-ekonomi yang radikal yang dipandu oleh rejim pasar dengan memanfaatkan emosi penderitaan bencana dan ketakutan”.

Di Srilanka, misalnya, rekonstruksi industri melalui investasi asing dan privatisasi semakin mengencang ketika rekonstruksi atas bencana tsunami dikerjakan. Sejumlah perusahaan asing yang bergerak di bidang konstruksi, turisme, dan privatisasi sejumlah perusahaan negara di bidang listrik, dan air berjalan dengan cepat atas nama rekonstruksi. Karena itu sejumlah aktivis di Srilanka menyebut hal ini sebagai krisis tsunami kedua, dimana kedaulatan nelayan atas kekayaan laut dan pantainya mulai diambilalih oleh peruasahan asing dan industri turisme. Bahkan, dibeberapa tempat pendirian itu juga dikawal oleh Angkatan Laut Srilanka. Sedangkan di Iraq dan Afghanistan, rekonstruksi mengambil cara yang lebih klasik, yaitu pengucuran hutang luar negeri melalui World Bank dengan fokus pembangunan sektor industri dan pengucuran bantuan untuk ‘proyek-proyek demokrasi’ serta menganjurkan negara untuk memprivatisasi sejumlah perusahaan negara. Sebuah kasus di Afghanistan barangkali bisa menjadi sebuah ilustrasi menarik tentang bagaimana kapitalisme bencana ini bekerja. Sembari menolak untuk memberikan bantuan kepada kementerian kesehatan Afghanistan untuk membangun rumah sakit, Bank Dunia malah memberikan bantuan kepada sejumlah NGO internasional untuk mendirikan sejumlah rumah sakit baru. Modus ini adalah bagaimana liberalisasi dunia kesehatan dijalankan oleh Bank Dunia. Bahkan, tanpa segan-segan, dalam laporannya bank Dunia menghendaki terjadinya sebuah ‘transformasi mendasar yang akan memprivatisasi sektor air, listrik dan telekomunikasi’ di negeri itu dan membuatnya menjadi milik investasi asing.

Kapitalisme bencana ini hadir pasca-bencana dan lantas menimbulkan gelombang bencana baru. Honduras adalah ironi lain dari kapitalisme bencana ini. Setelah dihantam badai Mitch yang menggulung desa-desa di pinggir pantai dan menewaskan 9.000 orang, kongres Honduras akhirnya menyerah pada kondisi kemiskinan dan terjebak hutang. Walhasil negeri yang sudah jatuh miskin ini bahkan harus menjual murah (sell-off) seluruh kekayaan negerinya dengan memprivatisasi dan meliberalisasi bandar udara dan laut, perusahaan telekomunikasi, listrik, dan air milik negara. Bahkan, beberapa bulan setelah kejadian itu, sebuah reforma agraria yang berorientasi pasar dijalankan demi mempermulus penguasaan asing atas tanah dan hutan di negeri itu.

Di atas semua itu, kapitalisme bencana ini dijalankan atas dasar hutang luar negeri. Bahkan, terhadap sejumlah negara yang mengalami bencana alam dahsyat, Bank Dunia tetap bergeming untuk memberikan pengurangan hutang. Berbagai pendanaan bencana yang dikucurkan oleh Bank Dunia, yang sering disebut sebagai emergency aid, bukan berbentuk grant, melainkan loan. Begitu juga dengan proyek-proyek yang didanai oleh hutang itu, dibanding untuk membangun prakarsa ekonomi rakyat dan nelayan, proyek-proyek rekonstruksi yang didanai Bank Dunia lebih mengutamakan pembangunan sektor industri besar, turisme dan industri perikanan yang pada akhirnya meminggirkan petani. Bahkan, dalam salah satu dokumennya, Bank Dunia menyebutkan bahwa pembangunan rekonstruksi pada infrastruktur semisal sekolah, atau jalan raya akan mengakibatkan sebuah negara mengalami pengetatan sektor keuangan publik. Karena itu, Bank Dunia lagi-lagi menganjurkan privatisasi untuk menambah keuangan negara. (Klein: 2005)

‘Bencana’ Setelah Bencana
Dibanding berkah atas bencana, jenis kapitalisme ini lebih banyak mendatangkan gelombang bencana baru. Sejumlah aktivis di Thailand dengan keras menyerukan bahwa bencana telah membuat para politisi-pebisnis menangguk keuntungan besar. Terjangan tsunami yang mengakibatkan ribuan rumah dan lahan hilang, serta ratusan ribu manusia yang tewas semakin mempermudah jalan para politisi bandit itu untuk membangun hotel-hotel, kasino, pariwisata turis dan penginapan. Tak hanya dinikmati oleh perusahaan asing dan Bank Dunia, kapitalisme bencana ini juga dinikmati oleh elit kekuasaan dan kalangan pebisnis yang menetek pada kekuasaan. Ketika mata dunia sedang tertuju tsunami di Aceh, PM Singapura Lee Hsien Loong menelpon sejumlah koleganya di Asia Tenggara, presiden AS dan China untuk mengadakan pertemuan khusus tentang tsunami. Setelah pertemuan digelar, yang menarik, ternyata seluruh proyek itu dikoordinasikan oleh Singapura. Dengan kata lain, Singapura menjadi bandar atas seluruh proyek tsunami. Semua tender proyek berlangsung di Singapura. Dan beberapa proyek hanya dikerjakan di Meulaboh; sebuah wilayah yang secara geoekonomi-geopolitik lebih dekat kepada Singapura. Konon, perusahaan dan pengusaha Singapura menangguk untung besar dari bencana ini. Indonesia sendiri mengajukan proposal untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Tak hanya pengusaha Singapura, Jusuf Kalla juga meraup untung besar melalui perusahaannya Bukaka (Banjarmasin Post, 7-1-2005) yang memenangkan tender di bidang konstruksi, transportasi dan distribusi. Bukaka bahkan disinyalir selalu menjadi bandar tunggal dalam proyek rekonstruksi di daerah konflik di Indonesia (Goerge Junus Aditjondro: 2006). Apalagi, Bukaka bersama sejumlah perusahaan milik Aburizal Bakrie, termasuk perusahaan konstruksi yang paling kuat di Indonesia (SIB, 20 Oktober 2005).

Ringkasnya, kapitalisme bencana ini pada dasarnya dibangun atas variabel penting: hutang luar negeri. Dengan variabel ini, bencana menjadi saluran ekspansi kapitalisme yang tidak hanya melibatkan rejim pasar (Bank Dunia, Lembaga Koordinasi untuk Rekonstruksi dan Stabilisasi AS, perusahaan transnasional), tetapi juga selalu melibatkan politikus-pebisnis yang menempel pada kursi kekuasaan. Karena itu, pemerintah selalu memohon bantuan hutang luar negeri untuk mengatasi bencana di negeri ini. Bukan hanya seperti yang dikatakan oleh Revrisond Baswir, bahwa pemerintah mengalami ‘kemiskinan’, (Republika, 24-7-2006) tetapi juga karena ada tangan-tangan kotor yang selalu beroperasi di balik bencana dan hutang. Apalagi, seperti pernah dikemukakan oleh Sritua Arief, di dalam setiap hutang luar negeri Indonesia selalu terdapat komponen yang disebutnya sebagai ‘komponen acak’. Komponen acak ini berkaitan dengan perilaku kekuasaan elit di negeri ini, yaitu perilaku korup dan menyelewengkan pengelolaan sumberdaya ekonomi, terutama sumberdaya keuangan yang diperoleh dari hutang luar negeri (Sritua Arief: 1999). Dari argumen Sritua Arief ini, kita jadi mafhum mengapa dulu ketika tsunami Aceh terjadi dan sejumlah gerakan sosial menyuarakan penghapusan hutang, bahkan Jerman menyetujuinya, pemerintah dengan santai mengatakan bahwa Indonesia belum membutuhkan pengurangan. Tetapi di balik sikapnya itu, pemerintah justru meminta penambahan hutang. (Down to Earth, Maret-2005). Sebab, tampaknya, tanpa hutang, tak ada kesempatan bagi mereka untuk menguasai tender proyek atau menyelewengkan dan me-mark-up proyek itu. Pendeknya, setiap hutang luar negeri yang dilakukan kelak akan menimbulkan ‘bencana’ baru.

Akhir
Kalangan aktivis gerakan sosial, baik yang bergerak di lokasi bencana, maupun yang berada di luar untuk menjadi supporting unitnya, setidaknya kini dihadapkan pada beberapa tantangan besar. Pertama, bagaimana untuk merebut-kembali (reclaim) proyek rekonstruksi yang dipandu oleh rejim pasar dan negara tersebut, dan menjadikannya berbasis dan berorientasi pada rakyat. Dan lalu kedua, bagaimana untuk menyusun suatu proses rekonstruksi atau recovery yang berdasar pada transformasi sosial. Artinya, tidak hanya bergerak secara karitatif, tetapi juga menata ulang struktur ekonomi, sosial dan politik, baik dalam kelembagaan maupun relasi-relasinya. Dan terakhir, ketiga, bagaimana untuk mengerjakan pendidikan kritis bagi rakyat untuk mencari ‘afinitas elektif’ antara problem-problem lokal dan yang bersifat global. Walahua’lam.

Sosialisme Abad 21: Utopia Keadilan dan Kemanusiaan

Pada sebuah pidato penutupan Forum Sosial Dunia yang diadakan di Venezuela pada 30 Januari 2006, presiden Venezuela Hugo Chavez mengungkapkan satu istilah yang lantas menjadi bahan kontroversi di negerinya: Sosialisme Abad 21. Menurut Chavez, program Revolusi Bolivarian yang dicanangkan di negerinya adalah untuk mendukung visi tersebut. Bagi Chavez, sosialisme abad 21 adalah varian baru sosialisme yang bersimpangan jalan dan bahkan belajar dari pengalaman sosialisme abad 20. Meski belum memiliki perspektif teoretis yang mapan, dalam kata-kata Chavez sendiri, sosialisme abad 21 adalah “sosialisme baru yang berbeda dari sosialisme negara yang diterapkan di Uni Soviet, Eropa Timur atau Kuba hari ini, ia akan menjadi sosialisme yang berwatak pluralistik dan tidak terlalu terpusat pada negara…sosialisme yang berdasar pada prinsip solidaritas, persaudaraan, kasih sayang, keadilan, kebebasan dan persamaan hak”.

Tak hanya pandai berpidato seperti presiden di negeri ini, pemerintahan Chavez secara nyata berusaha mewujudkan sosialisme dengan program Revolusi Bolivarian yang berpihak dan berpijak pada kaum miskin. Di antara berbagai program tersebut di antaranya adalah program land reform—program ini konon juga merupakan janji SBY semasa dia berkampanye dulu—yang memberikan kesempatan bagi kaum miskin untuk menguasai sekian hektar lahan dan merevitalisasi pertanian Venezuela. Selain itu, Chavez juga menasionalisasi beberapa perusahaan strategis. Tak tanggung-tanggung, pemerintahan Chavez juga memiliki serangkaian program kesejahteraan bagi kaum miskin, seperti perumahan, layanan kesehatan dan pendidikan murah, serta KTP murah yang juga berfungsi sebagai kartu untuk jasa layanan sosial lainnya.

Buku karangan Michael Newman, Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif atas Neoliberalisme, (Resist Book: 2006) memang tak ada kaitan langsung dengan gelombang kebangkitan sosialisme di Amerika Latin ataupun Revolusi Bolivarian yang digagas oleh Hugo Chavez. Tetapi, karya Newman menilik lebih dalam dan lebih teoretis ihwal sosialisme: tradisi-tradisinya pemikiranya, aktivisme politiknya, dan termasuk masa depannya di abad 21. Tak pelak, sejak kehancuran sosialisme-komunisme di Uni Soviet dan berkobarnya kapitalisme dalam bentuk mutakhirnya yang paling biadab, kapitalisme neoliberal, sebagai ideologi pemenang tunggal peradaban, membuat seakan sosialisme adalah ideologi reaksioner yang paling ketinggalan jaman. Fenomena ini ditegaskan oleh Fukuyama melalui frasanya yang terkenal: sejarah telah berakhir, kapitalisme dan demokrasi liberal adalah sang pemenang. Bagi para pengritiknya, sosialisme selalu diidentikkan dengan sistem politik yang totaliter, serta sistem ekonomi yang melulu di bawah kontrol dan perencanaan ketat negara. Karena itu, menurut mereka, sosialisme dianggap sebagai ideologi yang sudah menempati liang kubur peradaban. Tak patut untuk bangkit dan dibangkitkan.

Gambaran buram sosialisme yang semacam itu, yang tampaknya menjadi kegelisahan seorang Newman. Dalam buku kecil yang padat dan ketat ini, Newman mencoba membongkar lebih dalam tentang apa itu sosialisme; adakah praktik sosialisme yang lain daripada yang telah dikembangkan oleh Uni Soviet atau China di masa lalu; dan akhirnya apakah sosialisme masih mempunyai masa depan di abad 21; dan apa prasyaratnya.

Ketimbang terjebak pada kubangan pertentangan ideologis di tubuh kaum sosialis sendiri, Newman, yang merupakan profesor politik, lebih menilik secara ilmiah tentang varian-varian sosialisme, baik dalam tradisi pemikirannya maupun praktik politiknya. Dalam semangat semacam ini, maka Newman lebih asyik menyusuri kekayaan dan pluralitas tradisi sosialisme—yang terbentang dari sosialisme utopis, anarkisme, marxisme, hingga sosial demokrasi dan komunisme—daripada membela satu varian sosialisme yang lebih dominan. Dengan melakukan studi lintas tradisi seperti itu, maka Newman berupaya untuk menganalisis secara ilmiah tentang kelemahan dan kemajuan praktik sosialisme, untuk kemudian mengajukan formula sosialisme yang relevan, yang sanggup menantang arus deras kapitalisme neoliberal.

Salah satu medan analisis tentang praktik sosialisme yang diambil dalam studi Newman adalah sosial demokrasi Swedia dan komunisme Kuba. Keduanya dipilih karena, dalam tahap-tahap tertentu, dianggap paling kenyal dalam menghadapi serbuan kapitalisme. Sosial demokrasi Swedia adalah hasil dari pertentangan yang tak terdamaikan antara kubu revisionisme yang dimotori oleh Eduard Bernstein dengan kubu komunisme yang dimotori oleh kubu Bolshevisme Rusia. Berbeda dengan kaum komunis yang lebih memilih jalan revolsui sosial sebagai tonggak untuk mendirikan sosialisme, kubu sosial demokrasi lebih menyukai strategi parlementarianisme dalam alam demokrasi liberal. Sosial demokrasi di Swedia dimotori oleh SAP (Partai Sosial Demokratik Swedia)—sebuah partai yang pada awalnya tunduk pada garis Marxisme sampai kemudian ia lebih memilih ada seruan-seruan revisonisme. Setelah mulai berkuasa pada tahun 1932, di bawah kepemimpinan Par Albin Hansson, SAP mencoba menggagas konsep kunci yang mendasari penerapan sosialisme Swedia. Beberapa konsep kunci tersebut adalah folkhemmet atau ‘negara sebagai rumah masyarakat’. Konsep kunci ini kemudian memiliki lima tema sentral turunan, yaitu demokrasi integratif, sejenis demokrasi yang berupaya untuk memasukkan elemen buruh dan pekerja dalam sistem politik dan ekonomi Swedia. Konsep kedua adalah rumah masyarakat, artinya negara bertindak pada asas kesetaraan perlakuan dan solidaritas sosial. Sedangkan konsep ketiga adalah kesetaraan sosio-ekonomi dan efesiensi ekonomi, yang berkaitan dengan konsep keempat yaitu mengontrol ekonomi pasar secara sosial, dan terakhir adalah ekspansi sektor publik yang didasarkan atas kebebasan pilihan. Meski tidak memiliki akat teori yang ketat, tetapi lima asas tadi setidaknya menjadi panduan bagi bangunan negara kesejahteraan (welfare state) yang diberlakukan oleh Swedia. Walhasil, ada beberapa hasil capaian positif yang dituai. Diantaranya adalah meningkatnya mutu pendidikan sebagai hasil dari diintensifkannya belanja publik, keterlibatan masyarakatnya yang tinggi dalam organisasi sosial, dan kesenjangan upah yang mencapai tingkat minimum.

Sedangkan komunisme Kuba, dalam studi Newman dianggap memiliki kekhasan dibandingkan komunisme yang dijalankan Uni Soviet atau China. Semenjak Fidel Castro merebut kekuasaan Kuba dari tangan rejim Batista yang korup, maka elemen-elemen komunisme di Kuba, dengan bantuan Uni Soviet saat itu, mulai ditegakkan. Serangkaian kebijakan revolusioner mulai diterapkan, diantaranya adalah reforma agraria radikal, pajak progresif untuk menyokong ekonomi nasional dibanding bersandar pada investasi asing, menyokong ekonomi rakyat dan pembangunan di provinsi-provinsi kecil, serta kontrol atas ekspor dan perdagangan luar negeri. Ketika terjadi konflik dengan AS—sebagai akibat dari pertentangan AS pada revolusi Kuba—pada tahun 1961, Castro semakin mengubah haluan revolusinya menjadi revolusi yang berwatak sosialis. Mulai saat itu, berbagai kebijakan yang lebih berorientasi pada orang miskin—sebelum revolusi, Kuba adalah negara yang kaya, tetapi dengan tingkat kesenjangan sosial dan kemiskinan yang tinggi—dijalankan oleh rejim ini. Program pendidikan dan kesehatan adalah dua hal yang paling mengesankan yang dicapai oleh komunisme Kuba. Di bawah pemerintahan Castro, Kuba adalah negara yang memiliki fasilitas kesehatan dan jumlah dokter yang terbaik di Amerika Latin. Prestasi ini ditambah dengan adanya pemerataan program kesehatan tersebut, baik di kota maupun di pelosok desa, secara gratis. Karena itu, Kuba juga mencapai tingkat harapan hidup yang semakin meningkat. Sedangkan di bidang pendidikan, prestasi cemerlang juga ditorehkan oleh pemerintahan Castro, dimana semua level pendidikan, dari pendidikan dasar hingga tinggi, gratis dan ditanggung oleh negara. Beberapa prestasi ini semakin mengkilap dengan menurunnya tingkat kesenjangan ras, dan meningkatnya partisipasi gender.

Meski demikian, seiring dengan serbuan kapitalisme pasar bebas yang mengguncangkan sendi-sendi perekonomian nasional di kedua negara tersebut, pencapaian sosial itu mulai menuai ancaman. Bahkan dalam beberapa hal, Kuba mulai mengakomodasi prinsip-prinsip terbatas kapitalisme. Sementara itu, tradisi pemikiran sosialis juga semakin diperkaya dengan kehadiran pemikiran Kiri Baru, feminisme sosialis, dan sosialisme hijau. Berbagai varian sosialisme ini hadir sebagai jawaban atas totalitarianisme komunis dan monopoli kapitalisme yang semakin meminggirkan peran perempuan, mengancam kelangsungan ekologis.

Setelah melakukan evaluasi atas pelbagai praktik dan pemikiran sosialisme, buku Newman ini diakhiri dengan mencoba mengajukan beberapa elemen-elemen dasar bagi terbangunnya sosialisme abad 21. Menurutnya, dari beberapa praktik sosialisme tersebut terdapat beberapa pelajaran yang bisa diambil oleh kaum sosialis. Pertama, sosialisme abad 21, adalah sosialisme yang berwatak demokratis, baik dalam organisasi maupun intitusinya. Dalam makna yang lebih luas, gerakan kaum sosialis yang seringkali terfragmentasi, harus belajar untuk mendirikan sebuah front demokratis dan partisipatoris. Kedua, kaum sosialis harus berupaya mengambangkan sebuah model ekonomi alternatif yang berkesinambungan. Pengalaman di Swedia dan Kuba mengajarkan bahwa pencapaian kemajuan sosial akan mudah goyah jika prestasi ekonomi juga menurun. Karena itu, solidaritas antar negara sosialis untuk melakukan perdagangan internasional atas dasar saling melengkapi (daripada kompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerjasama (daripada eksploitasi), dan penghormatan kedaulatan rakyat (daripada kekuasaan korporasi), menjadi dasar-dasar yang penting bagi pembangunan sosialisme di abad ini. Ketiga, sosialisme abad 21 harus berupaya untuk memberikan jawaban kongkrit atas berbagai masalah yang ditimbulkan oleh monopoli kapitalisme yang merangsek ke dalam semua bidang kehidupan. Karena itu, dibanding harus berawatak ideologis-totalistik, sosialisme abad ini harus berani untuk memecah doktrin-doktrin Marxisme dan mengkombinasikannya dengan elemen-elemen lain yang progresif. Dan terakhir, keempat, sosialisme di abad ini harus secara serius mengembangkan proyek utopia kemanusiaan bahwa ada jalan lain di luar kapitalisme neoliberal. Proyek utopia ini menjadi semakin penting, sebab janji-janji profetis kapitalisme atas dunia mulai menguap, sementara krisis kapitalisme mulai menjelang di ufuk peradaban.

Saturday, August 05, 2006

Demokrasi Bumi---wawancara Vandana Shiva

Demokrasi Bumi – wawancara dengan Vandana Shiva oleh Sarah Ruth van Gelder

Vandana Shiva adalah seorang ahli ilmu fisika dan pertanian organik, seorang penganjur gerakan “pemeluk pohon” yang terkenal di India, dan seorang penulis yang termasyhur. Dia banyak berbicara tentang bahaya globalisasi, sembari turut memobilisasi sejumlah warga masyarakat untuk menuntut hak-hak kehidupan bagi mereka.

Sarah Ruth van Gelder: Ceritakan pada kami tentang Gerakan Demokasi Bumi. Darimana gagasan itu bermula, dan apa bentuk yang diambil oleh gerakan itu?
Vandana Shiva: Gagasan demokrasi bumi berasal dari salah satu pemikiran India kuno. Gagasan ini mirip seperti yang dikatakan oleh Ketua Seattle tentang jaringan di bumi, di India kita menyebutnya vasudhaiva kutumbkam, yang berarti keluarga bumi. Kosmologi orang India tak pernah memisahkan manusia dari non-manusia—Kami merupakan rangkaian kesatuan. Ketika isu tentang pematenan kehidupan muncul, misalnya, ada dua bentuk respon dari mereka yang menolak praktek pematenan tersebut di India. Level pertama berupa perlawanan: “Pematenan ini adalah tindakan amoral. Hidup bukanlah sebuah ciptaan. Kehidupan tidak boleh dimonopoli. Kalian tak bisa menjual kepada kami bahan-bahan yang juga kalian curi dari sisi kami, dan kalian tak dapat memberi kepada kami sejumlah royalti untuk produk-produk kearifan alam kami.” Level kedua adalah merebut-kembali demokrasi: rakyat merebut hak-hak untuk menjaga biodiversitas dan menggunakannya secara berkelanjutan. Ini merupakan hasil dari diskusi di kalangan gerakan yang sedang kita bangun di level akar-rumput. Saya teringat kepada sebuah pertemuan 200 penduduk desa yang terlibat dalam menyimpan dan membagi benih dengan Navdanya, sebuah perserikatan yang saya dirikan untuk menyimpan benih dan mempromosikan pertanian organik. 200 penduduk desa ini berkumpul pada Hari Lingkungan Hidup pada tahun 1998 dan mendeklarasikan kedaulatan terhadap biodiversitas mereka—bukan kedaulatan untuk memperkosa dan merusak, tetapi kedaulatan untuk mengkonservasi alam. 200 penduduk desa ini, bertemu di sebuah pedesaan di pegunungan tinggi dekat anak sungai Gangga, mereka berseru, “Kami telah memperoleh tumbuh-tumbuhan obat, benih-benih, hutan-hutan dari alam melalui nenek moyang kami; kami berhutang kepada alam untuk memeliharanya demi masa depan. Kami berjanji kami tidak akan pernah membiarkan erosi pencurian terhadap alam. Kami berjanji kami tidak akan pernah menerima pematenan, modifikasi genetis, atau membiarkan biodiversitas kami dicemari dalam segala bentuknya, dan kami berjanji bahwa kami akan berlaku sebagai manusia-manusia dalam biodiversitas tersebut.” Diskusi di desa-desa seluruh India ini, dengan beragam bahasa, berujung pada aksi yang memukau. Beberapa kelompok menulis surat kepada Mike Moore, direktur jenderal WTO dengan mengatakan, “Kami perhatikan anda telah meloloskan sebuah hukum yang bernama ‘Trade-Related Intellectual Property Rights.’ Kami juga perhatikan bahwa di bawah undang-undang ini anda ingin memonopoli seluruh kehidupan. Sayangnya, sumber-sumber daya ini berada di luar wilayah hukum anda, dan anda telah bertindak melampaui batas.” Surat serupa disampaikan kepada Perdana Menteri India: “Anda adalah Perdana menteri di negeri ini, tetapi kamilah penjaga biodiversitas. Ini bukan wilayah hukum ada. Anda tak bisa menjual kekayaan alam ini. Kekayaan alam ini bukan milik anda. Kami tak pernah memberikan mandat kepada anda.” Tetapi salah satu surat yang terindah ditulis-tangan di bawah pohon-pohon pedesaan dan dikirimkan kepada Ricetec, Inc., yang mematenkan beras Basmati, dan kepada Grace Corporation, yang mematenkan namanya. Surat itu berbunyi, “Kami telah menggunakan Basmati selama berabad-abad. ... Sekarang kami dengar kalian telah mematenkannya, dan kalian mengklaim telah menciptakannya. Ini adalah pembajakan dan pencurian di depan mata kami. Ada orang yang mencuri di desa kami, dan kami memperlakukan mereka dengan penuh pengertian. Kami memanggil mereka dan bertanya pada mereka untuk menjelaskan masalah apa yang membuat mereka mencuri. Jadi kami juga ingin mengundang kalian ke desa kami dan menjelaskan kepada kami masalah apa yang membuat kalian mencuri.” Komunitas-komunitas ini dalam beberapa tahun yang lalu telah mulai dengan menyimpan benih-benih tanaman lokal dan memelihara biodiversitas. Sekarang mereka mencoba untuk melakukan swa-kelola terhadap sistem pangan, sistem air, dan sistem biodiversitas. Jika anda melihat fakta bahwa korporasi globalisasi adalah berkaitan dengan privatisasi agresif terhadap air, biodiversitas, dan sistem pangan di Bumi, maka ketika komunitas-komunitas ini mendeklarasikan kedaulatan dan bertindak atas kedaulatan itu, berarti mereka telah membangun sebuah respon yang tangguh terhadap globalisasi. Demokrasi hidup adalah demokrasi yang memelihara kekayaan kehidupan dimana manusia bergantung terhadapnya.

Sarah: Apakah terdapat bahasa yang sama yang digunakan dimana-mana untuk melawan globalisasi korporasi itu?
Vandana: Ada, saya kira, kebangkitan kembali sebuah pemikiran yang berporos pada perlindungan terhadap kehidupan, merayakan kehidupan, menikmati kehidupan baik sebagai kewajiban tertinggi kita, maupun sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan dan kebrutalan sistem yang mengglobal yang tidak hanya berupa perdagangan, tetapi juga berupa fasisme, yang mengingkari kemerdekaan sipil dan kebebasan. Tidak ada satu bahasa yang terkoordinasi dalam gerakan ini, dan justru itulah indahnya gerakan ini. Peristiwa WTO di Seattle memberikan pengalaman pertama bagi politik pelangi ini—sebuah politik pluralistik yang sukses, tanpa adanya penggagas utama (master mind), tetapi berasal dari kebebasan berfikir. Dalam era politik baru, orang memiliki beragam cara untuk berbicara, tapi saya kira intinya adalah demokrasi kehidupan dan ekonomi kehidupan, dan hal itu mencakup baik tanggung jawab personal untuk melakukan perubahan maupun menjadi bagian dari gerakan perubahan dalam skala nasional dan internasional.

Sarah: Anda telah menulis empat tipe ketidakamanan— ekologi, ekonomi, budaya, dan politik—dan bagaimana masing-masing ketidakamanan itu menghasilkan kekerasan. Bisakah anda menyampaikan sesuatu tentang mengapa anda menganggap empat tipe itu sebagai bentuk dari ketidakamanan?
Vandana: Krisis ekologi merupakan bentuk yang paling keras dari ketidakamanan, utamanya dalam kondisi kemiskinan ketika sungai-sungai tercemari dan kau tak dapat meminum air bersih, ketika sumber mataair telah tandus dan kau terpaksa bermigrasi. Tidak pernah ada ketidakamanan yang lebih dahsyat kecuali krisis ekologi. Berbagai konflik yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga sangat berhubungan dengan praktik mengeksploitasi sumberdaya yang lebih cepat daripada yang bisa diperbaharui oleh alam atau praktik menyingkirkan sumberdaya alam dari masyarakat yang membutuhkannya. Di berbagai masyarakat, bendungan air telah menjadi sumber konflik yang utama. Ketika kelangkaan air menjelang, tetangga atau keluarga berbalik saling menyerang satu sama lain.

Sarah: Banyak orang mengira bahwa kelangkaan sudah menjadi bagian dari hidup manusia dan kelangkaan tersebut berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Vandana: Selama 25 tahun saya bekerja untuk isu-isu sumberdaya alam dan lingkungan, satu hal yang telah saya pelajari adalah bahwa bagian tertentu dalam planet ini saling menganugerahi satu sama lain dengan berbagai cara. Mungkin hanya terdapat sedikit curah hujan di padang pasir Rajasthan, tetapi budaya Rajasthan berkembang untuk mengatur sejumlah curah hujan itu, dan mereka telah mengembangkan teknologi yang menakjubkan untuk memanen dan menyimpan. Budaya Rajasthan memiliki sistem penyimpanan bawah tanah yang canggih dan sistem penyimpanan air yang membuat air hujan yang jatuh tidak terbuang sia-sia. Teknologi ini mampu menopang kota-kota semacam Jodhpur dan Jaipur. Mereka memiliki air minum yang cukup karena mereka telah mengembangkan budaya konservasi, dan mereka menanami tanaman yang tidak membutuhkan banyak air. Ketika anda berfikir bahwa padang pasir Rajasthan harus ditanami padi atau kapas, maka anda akan menciptakan kelangkaan. Kelangkaan bukan merupakan hasil dari anugerah yang tak merata—itulah diversitas. Kelangkaan merupakan hasil salah-urus antara kebudayaan dan pemberian alam. Kebudayaan telah mengembangkan diversitas kultural untuk meniru diversitas biologis dari iklim dan ekosistem. Maka ketika hubungan itu disalahi maka anda akan mendapati pertumbuhan populasi yang tak berkelanjutan. Tidak ada masyarakat di mana seperti yang anda sebut ledakan penduduk sejauh masyarakat tersebut telah hidup dalam konteks hak-hak mereka pada sumberdaya alam dan kemampuan untuk mengkonservasi sumberdaya alam bagi masa depan. Lihatlah pada dua situasi. Di Inggris, ledakan populasi bermula dengan penyingkiran terhadap masyarakat umum—ketika para petani disingkirkan dari tanahnya dan harus bergantung pada menjual tenaga kerja mereka. Di India, tahun 1800 batas air merupakan sarana konsolidasi bagi rejim kolonial. Selama berabad-abad sebelum 1800 penduduk kita stabil. Ketika anda bergantung pada tanah, anda tahu terdapat lima orang yang bisa disokong. Anda bekerja untuk masyarakatmu sehingga bisa mendapatkan lima. Ketika anda menjual tenaga kerjamu dengan dasar yang tidak menentu, dengan gaji pasar yang tidak stabil, anda tahu bahwa mendapatkan 10 adalah lebih baik daripada hanya memperoleh lima. Jadi tercerabutnya hak milik dalam kekayaan alam Bumi merupakan akar dari dari instabilitas dan pertumbuhan penduduk.

Sarah: Jadi ketidakamanan ekonomi pada dasarnya diciptakan (bukan alami)?
Vandana: Alih-alih benih-benih itu berada di tangan petani yang membantu perkembangan mereka dalam hubungannya dengan alam, benih-benih malah menjadi monopoli di tangan lima atau enam koorporasi global. Alih-alih dimiliki oleh jutaan komunitas lokal, air malah dikuasai oleh lima atau enam raksasa air global. Inilah resep yang digunakan oleh sistem ekonomi global untuk mencuri dasar-dasar kebutuhan hidup pada mayoritas rakyat. 80 persen mereka yang tercerabut dari kekayaan alam jatuh dalam ketidakamanan ekonomi, karena kehidupan mereka sebagai petani, sebagai nelayan, sebagai petani, sebagai suku, sebagai penghuni hutan, semuanya bergantung pada kepemilikan terhadap perikanan, tanah, hutan, untuk tetap bertahan hidup. Ketika hak-hak tersebut dirampas, mereka menjadi orang-orang yang terlantar—mereka menjadi orang yang terbuang. Model ekonomi globalisasi ini berpijak pada asumsi bahwa kemurahan hati 20 persen oranglah yang akan menjamin keamanan sebagai hasil dari kebijakan ini. Tetapi beberapa peristiwa terbaru di Wall Street menunjukkan pada kita bahwa model ekonomi ini justru menciptakan ketidakamanan ekonomi baik bagi 80 persen manusia yang bersandar pada kekayaan alam maupun bagi 20 persen manusia yang bersandar pada kekayaan vitual, sebab uang virtual adalah hasil konstruksi, dan hasil konstruksi itu bisa hilang dengan mudah sebagaimana ia muncul dengan mudah pula. Ketidakamanan ekonomi merupakan warisan dari model ekonomi yang dikendalikan oleh finansial, ekonomi-yang-dikendalikan-modal, dan ekonomi-yang-dikendalikan-korporasi yang menghancurkan modal kekayaan alam kita dan menghancurkan daya kenyal ekonomi lokal kita.

Sarah: Tipe ketiga ketidakamanan berupa ketidakamanan kultural. Anda pernah menyangkut-pautkan hubungan antara globalisasi dan munculnya kekerasan nasionalis dan represi sayap kanan. Bukti-bukti semacam apa yang telah anda lihat bahwa di antara hal-hal tersebut memang terdapat sebuah hubungan?
Vandana: Baiklah, saya seorang ahli fisika, bukan ilmuwan sosial. Tetapi sebagai warga negara India, saya telah mengalami kekerasan dan kebrutalan yang diakibatkan oleh munculnya fundamentalisme, dan saya bertanya kepada diri saya sendiri bagaimana mungkin sebuah masyarakat yang merupakan tempat lahirnya kedamaian, tanah kelahiran Gandhi dan Buddha, bisa merosot menjadi salah satu masyarakat yang paling rapuh di dunia. Salah satu insiden yang memberi kontribusi kepada pemahaman saya tentang hubungan-hubungan tersebut adalah kekerasan yang meledak di Punjab pada tahun 1980an. Ketika keajaiban Revolusi Hijau mulai melenyap, ketika subsidi mulai dicabut dan sistem kemakmuran artifisial mulai runtuh, Punjab menjadi tempat lahirnya kemarahan dan ketidakpuasan. Ketika anda menyaksikan mengapa orang-orang berkelahi, anda akan mendapati bahwa mereka berkelahi untuk sungai-sungai, untuk harga yang adil, untuk berteriak ketika dam air mulai diruntuhkan. Tidak satu pun dari segala hal ini yang diputuskan secara regional atau lokal—semuanya diputuskan dari ibukota, Delhi. Jadi ketidakpuasan ini berbentuk perlawanan terhadap rejim sentralistik dimana rakyat tidak mendapatkan bagian untuk menentukan masa depannya. Akhir-akhir ini terdapat indikator-indikator yang jelas tentang bagaimana fundamentalisme tumbuh berkecambah dalam ketidakamanan ekonomi yang ditimbulkan oleh globalisasi. Mari saya beri dua contoh. Pada akhir tahun 1990an, dikarenakan tekanan globalisasi, harga bawang naik dari 2 rupee menjadi 100 rupee. Partai berkuasa kalah oleh apa yang kemudian terkenal dengan sebutan “pemilihan umum bawang” pada tahun 1998 karena mereka mengijinkan kenaikan harga bawang. Partai-partai oposisi menggunakan bawang sebagai simbol perjuangan mereka terhadap globalisasi, dan mereka menang di berbagai negara bagian. Sontak setelah itu kita menyaksikan serangkaian kekerasan kaum fundamentalis. Di Gujarat, kami memiliki seperangkat pemilihan umum regional, dan WTO, pertanian, serta kelangsungan hidup para petani menjadi isu-isu utamanya. Para petani mengatakan bahwa mereka dihancurkan oleh sejumlah kebijakan globalisasi, dan mereka memilih agar kelas berkuasa keluar dari kekuasaan. Dan segera saja setelah itu kaum fundamentalis bangkit, pembantaian dan hasutan untuk perang dimulai, dan ketika perhatian publik terfokus pada kekerasan, agenda globalisasi meluncur dengan mulus. Ketika pembuatan keputusan tersentralisasi dari komunitas lokal kepada pemerintahan nasional—dan utamanya pada ruang dewan-dewan korporasi, pasar saham, institusi seperti World Bank, IMF, and WTO—demokrasi perwakilan akan kehilangan basis demokrasi ekonomi. Ketika pemerintahan lokal dan nasional kehilangan kontrol atas sumberdaya ekonomi dan prioritasnya, para pemimpin yang terpilih tak lagi bisa membangun sebuah basis politik dengan memenangkan program-program yang responsif terhadap kebutuhan keluarga dan komunitas. Para demagog politik Kanan Jauh bangkit untuk mengisi kekosongan dengan saluran kemarahan dan ketidakamanan yang diciptakan oleh program-program kekuasaan seperti kelangkaan, ketidakadilan, dan penggusuran ke dalam bentuk politik kita-melawan-mereka yang mempersalahkan sebagian bangsa, ras, budaya, atau kelompok agama. Kemunculan LePens in di Perancis, Fortuyns di Belanda, Haiders di Austria, dan Narendra Modis di India adalah hasilnya. Jadi afinitas yang kuat antara kekuatan kekuasaan dan politik kebencian yang menjustifikasi kebijakan-kebijakan dominasi dan penggusuran. Jadi sepanjang perhatian rakyat terfokus pada ketakutan dan kebencian terhadap orang asing atau anggota kelompok keagamaan tertentu, Muslim misalnya, mereka mengalihkan dari mengorganisir kepada persetujuan terhadap sistem dominasi dan eksploitasi yang institusional yang merupakan sumber utama dari ketidakamanan ini.

Sarah: Itu kedengarannya seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat juga.
Vandana: Tepat sekali. Itu adalah siklus yang keji, dan kita sesungguhnya perlu menciptakan siklus luhur yang memungkinkan demokrasi ekonomi untuk menopang demokrasi politik, identitas kultural, dan diversitas kultural. Karena itu, kita harus kembali memperkuat demokrasi. Apa yang kita punya saat ini adalah demokrasi yang direduksi menjadi aturan kebohongan—kebohongan dimana kehendak rakyat disalahi, sebagaimana kita lihat di Florida pada tahun 2000, dan kebohongan dimana uang milik rakyat dicuri, sebagaimana kita lihat pada skandal-skandal keuangan hari ini. Uang najis itu akan menguntungkan siapa saja yang berkuasa—sekarang semuanya telah rusak! Sistem keamanan pangan kita dihancurkan atas nama petumbuhan ekonomi dan liberalisasi ekonomi, dan rakyat tak memiliki cadangan pangan yang cukup untuk dimakan. Para petani kita diperkosa oleh pabrik-pabrik pembuat benih, dijerat ke dalam hutang-hutang, dan dipaksa bunuh diri. Sistem ini akan meminta korban jiwa bahkan di AS sekalipun, dimana rakyat tidak tahu bagaimana mereka akan membayar untuk kesehatan atau pemecatan. Jalan keluar dari siklus kekerasan ini adalah dengan menguatkan demokrasi—untuk membawa kebijakan yang berhubungan langsung dengan kehidupan rakyat sedekat mungkin ke tempat dimana rakyat berada dan dimana rakyat turut bertanggungjawab atasnya. Jika sebuah sungai mengaliri beberapa komunitas, komunitas-komunitas tersebut harus memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk memutuskan bagaimana air itu digunakan dan bagaimana air dicegah dari polusi. Negara tak punya hak untuk memberikan pada Coca-Cola sumber mata air di sebuah lembah di Kerala, yang membuat tanah pertanian yang mulanya subur menjadi benar-benar kering. Berbagai komunitas ingin meneguhkan kembali kedaulatan dan menyerahkan perwakilan kepada negara hanya sebagai kelayakan.Apa yang kita miliki sekarang adalah sebuah rejim yang memiliki hak absolut di tangan sebagian korporasi dengan tanpa tanggungjawab bagi penghancuran alam dan sosial dan instabilitas politik yang telah mereka ciptakan. Jika kita ingin menghidupkan dan memudakan kembali demokrasi, kita harus membawa kembali persoalan-persoalan ekonomi.

Sarah: Saya akan tutup dengan pertayaan pribadi. Setiap kali saya mendengar anda berbicara atau bertemu dengan anda, anda memiliki begitu banyak energi, bukan hanya energi intelektual, tetapi juga energi personal dan spiritual. Saya begitu kagum, apa yang membuat anda tetap bergairah?
Vandana: Baiklah, hal itu selalu menjadi misteri, karena anda tak tahu mengapa anda bisa terkuras habis atau terisi lagi. Tetapi, ini yang saya ketahui. Saya tak akan membiarkan diri saya sendiri dikuasai oleh keputusasaan, sekeras apa pun situasinya. Saya yakin bahwa jika anda mengerjakan sesuatu yang kecil tanpa memikirkan besarnya sesuatu yang anda lawan, jika anda bersandar pada kekuatan kapasitas anda sendiri, hanya dengan demikian akan menciptakan potensi baru dengan diri anda. Dan saya telah belajar dari Bhagavad Gita dan berbagai ajaran budaya kami untuk menjaga jarak dari hasil yang saya kerjakan, karena hasil-hasil itu belum ada di tangan saya. Konteksnya belum ada di tangan anda, tetapi komitmen ada di tangan anda, dan anda dapat membuat komitmen yang lebih dalam dengan menjaga jarak secara total dari hasil apapun. Anda menginginkan komitmen anda untuk menuju dunia yang lebih baik, dan anda menentukan semua tindakanmu dan mengambil tanggung jawab secara penuh untuk komitmen itu, tetapi kemudian anda harus mengambil jarak. Kombinasi antara hasrat yang mendalam dan mengambil jarak secara mendalam membuat saya selalu mengambil tantangan berikutnya karena saya tidak menentukan diri saya sendiri, saya tidak mengikat diri saya sendiri dalam satu bentuk. Saya berfungsi sebagai makhluk yang bebas. Saya pikir memperoleh kebebasan itu merupakan suatu tugas sosial karena saya kira kita saling berhutang satu sama lain, bukan untuk saling menyusahkan dengan tuntutan-tuntutan. Saya kira apa yang satu sama lain kita perhutangkan adalah sebuah perayaan kehidupan dan menggantikan ketakutan serta keputusasaan dengan keberanian dan kegembiraan.[]

dialihbahasakan oleh Dian Yanuardy